Pertanyaan yang tercetus begitu mendengar pembuatan film yang juga debut penyutradaraan Bradley Cooper ini adalah, “Untuk apa?”. Sebab ini merupakan remake ketiga dari film berjudul sama rilisan 1937, bahkan keempat bila menghitung Aashiqui 2 (2013) yang diproduksi Bollywood. Tapi Cooper, selain mengambarkan kapasitasnya menghasikan karya mumpuni, pula memperlihatkan bagaimana mestinya remake dibuat. Turut menulis naskahnya bersama Eric Roth (Forrest Gump, The Curious Case of Benjamin Button) dan Will Fetters, Cooper mempertahankan akar semangat film aslinya, menggabungkan poin-poin terkuat sekaligus memperbaiki banyak sekali elemen problematik yang dimiliki tiap versi. A Star is Born teranyar ini bagai album kompilasi terbaik yang tela di-remaster.
Momen pertamanya eksklusif menampakkan itu, dikala berbeda dibanding huruf yang diperankan James Mason maupun Kris Kristofferson, Jackson Maine (Bradley Cooper) yaitu pemabuk fungsional. Walau senantiasa teler, sang penyanyi country ternama mampu menyajikan konser yang bukan saja berjalan mulus, juga berkesan bagi penonton. Walau nantinya, Bobby (Sam Elliott) selaku manajer menyebut bahwa itu bukanlah puncak performa seorang Jackson Maine.
Naskahnya memaparkan latar belakang untuk sikap Jack, yang mundur hingga ke masa kecilnya tatkala sang ayah menjadikannya “teman minum”. Singkatnya, masa kemudian Jack keras dan tak begitu menyenangkan. Tapi sekali lagi, Jack seorang pemabuk fungsional. Dia bisa datang di lokasi sempurna waktu (pencapaian sederhana yang bahkan tak bisa dicapai tokoh-tokoh versi terdahulu), bahkan terlibat obrolan kasual dengan sopirnya, membicarakan anak karyawannya itu. Penggemar Jack tidak memperlakukannya sebagai manusia, melainkan barang yang bisa mereka foto kapan saja, di mana saja. Jack hanya pasrah, menerimanya, meski itu membuat hidupnya makin kosong, sepi, dengan minuman keras jadi satu-satunya pelarian.
Suatu malam, di tengah kebutuhannya atas alkohol, Jack tidak sengaja memasuki drag bar. Di situlah ia bertemu Ally (Lady Gaga), yang kebetulan tengah tampil, mengenakan dandanan ala drag queen, menyanyikan La Vie en rose layaknya diva. Jack eksklusif jatuh hati, dan sehabis mengobrol beberapa lama, Ally mengaku bila orang-orang berpikir ia jago bernyanyi, bahkan menulis lagu, tapi mereka tak menyukai wajahnya, khususnya potongan hidung yang dianggap terlalu besar.
Ini salah satu adaptasi yang membuat A Star is Born versi gres ini terasa relevan dengan dunia sekarang. Ally merasa nyaman bernyanyi di drag bar, alasannya di sana, tidak ada yang menghakimi tampilan fisiknya. Besar kemungkinan, seluruh karyawan kafe itu pun pernah jadi korban ketidakadilan sosial. Tempat itu memperlihatkan rumah, di mana mereka bebas menjadi diri sendiri, dan bakat jadi hal terpenting.
Setelahnya, Jack dan Ally membawa kita menuju perjalanan soal cinta murni, tatkala sepasang kekasih saling menyayangi bukan saja dikarenakan ketertarikan fisik, juga hal-hal di “bagian dalam” termasuk talenta. Berkat penulisan obrolan naskahnya, interaksi Jack-Ally terasa dinamis, hidup, lovable, bahkan sesekali menggelitik sehingga kita berkesempatan tertawa bersama mereka. Sementara kiprah menghidupkan interaksi tersebut secara natural dilaksanakan dengan baik oleh Cooper dan Gaga lewat chemistry tak terbantahkan. Dua pemeran utama ini bicara tak hanya lewat mulut, pula mata dan bahasa badan yang mencuatkan intensitas sensual.
Jack menyukai bunyi Ally serta lagu ciptaannya yang berjudul Shallow (single perdana album soundtrack film ini). Rasa suka Jack nantinya berujung pada momen emosional sewaktu Jack mengajak Ally berduet di atas panggung dalam salah satu konsernya. Momen itu spesial, salah satunya alasannya film A Star is Born lain tak memilikinya. Ada mentoring hingga “passing the torch”, namun kedua protagonis tidak pernah membuatkan panggung (atau layar, versi 1954 mengambil latar industri film) kemudian bicara hati ke hati di sana. Dengan demikian, relasi mereka lebih setara, antara dua insan yang terkoneksi sembari saling mengisi.
Sebagai aktor, serupa yang ia munculkan di adegan-adegan sebelumnya, tatapan Cooper kala Ally menguasai panggung memancarkan cinta dan kekaguman. Sedangkan sebagai sutradara, ia menentukan menyoroti ruang personal seorang seniman yang dikuasai bermacam emosi ketimbang euforia konsernya, mengakibatkan sekuen ini terasa intim walau ribuan insan tumpah ruah di situ. Gaga membuat saya mempercayai ketegangan, haru, dan ketidakpercayaan yang berkecamuk di hati Ally, alih-alih terlihat kolam diva mewah yang berpura-pura terlihat polos layaknya Barbra Streisand di film 1976.
Apabila sudah menonton A Star is Born versi sebelumnya, atau film-film serupa yang tentunya simpel ditemukan, tentu anda tahu kebahagiaan di atas takkan berjalan lama. Rekaman penampilan Ally viral, produser menawarinya membuat album solo, dan seketika namanya melambung. Bintang gres telah lahir. Sebaliknya, Jack terjerumus makin jauh ke dalam alkoholisme. Namun dikala tokoh utama laki-laki dalam A Star is Born lain hancur akhir kejatuhan karir mereka ditambah keirian melihat perempuan yang dibesarkan namanya justru mengalahkan popularitasnya, Jack berbeda. Tersimpan alasan-alasan yang lebih kompleks.
Dia tergeser dari status penampil utama menjadi gitaris pengiring untuk para penyanyi baru, terlibat pertengkaran dengan sang manajer, pendengarannya memburuk (bagai simpulan zaman bagi seorang penyanyi), pula keprihatinan mendapati imej karir solo Ally (bintang pop yang lebih mengandalkan gimmick, lagu elektronik berlirik dangkal, penari latar, hingga kostum mencolok ketimbang bakat suara). Ya, Jack terluka bukan diakibatkan Ally menyalip kesuksesannya, melainkan kesedihan menyaksikan cintanya dilahap oleh tuntutan industri. Semua itu belum termasuk masa kemudian yang selalu menghantuinya.
Seiring waktu, kita diajak mempelajari bahwa masa kemudian Jack jauh lebih kelam dari yang kita duga. Film ini bukan berusaha mengajak penonton menjustifikasi sikapnya (alkoholisme Jack terperinci keliru), melainkan memahaminya. Memahami bila Jack bukan sosok kurang didik nan egois, tetapi laki-laki ringkih yang terjebak stress berat masa kemudian dan membutuhkan uluran tangan. Alhasil perjuangan menyayat hati penonton melalui konklusinya pun berhasil, terlebih dikala Cooper dengan cakap merangkai momen mencekik dengan memanfaatkan keheningan dan bicara menggunakan bahasa visual.
Ditutup oleh I’ll Never Love Again yang dibawakan dengan menyentuh oleh Lady Gaga, Bradley Cooper telah membuat film yang efektif merebut hati penonton umum, namun bakal lebih dicintai dan dikagumi oleh mereka yang telah merasakan versi-versi sebelumnya, terkait bagaimana Cooper memilah poin mana yang harus ia terapkan, mana yang harus diperbaiki, mana yang ditinggalkan. “Music is essentially 12 notes between any octave. Twelve notes, and the octave repeats. It’s the same story told over and over, forever. All any artist can offer the world is how they see those 12 notes.”, demikian ungkap Bobby kepada Ally di suatu kesempatan. Bagaimana Bradley Cooper memandang, kemudian mengolah 12 oktaf yang telah berulang kali digunakan sungguh mengagumkan.
Ini Lho A Star Is Born (2018)
4/
5
Oleh
news flash