Wednesday, December 12, 2018

Ini Lho Theeb (2014)

Seiring berjalannya usia, seorang bocah kelak akan tumbuh menjadi laki-laki dewasa. Tentunya tumbuh kembang itu tidaklah instant, butuh proses berkepanjangan untuk menempa mental menuju pendewasaan. Tapi apakah hal serupa sanggup diterapkan pada mereka yang tumbuh di tengah zona perang penuh gesekan? Disaat kematian, kehilangan orang tercinta, siksaan fisik sekaligus psikis, konflik moral ambigu, hingga intrik politik menjadi makanan sehari-hari, bagaimana pengaruhnya akan pendewasaan seseorang? "Theeb" karya Naji Abu Nowar yang menjadi perwakilan Yordania untuk Oscar 2016 ini memang ber-setting pada 1916 ketika terjadinya Revolusi Arab, namun hingga hari ini, nyaris 100 tahun setelahnya, kisahnya tetap relevan sebagai citra akan coming-of-age seorang anak dalam kehidupannya di tengah zona perang.

Theeb (Jacir Eid Al-Hwietat) ialah bocah anggota suku seminomaden berjulukan Bedouin. Dia sering menghabiskan waktu bersama kakaknya, Hussein (Hussein Salameh Al-Sweilhiyeen) untuk memberi makan unta yang mereka ternak atau berlatih memakai senapan. Segala pengetahuan mengenai unsur kehidupan didapat Theeb dari sang kakak, alasannya tidak sekalipun ia diperlihatkan pergi meninggalkan kawasan sukunya bermukim. Sebagai anak kecil, pastinya Theeb dipenuhi rasa ingin tahu. Karena itulah ketika suatu malam tiba dua tamu asing, perhatiannya pribadi tersita pada mereka. Salah satu dari tamu tersebut ialah tentara Inggris berjulukan Edward (Jack Fox), dan kehadiran seorang foreigner pastinya menunjukkan rasa ingin tau tinggi pada Theeb. Terus ia amati segala tindak tanduk serta barang milik Edward, mulai dari rokok hingga kotak misterius yang akan membuatnya murka besar ketika Theeb menyentuhnya.
Rasa ingin tahu itu juga mendorong kenekatan Theeb untuk mengikuti Hussein dan kedua tamu tadi menyusuri jalur berbahaya yang dipenuhi para bandit. He expected to see the outside world, but finally found out that it's more dangerous than it seems. Para tokohnya terlibat dalam perjalanan yang oleh sutradara Naji Abu Nowar dideskripsikan sebagai "Arab western". Definisi itu tidak keliru, alasannya banyak sekali aspek film ini memang mengundang komparasi khususnya dengan karya-karya Sergio Leone. Tengok saja baku tembaknya, landscape padang pasir gersangnya, juga pencarian akan "dunia baru". Abu Nowar mengemas keheningan sebagai pembangun atmosfer kesunyian sekaligus kengerian ketika seseorang berpetualang di alam liar. Sedangkan sinematografi garapan Wolfgang Thaler tak hanya suatu keindahan pemandangan, tapi juga tepat dalam memaparkan sulit nan berbahayanya perjalanan yang ditempuh.
"Theeb" diisi unsur Revolusi Arab dan intrik politik, namun tak hingga mengambil fokus utama. Semua itu hanyalah latar demi memperkuat pengembangan karakter. Karena dengan kondisi penuh kekacauan semacam itu, penonton sanggup memahami bagaimana bisa seorang bocah "dipaksa" untuk tumbuh pintar balig cukup akal dalam waktu singkat. Selama prosesnya sendiri, saya berhasil diajak mencicipi ketakutan yang menguasai karakternya. Theeb ialah bocah cilik yang tak pernah melihat apapun diluar pemukiman sukunya. Dia sendirian dan tidak berdaya. Dari situlah intensitas tinggi bisa dihadirkan film ini. Sebuah adegan baku tembak bisa terasa sangat intens, alasannya protagonisnya hanya rakyat sipil biasa dengan satu-satunya tujuan yakni bertahan hidup. Dan mereka harus dihadapkan dengan para durjana yang tidak segan menghabisi musuhnya. Bahkan sebuah adegan ketika Theeb berusaha memanjat keluar dari sumur sanggup begitu menegangkan sebagai hasil dari kuatnya pemaparan ketidakberdayaan karakter.

Jacir Eid Al-Hwietat menunjukkan akting terbaik dari bintang film cilik tahun ini. Meski diharuskan memunculkan rasa takut dan dilema, sama sekali ia tidak pernah terjebak dalam luapan emosi berlebihan. Semuanya subtil sekaligus believable. Bukan kasus gampang, alasannya Theeb dihadapkan pada situasi rumit, menyerupai ketika ia ragu untuk menunjukkan minum untuk seorang bandit. Penonton tidak diperlihatkan banyak, hanya gestur penuh keraguan sebagai respon natural dari insting bertahan hidup serta rasa takut. Berkat kompleksitas yang bisa dibawa Jacir Eid Al-Hwietat dalam aktingnya pula "Theeb" sanggup berakhir sebagai griping coming-of-age story mengenai bocah polos yang mengikuti curiosity-nya dan berakhir menemukan kedewasaan. Makara apa yang anda lakukan bila sosok yang teramat anda benci ternyata merupakan peluang terbaik untuk bertahan hidup? Theeb tahu jawabannya berkat tempaan berat hasil dari perjalanannya.

Artikel Terkait

Ini Lho Theeb (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email