Friday, December 7, 2018

Ini Lho 2 Batas Waktu: Amanah Isa Al-Masih (2016)

Ambisi itu bagus. Banyak mahakarya dunia perfilman lahir didasari ambisi besar pembuatnya  2001: A Space Odyssey, Apocalypse Now, Avatar, atau The Tree of Life  karena tanpa itu hanya akan terjadi stagnansi. Namun demi mewujudkannya diharapkan kerja keras, totalitas, kesabaran sekaligus tidak kalah penting yaitu bisa mengukur kemampuan diri. James Cameron memutuskan menunggu sekitar satu dekade semoga teknologi sanggup berkembang sesuai keinginannya kala menciptakan Avatar, sedangkan Francis Ford Coppola harus melalui proses pengambilan gambar penuh siksaan selama 16 bulan demi menuntaskan Apocalypse Now. Proyek ambisius bakal terasa dingin bahkan setengah matang kalau eksekusinya asal dan terburu-buru.

Saya bicara soal ambisi alasannya yaitu 2 Batas Waktu: Amanah Isa Al-Masih jelas dilandasi hal tersebut, setidaknya ketika memasuki proses penulisan naskah garapan Rudiansyah dan Jimmy S. Johansyah. Diangkat dari kisah nyata, film ini dibuka oleh adegan Tiara (Sandra Olga) menerima "penglihatan" mengenai kecelakaan sebuah pesawat yang ternyata sungguh terjadi. Kepada sang suami, Andra (Mehdi Zati) ia mengakui kerap mengalami insiden spiritual macam itu semenjak kecil. Di waktu bersamaan seorang Ustadz (M. Ibnu Quraisy) tengah memaparkan pada murid-muridnya wacana proses metafisika ketika insan sanggup melihat masa kemudian dan masa depan hingga menembus dimensi lain. 

Antusiasme hadir tatkala filmnya menyinggung kaitan antara "perjalanan spiritual" dengan sains. Walau diisi beberapa akting kaku, tata bunyi buruk, serta imbas visual murahan, menarik dinantikan bagaimana pokok bahasan itu diolah. Hingga kemudian alur berpindah ke masa lalu, menyoroti kehidupan cukup umur Tiara (Irish Bella)  saya mempertanyakan alasan penggunaan dua aktris berbeda yang jarak usianya hanya enam tahun. Perpindahan setting waktu ini bekerjsama bertujuan baik, guna menggali huruf sang protagonis semoga penonton mengenal kemudian terikat secara emosional. Namun cita-cita itu kandas akhir dangkalnya Rudiansyah dan Jimmy S. Johansyah mengeksplorasi kisah yang berujung pada hilangnya fokus narasi. 
Alih-alih menambah pemahaman penonton mengenai Tiara, justru kebingungan muncul akhir ketidakjelasan pemaparan karakter. Diceritakan Tiara yaitu seorang ibu, tapi kehidupannya tak mencerminkan itu alasannya yaitu nyaris tidak ada interaksi antara ia dengan sang anak. Begitu pula anggota keluarganya, di mana awalnya tersirat Tiara tinggal berdua bersama ayahnya sebelum mendadak muncul ibu beserta adiknya. Mustahil bersimpati apabila eksplorasi kehidupan tokohnya melupakan detail-detail vital tersebut. Akhirnya sewaktu Tiara mengalami life changing moment, tak sedikit pun perasaan saya tergugah. Patut disayangkan mengingat Irish Bella memberi performa tidak mengecewakan baik termasuk ketika harus melakoni adegan emosional. 

Memasuki paruh flashback2 Batas Waktu: Amanah Isa Al-Masih bak kehilangan arah dan bagai terlepas sepenuhnya dari apa yang dibangun pada awal narasi. Kedua penulis seolah malas membuatkan naskah mereka ketika unsur sains urung kembali disinggung dan alur sepenuhnya berganti menjadi drama yang justru sama sekali gagal melatari pengalaman spiritual Tiara. Jika ujungnya sains sama sekali dilupakan, untuk apa adegan awal dimunculkan? Apa pula peran M. Ibnu Quraisy di sini selain memberi celah semoga alur sanggup bergerak menuju flashback? Kemalasan naskah makin kentara ketika kesannya film cenderung menyentuh ranah "mistis" lewat kehadiran sosok-sosok mistik di sekitar Tiara. 
Keberadaan sosok mistik beserta konflik batin kala Tiara harus menyikapi pengalaman spiritual sejatinya potensial memunculkan dinamika psikologis menarik. Apakah Tiara memang mengalami semua itu ataukah ia menderita skizofrenia? Ambiguitas itu bukan saja kurang nampak namun justru dihindari oleh naskahnya yang berusaha keras menegaskan perjalanan Tiara menembus dimensi lain yaitu aktual tanpa sedikitpun menuturkan penjelasan. Bukannya saya menolak percaya akan insiden serupa, tapi sebagai bentuk scriptwriting, itu merupakan teladan kemalasan bertutur. Faktanya, hal itu turut menciptakan paparan drama sebelum "pertemuan" Tiara dengan Isa Al-Masih jadi tak mempunyai kegunaan alasannya yaitu gugusan konfliknya sama sekali tidak punya pengaruh. Beda kisah kalau aspek psikologis menjadi fokus.

'2 Batas Waktu: Amanah Isa Al-Masih' could be a lot of things from a smart twist on religious genre to a provocative psychological drama. Tapi kelemahan luar biasa pada naskah menciptakan daya tarik film ini sekedar berujung pada tataran konsep dan potensi ketika penulis naskah kebingungan hendak dibawa ke mana fokus alurnya. Beginilah teladan ambisi besar tanpa sanksi mumpuni  termasuk rangkaian sequence "dimensi lain" penuh keterbatasan kualitas CGI. This movie bites off more than it can chew. Paling tidak saya sedikit mengapresiasi keunikan premisnya di antara suguhan religi lain. 

NOTE: Saya mendukung pemakaian English subtitle bagi film Indonesia, tapi tolong perhatikan kualitasnya. Hampir dalam tiap line subtitle film ini terjadi kesalahan yang sulit ditolerir ("behave" ditulis "be have", "for God sake" menjadi "for the God shake" dan lain sebagainya).


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

Artikel Terkait

Ini Lho 2 Batas Waktu: Amanah Isa Al-Masih (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email