Friday, December 14, 2018

Ini Lho Bidadari Terakhir (2015)

Pada awalnya saya pesimis Bidadari Terakhir akan bisa mencapai potensi maksimalnya. Film yang diangkat dari novel berjudul sama karya Agnes Davonar ini mempunyai premis sebagai berikut: seorang cendekia balig cukup akal Sekolah Menengan Atas berprestasi jatuh cinta pada seorang pekerja seks komersial yang beberapa tahun lebih bau tanah darinya. Keraguan hadir ketika saya mempertanyakan "seberapa jauh film ini berani mengeksplotasi tema kontroversial tersebut?" Karena sangat mungkin (dan sudah sering) terjadi tema potensial semacam itu hanya berakhir sebagai tempelan tanpa makna yang minim eksplorasi. Tapi diluar dugaan sutradara Awi Suryadi bersama para penulis naskahnya (Priesnanda Dwisatria, Fauzan Adisuko & Agnes Davonar) berhasil menyuguhkan romansa yang anggun dan elegan, dengan tetap mengakibatkan tema di atas sebagai suatu hal penting meski tidak bisa disebut "dalam". 

Kita pertama bertemu Rasya (Maxime Bouttier) sang aksara utama pada opening yang menunjukkan ia tengah berlari, seolah tengah kabur dari kejaran seseorang dengan wajah terluka. Adegan pembuka yang men-tease bahwa kisah cinta kontroversial yang akan ia jalani nanti bakal menunjukkan banyak duduk perkara pada cendekia balig cukup akal baik-baik ini. Rasya memang seorang cowok yang lurus. Dia tidak pernah keluyuran di malam hari, tidak pernah pacaran, atau melaksanakan kenakalan-kenakalan yang biasa dilakukan anak seumurannya. Karena tuntutan dari sang ayah (Ikang Fawzi), Rasya pun hanya menghabiskan kesehariannya dengan tekun belajar. Sampai ketika ia "diajak" oleh sahabatnya, Hendra (Julian Jacob) ke sebuah daerah pelacuran berjulukan "Paradiso", Rasya bertemu dengan seorang PSK berjulukan Eva (Whulandary Herman) yang eksklusif memikatnya pada pertemuan pertama.

Tentu saja Bidadari Terakhir tidak luput dari beberapa kejanggalan. Salah satunya terletak pada perubahan perilaku Rasya yang terlalu cepat terjadi. Saya tahu ia eksklusif tertarik pada Eva di pertemuan pertama mereka, tapi dari yang tersaji di layar tidak cukup berpengaruh untuk mengubah Rasya dari yang awalnya panik ketika Hendra mengajaknya ke daerah pelaucuran jadi mempunyai keberanian untuk tiba kesana sendirian. Tidak tampak sedikitpun keraguan ketika ia memutuskan kembali ke Paradiso. Bocah yang hampir tidak pernah keluyuran di malam hari ini tiba-tiba berani tiba sendirian ke daerah pelacuran untuk menemui seorang PSK yang meski membuatnya tertarik (atau bahkan jatuh cinta) gres sekali ia temui. Setelah itu masih ada beberapa kejanggalan lain di perkembangan alur. Tapi semua itu masih bisa ditolerir dan tidak hingga membuat filmnya menjadi konyol. 
Saya tidak memasang ekspektasi tinggi. Bahkan pada awalnya menerka bakal menemukan banyak kebodohan entah dari alur yang dipaksakan atau obrolan hiperbola sok romantis yang membuat perut mual. Saya pun terkejut ketika mendapati naskah film ini cukup solid. Meski bertujuan menghadirkan romantisme, hubungan antara Rasya dan Eva ditampilkan cukup sederhana. Mereka tidak saling bertukar kata-kata romantis yang seolah diambil secara paksa dari tumpukan puisi tak terpakai. Obrolan antara mereka masih realistis. Saya dibentuk percaya bahwa keduanya jatuh cinta alasannya yaitu momen-momen kebersamaan yang muncul, meski itu hanya sebatas Eva menemani Rasya berguru biologi (literally) di kamar hotel. 

Saya dibentuk percaya mereka jatuh cinta, alasannya yaitu keduanya menemukan hal gres yang menarik dalam diri masing-masing. Bagi Rasya, Eva yaitu sosok yang unik disaat ia bisa menjadi lawan bicara yang menyenangkan, bukan hanya sesosok PSK bermodalkan tubuh. Sedangkan bagi Eva yang dikelilingi oleh pria pencari kepuasan nafsu, Rasya yang rajin belajar, polos dan bahkan menolak ketika diajak bekerjasama seks pun sama uniknya. Dari situ timbulnya rasa cinta diantara mereka jadi terasa natural dan believable. Hal itu ditambah kesan sederhana namun solid baik dari naskah maupun penggarapan dari Awi Suryadi berhasil membuat momen romantis yang anggun tanpa harus tampi berlebihan. 
Bidadari Terakhir punya dua konflik utama, yaitu yang berasal dari romansa Rasya-Eva dan hubungan antara Rasya dengan sang ayah. Konflik yang didasari oleh status Eva sebagai PSK mungkin tidak hingga menjadi sebuah observasi yang mendalam. Kita tidak diajak menyelami lebih jauh kehidupannya, tidak pula diberikan konflik batin yang kompleks. Semuanya masih dalam taraf permukaan saja, ibarat duduk perkara ekonomi atau moral di mata masyarakat. Memang klise, hanya saja sudah cukup untuk menjauhkan kesan status Eva hanya sebagai tempelan belaka, alasannya yaitu konflik tersebut terasa kehadirannya. Sayang, mencapai pertengahan seiring dengan semakin jarangnya Eva tiba ke Paradiso, daya tarik dari hubungan percintaannya sedikit memudar. Romantikanya sempat hanya terasa ibarat kisah cinta cendekia balig cukup akal pada umumnya. Padahal Whulandary Herman jauh lebih mengesankan ketika harus menjadi Eva sang PSK yang "nakal" daripada Eva yang biasa saja. 

Sebagai subplot, hubungan Rasya dan sang ayah mungkin tidak pula dihadirkan secara maksimal, namun menunjukkan dimensi yang lebih pada aksara Rasya itu sendiri. Disaat sisi anggun romansanya membuat saya bersimpati pada hubungannya dengan Eva, suplemen konflik dengan ayahnya yang berusaha mengakibatkan Rasya sebagai "robot" makin menguatkan simpati tersebut. Satu hal yang amat disayangkan yaitu tiga aksara pendukung yang terasa percuma. Hendra yang diawal berpotensi menunjukkan interaksi menarik lewat sifatnya yang bertolak belakang dengan Rasya semakin memudar seiring berjalannya durasi. Begitu pula adik Rasya, Angel (Meirayni Fauziah) yang punya potensi memainkan tugas serupa dengan Hendra dalam konflik cerita. Terakhir yaitu Maria (Stella Cornelia) yang tidak menunjukkan bantuan apapun dalam dongeng selain menyelipkan kisah cinta segitiga yang jauh dari kesan matang. 

Diluar segala kekurangannya, saya menyukai Bidadari Terakhir yang punya kisah romansa anggun dan cukup berani mengangkat tema kontroversial meski masih berada di zona aman. Kemudian hadirlah rangkaian momen menuju konklusi yang hampir saja menghancurkan film ini. Munculnya aspek "penyakit" yang selalu jadi andalan untuk menghadirkan kesedihan jujur saja menurunkan kelas Bidadari Terakhir yang sedari awal tampil elegan. Untung Awi Suryadi tampak menyadari itu dan tidak ingin membuat filmnya sebagai tearjerker seutuhnya. Maka beliau pun tidak membuat penonton berlama-lama pada momen tersebut, dan eksklusif bergerak ke poin selanjutnya yang terasa lebih faktual dan bagi saya tepat sebagai penutup. Sempurna, hingga konklusi bekerjsama hadir dan merusak keindahan romansa yang susah payah dibangun sedari awal. Kehadiran secara mendadak aksara Maria bukan hanya tidak perlu, tapi juga merusak esensi romansa yang ditanamkan semenjak awal. Bidadari Terakhir sayangnya ditutup oleh konklusi yang pointless itu.

Artikel Terkait

Ini Lho Bidadari Terakhir (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email