Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Rogue One: A Star Wars Story (2016)

Sebelum dimulai, ibarat biasa logo Lucasfilm muncul, diikuti kalimat "A long time ago in a galaxy far, far away....". Tapi kemudian "Rogue One" eksklusif menampilkan pemandangan luar angkasa plus imbas bunyi menghentak, seolah menyadarkan lamunan penonton yang menunggu opening crawl beriringkan lagu tema ikonik buatan John Williams. Begitu kentara memang perjuangan membedakan film pertama dari (rencana) tiga antologi "Star Wars" ini dengan installment regulernya. Bahkan format judul yang tanpa pemanis "Episode", desain poster, hingga nyaris tiadanya lightsaber pun menyiratkan kesan serupa. Sehingga menjadi ironis tatkala momen-momen terbaik "Rogue One" justru berasal dari tumpuan serta kaitan eksklusif dengan kisah film pendahulu.

Karakter sentralnya yaitu Jyn Erso (Felicity Jones), puteri Galen Erso (Mads Mikkelsen), ilmuwan yang dipaksa oleh Empire untuk membangun Death Star. Ketika pihak pemberontak mendengar kabar pembuatan senjata pemusnah tersebut, mereka merekrut Jyn, semoga memudahkan saluran mendekati Galen, guna mencari cara menghancurkan senjata tersebut. Dalam pelaksanaan misi, Jyn turut dibantu orang: Cassian Andor (Diego Luna) anggota pemberontak, K-2SO (Alan Tudyk), droid milik Imperial yang telah diprogram ulang, Bodhi (Riz Ahmed), pilot Imperial yang membelot, Chirrut Imwe (Donnie Yen) sang ksatria buta dan rekannya, Baze Malbus (Jiang Wen). 
Jika sinopsis di atas lebih banyak menuliskan nama tokoh daripada ringkasan alur, itu dikarenakan naskah garapan Chris Weitz dan Tony Gilroy memang menyimpan banyak huruf namun ceritanya setipis kertas. Jyn meneruskan jejak Leia dan Rey sebagai protagonis perempuan kuat, Chirrut dan Baze begitu badass menghajar Stormtroopers, sedangkan K-2SO paling mencuri hati (salah satu momen kehadirannya terasa menyentuh) dikala ia selalu sanggup diandalkan sembari melontarkan banyolan menggelitik. Semuanya menarik, namun tidak demikian kisah di sekitar mereka. Jangankan memorable, beberapa poin alur tidaklah substansial, ibarat pencarian terhadap Saw Gerrera (Forest Whitaker) sang pemberontak ekstrimis yang bertujuan untuk memamerkan serangan Death Star semata.

Dua per tiga paruh awal "Rogue One" memang gampang dilupakan, alasannya yaitu Weitz dan Gilroy ibarat lebih memfokuskan penulisan pada membangun hubungan dengan kisah "Star Wars" secara menyeluruh. Meski pengembangannya lemah, "Rogue One" menunjukan betapa kayanya mitologi franchise ini, di mana tiap sisi berpotensi memunculkan dongeng gres yang menarik, materi tepat bagi shared universe. Sekumpulan tumpuan sekaligus kembalinya beberapa huruf usang pun bakal menciptakan para penggemar kegirangan. Walau tak hingga 10 menit  termasuk momen pure badass kala titik puncak yang dikemas luar biasa oleh Gareth Edwards  kemunculan Darth Vader (disuarakan James Earl Jones) cukup menegaskan alasan dirinya layak disebut sebagai salah satu villain terbaik dalam film. 
"Rogue One" yaitu film yang memanjakan para penggemar tetapi cukup mengalienasi penonton awam. Sewaktu para fans atau mereka yang memahami mitologinya dibentuk terpana, bersorak mendapati kemunculan mengejutkan satu lagi tokoh klasik pada scene terakhir yang turut menegaskan letak film ini dalam timeline "Star Wars", casual audience takkan terpengaruh, bahkan sanggup jadi kebingungan. Tapi bukan masalah, lantaran Gareth Edwards berhasil menyuguhkan third act bombastis yang tersusun atas langgar tembak, perang laser antar pesawat di angkasa, dan tentunya Darth Vader. Pasca dua babak awal yang berlangsung datar, 40 menit terakhirnya merupakan obat mujarab, epilog tepat bagi film yang berhiaskan "perang bintang" di judulnya.

Sinematografi Greig Fraser sukses menyebabkan nuansa tropis Planet Scarif panggung memikat mata bagi peperangan puncak. Begitu pula kedigdayaan CGI, di mana serbuan ratusan pesawat, Death Star yang nampak samar di kejauhan, hingga serangan AT-AT dirangkum dalam suatu kemegahan visual. Sayang, scoring gubahan Michael Giacchino  termasuk rekonstruksi "Imperial March"  gagal menandingi buatan John Williams, meninggalkan kehampaan di tengah tidak adanya "Star Wars Theme". "Rogue One: A Star Wars Story" tetaplah blockbuster yang sangat menghibur, meski terasa lebih dikhususkan bagi para penggemar. 

Artikel Terkait

Ini Lho Rogue One: A Star Wars Story (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email