Friday, December 14, 2018

Ini Lho Paper Towns (2015)

Novelis John Green sanggup menyulap sebuah premis cheesy menjadi sebuah rangkaian dongeng yang lebih berisi dan dewasa. Setidaknya hal itu nampak dari film-film yang mengadaptasi novel ciptaannya. Tahun 2014 lalu, The Fault in Our Stars menyuguhkan percintaan remaja dengan perhiasan penyakit kanker tanpa perlu terasa sok manis apalagi cengeng. Paper Towns pun berakhir serupa. Dasar ceritanya sederhana, yaitu kehidupan remaja masa Sekolah Menengan Atas lengkap dengan konflik persahabatan dan pencarian cinta sejati. Alih-alih menerima tontonan teenage movie yang kosong, saya dikejutkan oleh sentuhan filosofis di dalamnya. Film garapan sutradara Jake Schreier ini merupakan penelusuran banyak sekali aspek kehidupan yang diterapkan dalam setting kehidupan remaja. 

Filmnya dibuka dengan voice over dari abjad Quentin (Nat Wolff) yang membicarakan soal keajaiban. Bagi Quentin, keajaiban dalam hidupnya sederhana saja, yaitu tinggal bersebelahan dengan Margo (Cara Delevigne). Keduanya menghabiskan masa kecil bersama, dan alhasil Quentin pun jatuh cinta pada gadis tersebut. Namun kepribadian dan cara pandang hidup yang amat berbeda mulai menjauhkan mereka berdua. Quentin tumbuh sebagai cowok yang lurus, tekun belajar, tidak pernah absen sekolah, dan ragu untuk keluar dari zona nyamannya. Sebaliknya, kehidupan Margo dipenuhi petualangan menyerupai menghabiskan tiga ahad bersama rombongan sirkus atau nekat membobol masuk kedalam Sea World di malam hari. Menjelang kelulusan ketika Quentin sudah mulai melupakan cintanya itu, Margo tiba-tiba kembali dan "memaksa" Quentin keluar dari comfort zone.
Paper Towns memang lebih filosofis dibandingkan film-film remaja lain baik dari segi dongeng maupun dialog, tapi tidak hingga terasa pretensius. Kalimat yang diucapkan oleh karakternya masih "manusiawi", menyerupai ketika Margo membahas ihwal analogi "paper town". Justru kesan filosofis itu berkhasiat menguatkan dongeng film ini untuk terasa lebih cukup umur dan mempunyai makna. Perjalanan yang harus dialami Quentin dan teman-temannya bukan semata-mata ujian persahabatan atau pencarian cinta sejati. Lebih dari itu, mereka secara tidak sadar tengah menggali makna kebahagiaan. Tapi sama menyerupai keajaiban versi Quentin, film ini tidak mendefinisikan sumber kebahagiaan dari hal-hal besar yang penuh gemerlap dan kemeriahan.

Setelah melewati malam tergila dalam hidupnya, Quentin (yang kembali jatuh cinta) mendapati Margo telah menghilang. Di tengah kebingungannya, Quentin mendapati beberapa petunjuk yang ia yakini sengaja ditinggalkan Margo untuk menggiring Quentin menemukan keberadaannya. Bersama dua sahabatnya, Ben (Austin Abrams) dan Radar (Justice Smith) serta sahabat Margo, Lacey (Halston Sage), beliau pun mulai melaksanakan road trip menuju sebuah kota fiktif yang letaknya ribuan kilometer. Disitulah Quentin dan teman-temannya mencicipi kebahagiaan yang berasal dari hal-hal sederhana menyerupai absen sekolah untuk pertama kali, melaksanakan perjalanan penuh rintangan tak teruduga bersama sahabat, hingga menerima pasangan kencan untuk prom night. Perspektif bahwa "kebahagiaan berasal dari hal-hal kecil" itu justru menciptakan ceritanya lebih terasa relatableTema mengenai "kebahagiaan" itu pun berpadu tepat dengan penceritaan ihwal keberanian karakternya keluar dari zona nyaman. Disaat mereka khususnya Quentin berani keluar dari kotak yang mengekang, ketika itu pula kebahagiaan mulai hadir.
Jake Schreier berhasil mengemas semua kesederhanaan itu dengan begitu manis, atau mungkin lebih tepat disebut bittersweet jika merujuk pada ending-nya. Bagian ending yang memperlihatkan rasa pahit sekaligus menjauhkan film ini dari kesan klise itu turut berkhasiat mendewasakan ceritanya, mendekatkan pada realita. Seolah ingin menggambarkan bahwa tidak semua mimpi cinta sejati berakhir indah tapi tanpa harus bersikap "sinis" dalam bertutur. Lagipula menyerupai kebahagiaan di atas, definis "indah" pun amatlah relatif. Hal tersebut yang coba diperlihatkan oleh Paper Towns dan berhasil. Sebagai romansa sekaligus drama kehidupan, konklusi manis-pahit yang ditawarkan memuaskan. Bumbu misteri dalam pencarian terhadap Margo pun memperlihatkan kesegaran, menciptakan filmnya tidak hanya berputar di sekitaran drama-romansa belaka. Karakter Margo yang misterius namun disaat bersamaan gampang disukai turut berkontribusi meningkatkan daya tarik misterinya. 

Cara Delevigne ialah pilihan tepat sebagai Margo yang selalu bersikap seenaknya sekaligus menyimpan misteri. Kenapa sempurna? Karena wajah khas Cara berkombinasi tepat dengan pembawaannya terhadap sosok Margo: perempuan anggun yang keras dan misterius. Cara Delevigne setidaknya menunjukan bahwa ia bukan salah satu dari sekian banyak model yang terjun ke dunia akting hanya bermodalkan wajah anggun atau tubuh seksi. Nat Wolff pun sama baiknya sebagai Quentin yang canggung dan penuh keraguan. Ekspresi yang dihadirkan tepat, tapi lebih tepat lagi melihat gestur kaku yang selalu ia tunjukkan meski hanya berbentuk gerakan kecil sekalipun. Mungkin saja keberhasilan mereka berdua lebih dikarenakan ketepatan casting director yang sukses meraba potensi alamiah keduanya. Tapi itu tidak menutup fakta bahwa baik Cara maupun Nat sama-sama tampi meyakinkan.

Paper Towns bukan sekedar film remaja, bukan pula sekedar drama romansa dilapisi persahabatan SMA. It's a simple but fascinating movie about many simple but fascinating things in life.


Artikel Terkait

Ini Lho Paper Towns (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email