Friday, December 14, 2018

Ini Lho Comic 8: Casino Kings - Part 1 (2015)

Pada sebuah interview, Hannah Al Rashid yang menjadi salah satu cast film ini menuturkan bahwa Comic 8: Casino Kings punya penggarapan sekelas film Hollywood. Saya setuju. Sekuel dari film terlaris tahun 2014 (1,6 juta penonton) ini memang dibentuk dengan semangat khas sekuel blockbuster milik Hollywood. Maksudnya yakni lebih mahal, skala dongeng lebih besar, lebih banyak degan agresi penuh ledakan, lebih banyak CGI, lebih banyak nama besar. Bahkan layaknya tren belakangan, film ini dipecah menjadi dua pecahan (part 2 dirilis Februari 2016). Intinya ambisi untuk menjadi "lebih" dalam aspek apapun menjadi faktor penting, kecuali dari segi kualitas. Saya sendiri termasuk yang cukup kecewa dengan film pertamanya. Meski production value-nya memikat, pemanfaatan potensi komedi para komika papan atasnya mengecewakan. Kali ini saya tidak terlalu tinggi memasang ekspektasi, alasannya sudah tahu sekuel macam apa yang ingin dibentuk oleh Anggy Umbara. 
Sedari opening, Casino Kings - Part 1 sudah menampakkan jati dirinya. Menaati "aturan dasar" blockbuster, film ini dibuka dengan adegan intens ketika secara misterius, huruf utamanya terbangun di tengah hutan yang juga menjadi sarang buaya. Gaya visual Anggy Umbara yang dipenuhi lens flare, filter warna cerah dan aneka macam gimmick animasi eksklusif mendominasi pecahan ini. Setelah kemunculan buaya raksasa menyerupai Sarcosuchus, kisahnya bergerak mundur untuk menelusuri apa yang terjadi sebelum opening tersebut. Sampai akhir, filmnya bergerak dengan alur non-linear yang melompat maju mundur yang bagi saya tidak punya substansi apapun kecuali untuk "gaya". Penggunaan alur macam ini punya dua faktor penting: struktur berpengaruh dan berfungsi untuk membangun misteri. Hal pertama terang tidak dimiliki film ini. Naskah goresan pena Anggy dan Fajar Umbara lemah. Kekurangan itu dapat diperbaiki oleh penyutradaraan, tapi masalahnya Anggy Umbaran menyerupai hanya berfokus menghadirkan visual sekeren mungkin daripada bercerita dengan rapih.
Lanjut ke faktor kedua yakni misteri yang terang menjadi alasan lain dalam penggunaan non-linear. Tapi lagi-lagi hal itu tidak terasa substansial alasannya dasar dongeng film ini memang tidak membutuhkan itu. Alurnya amat sederhana, dimana para komika diharuskan membongkar keberadaan master kriminal yang dijuluki The King. Kesederhanaan bertutur dapat membuat hiburan menyenangkan, dan yang dilakukan film ini justru merusak kesenangan tersebut. Mempersulit apa yang seharusnya mudah, begitulah struktur film ini. Dengan alur berantakan, saya yang seharusnya dapat duduk santai menikmati kekonyolan para komika justru harus dibentuk pusing menyusun kepingan puzzle yang hingga selesai tidak pernah seutuhnya menjadi satu kesatuan utuh. Hal itu turut menunjukkan kesan film ini menganggap dirinya terlalu serius. Tentu saja kesan tersebut tidak cocok diterapkan pada sebuah film yang memiliki adegan buaya melaksanakan autotomi menyerupai cicak. Semua itu masih ditambah rumit dengan kemunculan huruf atau sub-plot yang begitu dipaksakan tanpa memberi dampak substansial pada alur utama.

Jujur, saya berusaha mati-matian untuk menyukai film ini. Sangat keras perjuangan saya memaafkan segala kekurangan pada pengemasan alur dan gaya visual Anggy Umbara yang semakin kesini semakin terasa menyerupai parodi terhadap dirinya sendiri. Saya ingin melupakan semua itu dengan dalih bahwa ini yakni film komedi. Sudah ada niat menunjukkan evaluasi konkret bila filmnya berhasil membuat saya tertawa terbahak-bahak, tidak peduli sehancur apa ceritanya. Tapi bahkan komedinya tidak bekerja dengan baik untuk saya. Beberapa adegan mampu memancing tawa, khususnya yang melibatkan Prisia Nasution dan Donny Alamsyah. Tapi dibandingkan dengan keseluruhan kadar lawakan yang dilontarkan, jumlah kesuksesan membuat saya tertawa amatlah sedikit. Tidak pernah film ini memperhatikan timing untuk melucu. Lelucon demi lawakan dilemparkan membabi buta, seolah berharap dari sekian banyak akan ada yang efektif. Seringkali pula timing-nya tidak selaras dengan konten adegan, dan merusak apa yang sesungguhnya ingin diperlihatkan pada adegan tersebut.
Bakat para komika pun tersia-siakan. Semakin sedikit waktu yang diberikan pada mereka untuk melucu sesuai dengan ciri khas masing-masing. Arie dengan selipan budaya Papua, Ernest yang "mengolok-olok" dirinya sebagai Tionghoa, atau agresi abstrak Babe Cabita masih kita temui, tapi lebih banyak didominasi kemunculan mereka dibatasi oleh lawakan dari naskah yang lebih sering tidak lucu. Mereka semua yakni komika berbakat dengan ciri yang begitu kuat. Tapi agar bagaimanapun, talenta terbesar mereka terletak pada rentetan kalimat hasil buah pikir sendiri. Saat harus dihadapkan pada komedi konyol berorientasi fisik atau yang sumbernya dari naskah, potensi itu pun terbuang percuma. Tidak hanya para komika, nama-nama besar lain banyak yang hanya numpang lewat alasannya kemunculan mereka disimpan untuk Part 2. Padahal saya sudah dibentuk menunggu-nunggu kemunculan para pemburu senior macam Willy Dozan, Barry Prima dan Lydia Kandaou, atau sosok misterius Yayan Ruhian. Tapi sebelum mereka unjuk gigi filmnya sudah berakhir, sama menyerupai ceritanya yang sudah dipotong sebelum hingga pada klimaks. Terlalu banyak nama besar disia-siakan oleh film ini.

Aspek yang paling saya sukai disini yakni tata artistiknya. Bagaimana setting dan properti glamor menjurus absurd berhasil terhampar indah sepanjang film, menyajikan hiburan mata menyegarkan yang jarang kita temui dalam film-film lokal kebanyakan. Desain untuk beberapa karakternya pun menarik, menyerupai rambut Prisia Nasution, topeng (beserta isinya) Donny Alamsyah, cat di wajah Yayan Ruhian, dan masih banyak lagi. Visualnya memukau, bila saja Anggy Umbara tidak terlalu berlebihan memolesnya dengan warna atau lens flare mencolok. Penggunaan imbas CGI pun cukup memuaskan. Tentu saja masih jauh dari kata bagus, tapi tidak pula terkesan memalukan khususnya pada kemunculan buaya-buaya di awal film.

Verdict: Comic 8: Casino Kings - Part 1 adalah segala bentuk penularan kultur Hollywood blockbuster secara total pada perfilman Indonesia, meski sayangnya bukan hal konkret yang ditularkan. Lebih mahal, lebih besar, lebih megah, tapi tidak lebih elok dari film pertamanya.

Artikel Terkait

Ini Lho Comic 8: Casino Kings - Part 1 (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email