Munafik (2016) ialah horor overrated biarpun jauh dari buruk. Filmnya sedemikian fenomenal tak lain lantaran kedekatan kultural serta keberanian sutradara sekaligus penulis naskah (plus pemain drama utama, editor, penata imbas Istimewa dan imbas visual) Syamsul Yusof (Evolusi KL Drift, KL Gangster) menjabarkan krisis keimanan seorang pemuka agama Islam. Namun di luar kisah spritualnya, teror Munafik belum bisa disebut spesial. Dua tahun berselang, sekuelnya “melipatgandakan” dua elemen di atas. Drama religinya dua kali lebih kompleks pula bernyali, sementara terornya dua kali lebih buruk.
Munafik 2, dengan bujet lebih tinggi (RM 2,8 juta, film pertamanya RM 1,6 juta), memang berambisi tampil lebih besar, bahkan semenjak awal ketika Yusof pribadi memperlakukan adegan layaknya klimaks, salah satunya lantaran musik garapan Extreme Music pribadi mengalun kencang, nyaris tak berhenti sepanjang durasi. Tambahkan teriakan tiada ujung ketika karakternya meneriakkan ayat-ayat suci Al Qur’an (total sekitar 10 surat), Munafik 2 semakin tampak berusaha terlalu keras menjadi epic, bahkan sesekali menyentuh teritori film superhero.
Saya serius. Di sini, Ustaz Adam (Syamsul Yusof) bagai pahlawan super dengan ayat suci sebagai kekuatan supernya, yang tiap pelafalan dilakukan secara dramatis lengkap dengan pose heroik juga balutan gerak lambat kala menghadapi iblis atau insan kesurupan. Yusof—yang dilihat dari naskahnya terperinci bukan seorang kolot—sadar bahwa protagonis spesialis agama berpotensi nampak “kuno” di mata penonton muda masa kini. Menjadikannya sosok superhero keren merupakan upaya modernisasi efektif yang pantas diapresiasi. Oh, bahkan seorang huruf perempuan sempat membantai para musuh memakai kapak kolam heroine dari film-film slasher.
Dua tahun selepas bencana yang menimpa keluarganya, Adam telah menata lagi hidup pula imannya, memantapkan diri menolong orang-orang yang menerima gangguan supranatural, walau hatinya belum sepenuhnya tenang. Iblis pun masih sering mengunjunginya, coba menggoyahkan iktikad Adam dengan menyatakan bahwa sang Ustaz berjuang demi kepentingan pribadi ketimbang agama. Adam berusaha tegar. Itulah mengapa ia bersedia menempuh ancaman guna menolong Sakinah (Maya Karin) dan keluarganya yang berasal dari desa sebelah. Sebuah desa yang dikuasai para pemeluk aliran sesat.
Setiap superhero butuh supervillain, dan sebagai lawan Adam, Munafik 2 mempunyai Abu Jar (Nasir Bilal Khan), yang bagi penonton Indonesia akan terlihat ibarat “Limbad dengan kemampuan bicara”. Abu Jar mendeklarasikan dirinya sebagai utusan Allah yang memahami seluruh hadis hingga diberi kebebasan mempunyai apa pun yang ia inginkan di dunia. Keyakinan itu membawa Abu Jar menjadi salah satu antagonis paling kejam sepanjang sejarah film horor, yang melaksanakan seluruh hal kejam yang bisa kita bayangkan. Dari membunuh ulama-ulama yang coba menghentikan ajarannya hingga mengakibatkan perempuan budak nafsunya dan para pengikutnya.
Abu Jar menguasai desa, memanfaatkan rasa takut demi memperoleh kontrol layaknya para diktator lalim, walau sulit mendapatkan begitu saja fakta kalau sehabis sebegitu banyak nyawa melayang, tak ada satu pun penduduk desa berani melapor pada polisi sementara pihak kepolisian sendiri tidak menyadari rangkaian pembantaian tersebut. Diperankan oleh Nasir Bilal Khan secara over-the-top, Abu Jar merupakan antagonis yang dengan bahagia hati penonton benci. Melalui Abu Jar kita melihat pemandangan mengenaskan kala orang-orang “mengafirkan” mereka yang menganut kepercayaan berbeda, mengakibatkan itu alat justifikasi tindakan persekusi hingga ke taraf pembunuhan. Menyedihkan, alasannya pemandangan serupa gampang ditemui di dunia aktual termasuk negeri ini.
Lewat perspektif protagonis, Munafik 2 juga melayangkan beberapa pertanyan. Bisakah kita membenarkan pembunuhan demi keselamatan seseorang? Haruskah kita membahayakan diri untuk menegakkan agama? Dan masih banyak lagi. Karakternya, khususnya Adam, coba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu meski harus melalui siksaan batin dan fisik yang lebih sulit, lebih berbahaya, juga memberi dampak lebih tragis dari sebelumnya.
Berjalan selama 2 jam, Munafik 2 enggan mengendurkan tensi, terus memacu tempo tanpa pernah bersedia melambat. Pilihan sanksi ini menghasilkan pisau bermata dua. Di satu sisi, terus dipacunya intensitas bisa meniadakan kebosanan, namun di sisi lain, kerap terasa melelahkan, apalagi ketika beberapa elemen mulai tampil repetitif. Anda akan mendengar tokoh-tokohnya terus meneriakkan hal sama, yang kebanyakan (selain pembacaan ayat suci) berkutat pada saling tuduh wacana siapa paling sesat, dan tentunya paling munafik. Belum lagi nihilnya jump scare yang bisa menggedor jantung. Hampir seluruhnya medioker, minim kreativitas, tetapi maksimal dalam menghajar indera pendengaran lewat musik plus imbas bunyi tanpa henti.
Saya memaklumi pilihan Yusof, mengingat horor berisik bertempo cepat ialah primadona bagi dominan penonton. Satu hal yang sulit dimaklumi yaitu pengungkapan fakta mengejutkan di babak resolusi, yang bukan saja bodoh, pula susah dicerna logika sehat. Sebuah kejutan dengan lubang yang membesar sewaktu Yusof coba mengaitkannya dengan insiden film sebelumnya. Dan Munafik 2 masih menerapkan elemen deus ex machina untuk menutup cerita, meski berbeda dengan film pertama, kali ini elemen tersebut bukan bertugas merangkum perjalanan si tokoh utama, melainkan murni simplifikasi terhadap solusi permasalahan.
Ini Lho Munafik 2 (2018)
4/
5
Oleh
news flash