Saat menyukai seseorang, kegiatan ibarat social media stalking, mencari tahu bahkan berusaha ikut menyukai hal-hal kesukaan orang tersebut barangkali kerap kita semua lakukan. Tindakan-tindakan itu tentunya familiar, sama familiarnya dengan perjuangan protagonis merebut cinta sang pujaan hati yang terasa sulit digapai dalam sebuah komedi romantis. "Hello, My Name Is Doris" berisikan premis klise serupa, hanya saja abjad utamanya bukanlah remaja atau remaja awal, melainkan perempuan berusia 60-an tahun berjulukan Doris Miller (Sally Field) yang merepresentasikan segala ciri seorang catlady introvert, tinggal sendiri di rumah gelap nan pengap, berpenampilan kuno, dan tentunya memelihara kucing.
Setelah sang ibu yang telah ia rawat selama bertahun-tahun meninggal, Doris menerima tekanan dari adiknya, Todd (Stephen Root) dan sang istri, Cynthia (Wendi McLendon-Covey) semoga mengosongkan onggokan barang-barang di dalam rumah hasil kegemarannya memungut barang bekas. Untuk itu Doris mulai mendatangi sesi terapi bersama Dr. Edwards (Elizabeth Reaser). Di ketika bersamaan, rutinitas membosankan Doris di kantor yang harus ia tempuh menggunakan ferry berubah tatkala tiba karyawan baru, cowok tampan berjulukan John (Max Greenfield). Seketika jatuh cinta, Doris mulai melaksanakan serangkaian perjuangan guna menarik perhatian John.
Usaha Doris terbentang dari stalking Facebook menggunakan akun palsu, membeli CD musisi favorit John band electropop bernama Baby Goya & The Nuclear Winters sampai mendatangi konser grup band tersebut sambil menggunakan pakaian berwarna neon. Karakter Doris berisiko jatuh menjadi creepy stalker kalau bukan alasannya yaitu performa heartwarming Sally Field. She carried the whole movie, made it entertaining even with its tonal inconsistency. Dipandang sebagai tragicomedy kelam tentang nasib percintaan perempuan bau tanah berkepribadian tertutup, naskah serta penuturan sutradara Michael Showalter terlampau ringan. Namun sebagai feel-good comedy, tingkah Doris acapkali ekstrim, menghalangi simpati penonton.
Berkat Sally Field, Doris tetap berakhir sebagai likeable character. Ekspresi, khususnya senyuman Field tepat mewakili awkward behavior karakter yang selalu sukses memancing tawa kala Michael Showalter menyelipkan beberapa spaced out moment saat Doris karam dalam fantasi. Akting dramatiknya pun tak kalah memikat, yang salah satunya ditunjukkan ketika emosi Doris meledak jawaban tekanan berlebih guna membersihkan rumahnya. Teriakan Field teramat heartbreaking pada adegan tersebut. Tidak ibarat filmnya, sang aktris bisa menyeimbangkan sisi drama dengan komedi lewat penampilannya.
Pemilihan konklusinya memuaskan berkat keberhasilannya menjadi elok sekaligus pahit tergantung dari sudut pandang mana anda melihatnya. Terpenting, konklusi tersebut mampu menyatukan tone ganda yang mendistraksi sepanjang durasi, merupakan kesimpulan tepat bagi perjalanan tokohnya, baik dipandang sebagai lighthearted romantic comedy maupun tragicomedy. "Hello, My Name Is Doris" sejatinya predictable, tapi penggunaan protagonis seorang perempuan lanjut usia menambahkan kompleksitas penokohan meski kesannya berujung mencuatkan permasalahan tone. Sangat layak disimak walau hanya demi melihat akting Sally Field.
Ini Lho Hello, My Name Is Doris (2015)
4/
5
Oleh
news flash