Friday, December 7, 2018

Ini Lho The Sound Of Music (1965)

(Tulisan ini mengandung SPOILER)
Masihkah perlu review untuk The Sound of Music dibuat ketika hampir semua orang pernah menontonnya dan secara consensus ditasbihkan sebagai salah satu film -tidak hanya musikal- terbaik sepanjang masa? Sebelumnya saya tidak merasa itu perlu, sampai pengalaman menonton untuk ketiga kali merubah keputusan tersebut. Tentu kita semua setuju bahwa nomor-nomor ibarat My Favorite Things, Do-Re-Mi atau The Sound of Music adalah klasik penuh sihir dan bisa menciptakan siapapun ikut bernyanyi. Memikat pula jajaran cast khususnya Julie Andrews berkat performa energetic-nya. Tapi lebih dari itu, di masa sekarang, film garapan sutradara Robert Wise ini tak hanya sebuah sajian bagus, namun juga penting. 

Kisahnya sederhana, bahkan termasuk cheesy pula predictable. Maria (Julie Andrews) yaitu perempuan muda dengan cita-cita menjadi biarawati, namun beberapa suster menganggapnya terlalu ceroboh dan kurang menjaga sopan santun. Maria kemudian ditugaskan menjadi pengasuh bagi ketujuh anak Captain von Trapp (Christopher Plummer), mantan anggota angkatan bahari Austria yang sepeninggal istrinya jadi bersikap keras pada anak-anaknya, memperlakukan mereka layaknya pasukan militer. Alur sederhana itu turut dipaparkan dalam naskah yang tidak seberapa kuat, di mana perubahan perilaku huruf acapkali hadir amat cepat kolam tanpa gradasi. Tebukti naskah garapan Ernest Lehman tak termasuk di antara 10 nominasi Oscar milik film ini.
Mungkin akan banyak penonton masa kini menganggap The Sound of Music terlalu naif. Bagaimana tidak? Canda tawa karakternya hadir hanya sebab menyanyikan lagu perihal notasi sambil berlarian di padang rumput. Atau jika mau bicara lebih luas, banyak permasalahan -termasuk perubahan perilaku karakter- diselesaikan oleh nyanyian. Pemikiran "hidup tidak sesederhana itu" masuk akal saja mengisi pikiran beberapa penonton. Justru dari situ pendapat saya mengenai betapa pentingnya film ini pada masa kini bermula. Kita sudah terlampau rumit memandang hidup sehingga kebahagiaan pun tak lagi bisa tiba lewat hal-hal simple. Kita sudah merasa cerdas, mengutamakan otak demi menyimpulkan baik/buruk suatu film, tapi melupakan rasa dan memandang rendah paparan klise.

Saya dibentuk meneteskan air mata ketika pertama kali menyaksikan adegan Maria dan ketujuh anak Captain von Trapp bertamasya sambil menyanyikan Do-Re-Mi bersama-sama. Bukan sebab adegan itu menyedihkan, tapi sebaliknya, saya tersentuh melihat wajah sumringah aktornya melantunkan lirik-lirik acak yang sejatinya nonsensical. Pemandangan tersebut seketika membawa kebahagiaan. Adegan lain meninggalkan kesan serupa, sebut saja kala Maria mengagumi indahnya pegunungan, bernyanyi mengenai hal-hal favoritnya, atau ungkapan cinta monyet Liesl (Charmian Carr) di bawah guyuran hujan malam hari. Melihat semua itu saya terkesima. Sungguh senang tidak sukar didapat asal kita bisa memandang positif kehidupan, menikmatinya, kemudian tertawa ditemani orang-orang terkasih.
Terdapat dua aspek penting lain dalam kisah untuk disimak atas kaitannya dengan kondisi dunia kini ini. Pertama kiprah Mother Abbess (Peggy Wood) membantu Maria menemukan kemantapan hatinya. Tiada pernyataan bahwa pilihan mengabdi pada Tuhan sebagai biarawati merupakan keharusan. Satu-satunya pesan yaitu "cinta". Dalam suatu adegan, Mother Abbess berkata bahwa cinta antara laki-laki dan perempuan juga suci. Rasa cinta kepada Tuhan bukan berarti menciptakan seseorang bisa membutakan dirinya terhadap cinta akan sesama. Bandingkan dengan kondisi ketika ini di mana agama justru kerap berbagi pertikaian alih-alih cinta dan perdamaian. 

Aspek kedua berupa hadirnya cengkeraman Nazi di paruh akhir. Kehadiran Nazi merupakan perlambang bagaimana perang menghancurkan kebahagiaan bahkan merusak percintaan yang tadinya tampak begitu manis. Akhirnya kedua aspek itu bersinggungan tatkala di klimaks, para biarawati membantu keluarga von Trapp melarikan diri dari kejaran Nazi. Bahkan dua di antara mereka rela berbuat "dosa" demi menghalangi gerak para tentara. Hal itu menunjukkan bagaimana semestinya para pemeluk agama mengulurkan tangan membantu korban peperangan, bukannya menyulut perang sendiri. 

Memang film ini jauh dari kata sempurna. Seperti yang telah saya ungkapkan, naskahnya kerap terburu-buru di ranah pengembangan karakter. Tapi sudah waktunya kita memandang The Sound of Music lewat perspektif lain. It's a great musical film, namun lebih dari itu juga mempunyai esensi penting bagi kehidupan kita cerdik balig cukup akal ini. Kali ini saya tidak menyinggung sisi teknis filmnya, sebab The Sound of Music tak memerlukan lagi pembahasan perihal itu. Pada masa di mana kompleksitas diagungkan dan kebahagiaan serasa begitu mahal, menjadi wajib hukumnya menyimak film ini. Jika anda tak terpengaruhi ikut bernyanyi atau setidaknya menyunggingkan senyum menyaksikan tawa senang tokoh-tokohnya, mungkin sudah waktunya mengkhawatirkan kesejahteraan hati anda. If there's a movie that could restores the humanity and spreads the love, 'The Sound of Music' is definitely it. 

Artikel Terkait

Ini Lho The Sound Of Music (1965)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email