Bagaimana cara mengatasi kejenuhan penonton akan suatu dongeng yang telah dipaparkan berulang-ulang atau sudah mereka ketahui secara niscaya guliran kisahnya? Salah satu jalan keluar ialah menyelipkan twist, atau pada kasus Surat Cinta Untuk Kartini, trio penulis naskah Vera Varidia, Toha Essa dan Fatmaningsih Bustamar membuat huruf fiktif berjulukan Sarwadi (Chicco Jerikho) selaku love interest R.A. Kartini di tengah usahanya memperjuangkan hak wanita Indonesia memperoleh kesetaraan derajat. Sebuah konsep "what if" menarik, mengingat lebih banyak didominasi biopic dewasa ini terkekang dalam "kewajiban" pembagian terstruktur mengenai ideologi tokohnya semata, alias dipenuhi wangsit namun minim sentuhan perasaan.
Sarwadi ialah duda beranak satu dengan profesi sebagai tukang pos di Jepara. Baru hari pertama bekerja, ia sudah berkesempatan mengantar surat ke rumah Bupati, dan di sanalah Sarwadi pertama kali terpesona oleh kecantikan Raden Ajeng Kartini (Rania Putri Sari). Semakin hari, semakin jatuh hati pula Sarwadi, terlebih dikala ia mengetahui cita-cita Kartini mendobrak budaya Jawa yang mengekang kaum perempuan. Sampai suatu hari Sarwadi mendengar niatan Kartini membuka sekolah bagi kalangan bumiputera. Dari situlah Sarwadi berusaha membantu Kartini, termasuk menyediakan kawasan mengajar sekaligus mengajak puterinya, Ningrum (Christabelle Grace Marbun) beserta bawah umur lain berguru di sana. Namun sebagai rakyat jelata, cinta Sarwadi pada Kartini memang kolam mimpi di siang bolong.
Surat Cinta Untuk Kartini dapat berujung hidangan romansa berpengaruh nan mengharu biru tanpa perlu berlebihan menjalin melankoli, sebab formula klasik mengenai "cinta beda kasta" tak bisa dipungkiri efektif merenggut hati penonton. Bagi saya langsung usaha cinta Sarwadi cukup relatable serta potensial menggugah perasaan kala film menyentuh konklusi. Alasan detail akan saya bahas nanti, tapi poin utamanya, Surat Cinta Untuk Kartini bakal jauh lebih memuaskan andai hanya berfokus wacana love story kedua protagonis atau sekedar eksplorasi sudut pandang dan cinta Sarwadi bagi Kartini. Tapi, naskahnya seolah merasa "sayang" mengesampingkan usaha Kartini. Alhasil diluangkan waktu beberapa usang mengeksplorasi hal tersebut yang justru melemahkan narasi.
Nyaris tidak mungkin melaksanakan penggalian menyeluruh terhadap aspek emansipasi dikala filmnya membagi fokus dengan kisah romantika, sehingga dalam durasi terbatas, aneka macam gagasan Kartini diungkapkan sepotong demi sepotong entah melalui sebaris obrolan maupun petikan konflik semisal dipaksakannya Kartini untuk menikah atau perselisihannya dengan sang paman. Penonton balasannya sebatas tahu tanpa diajak memahami. Saya turut mempermasalahkan interpretasi "emansipasi" khususnya yang diwakili oleh sempilan kisah masa kini. Selain paruh penceritaan itu tidak signifikan, cukup mengganggu tatkala Kartini kembali diidentikkan dengan kebaya dan segala tampilan fisiknya. Stereotyping itu selaras akan "masalah" perayaan Hari Kartini yang didominasi lomba pakaian budbahasa alih-alih menekankan pada usaha hak.
Namun saya ialah seorang laki-laki, rasanya kurang bijak menggemborkan informasi yang (bagi sebagian kalangan) tidak dimengerti kaum Adam. Kaprikornus mari kembali ke poin yang sudah barang tentu saya pahami, yakni love story. Telah saya sampaikan sebelumnya, usaha Sarwadi terasa relatable, kenapa? Karena lebih banyak didominasi niscaya dialami laki-laki. Coba perhatikan: kisah cinta kolam "punuk merindukan rembulan", usaha membantu pujaan hati merengkuh mimpi sebagai alat curi-curi kesempatan supaya dekat, hingga upaya tersirat sebelum balasannya tersurat (no pun intended) biar sang pujaan hati menentukan ia daripada pesaingnya. Dibuatnya huruf Sarwadi sering nampak cengengesan pun bakal melemparkan ingatan penonton pria akan kebodohan laris mereka (kami) tatkala berhadapan dengan wanita idamannya.
Ada perbedaan antara usaha menyeimbangkan eksplorasi gender dalam sebuah alur dengan murni kebingungan menentukan fokus antara "movie about woman" atau "movie about man". Film ini ialah bentuk kebingungan sebab terperinci terlihat niatan utamanya menjadi kisah percintaan namun merasa sayang apabila menanggalkan emansipasi R.A. Kartini begitu saja. Padahal Surat Cinta Untuk Kartini dapat berhasil sebagai kisah cinta sederhana dua manusia beda kasta tanpa pelengkap pesan lainnya. Terlebih, baik Chicco Jerikho maupun Rania Putri Sari sama-sama memberi akting memuaskan sebagai pria kelas bawah berbalut senyum penuh cita-cita dan wanita aristokrat berbalut wibawa pula kelembutan. Belum lagi alunan musik mendayu garapan Aghi Narottama bersama Bemby Gusti cukup bisa menyentuh hati. Potensi itu tersia-siakan.
Ini Lho Surat Cinta Untuk Kartini (2016)
4/
5
Oleh
news flash