Indonesia punya banyak animator handal yang telah berlalu lalang di kancah internasional, tapi mengapa kualitas animasi layar lebar belum berkembang pesat? Masalahnya satu, yaitu anggapan bahwa keterlibatan animator anggun sudah cukup menghasilkan animasi berkualitas. Anggapan salah kaprah ini berujung melahirkan beberapa karya yang memukau secara gambar namun awut-awutan soal penceritaan, contohnya Battle of Surabaya dua tahun lalu. Knight Kris terjangkit penyakit serupa. Menawarkan konsep unik ditambah desain huruf apik, perjalanannya diganggu penceritaan medioker.
Didasari mitologi soal Asura alias raksasa jahat, Knight Kris menempatkan Bayu (Chika Jessica), bocah 8 tahun yang bercita-cita menjadi satria super sebagai huruf sentral. Impian itu terealisasi sehabis ia mencabut keris yang tersembunyi di gua, memberinya kemampuan bermetamorfosis Bayusekti (Deddy Corbuzier), satria sakti berwujud harimau. Tapi di ketika bersamaan, Bayu turut membangunkan Asura (Bimasakti) dari tidurnya. Dibantu sepupunya, Rani (Stella Cornelia) dan Empu Tandra (Bimasakti), Bayu memulai petualangan mengumpulkan enam potongan keris yang tersebar guna menggagalkan niat Asura menghancurkan dunia.
Knight Kris berpotensi mengembalikan kebahagiaan masa kecil kita kala menyaksikan kemunculan tokoh-tokoh berpenampilan keren. Nahwara (Santosa Amin) dengan tiga topeng di wajahnya, Bayusekti dan baju zirahnya, hingga Asura yang merupakan modifikasi kreatif tampilan raksasa dalam dongeng. Walau tak hingga membentuk parade meriah sebab terbatasnya kemunculan huruf akhir upaya menyimpan kisah untuk diteruskan sebagai trilogi, duet sutradara Antonius dan William Fajito sanggup menuangkan kreativitas, merangkai sederet jurus menarik pembungkus adegan agresi yang mendominasi 106 menit durasi.
Namun kembali ke permasalahan dasar, Knight Kris hanya memamerkan gambar (plus konsep). Pada adegan pertarungan misalnya, di antara kekacauan situasi, sulit merasa terikat sebab ketiadaan tensi. Kedua sutradara sekedar melempar warna dan jurus sebanyak mungkin, lalai menunjukkan nyawa dalam momen tersebut. Alhasil, apa yang terlihat hanya wujud-wujud kartun saling serang, nihil ketegangan apalagi emosi. Enak dilihat, tetapi takkan bertahan usang di ingatan, kemudian sanggup terlupakan beberapa menit setelahnya. Cukup besar kemungkinan penonton anak terpuaskan meski belum hingga taraf menimbulkan Bayusekti dan kawan-kawan sebagai idola baru.
Menonton film ini layaknya menyaksikan kartun Minggu pagi berisi kalimat klise ketika penjahat gemar tertawa sambil berkata "Akan kuhancurkan kalian". Dialog dalam naskah goresan pena Antonius amat kaku untuk ukuran animasi anak yang mengetengahkan petualangan seru hingga filmnya terkesan terlalu serius menyikapi seluruh kondisi. Seolah berkiblat dari sinetron lokal, tiap isi hati huruf wajib dituangkan secara verbal, contohnya ketika melihat rumah sepi, karakternya akan berucap "kok sepi, apa tidak ada orang ya?". Bahkan Upin & Ipin pun enggan "secerewet" ini. Jajaran pengisi bunyi pun gagal menolong. Bimasakti dan Santosa Amin bermodalkan pengalaman mereka yummy didengar, namun Deddy Corbuzier, Chika Jessica, juga logat medok Kaesang Pangarep hadir tanpa rasa.
Tersimpan usungan nilai wacana memperbaiki kesalahan (Bayu penyebab kebangkitan Asura) yang menyentuh ranah pendewasaan, sayangnya urung tersampaikan sepenuhnya mengingat kisahnya masih jauh dari tuntas. Begitu pula mitologi sarat budaya yang ditenggelamkan gempuran agresi bertubi-tubi. Knight Kris tak meninggalkan banyak hal untuk orang renta sampaikan atau ajarkan kepada anak kecuali hiburan sambil lalu. Melihat kualitas gambar Knight Kris, sangat disayangkan animasi negeri ini selalu terbuai oleh visual, lupa memperhatikan penceritaan yang notabene merupakan pondasi film apapun.
Ini Lho Knight Kris (2017)
4/
5
Oleh
news flash