Friday, December 14, 2018

Ini Lho True Detective - Season 2 (2015)

Musim pertama True Detective merupakan salah satu sajian terbaik yang pernah hadir di televisi. Gabungan naskah Nic Pizzolatto, penyutradaraan Cary Fukunaga, serta kehadiran akting berpengaruh dalam wujud Matthew McConaughey dan Woody Harrelson, True Detective menyuguhkan serial drama kriminal yang belum pernah kita jumpai sebelumnya, memantapkan masa sekarang sebagai "The Golden Age of Television Drama". Musim keduanya punya beban berat untuk mengulangi kesuksesan tersebut. Nic Pizzolatto masih menulis naskahnya, tapi Fukunaga tidak lagi menjadi sutradara. Justin Lin mengarahkan dua episode pertama, sedangkan enam sisanya disutradarai oleh nama-nama berbeda layaknya serial kebanyakan. Deretan A-list actors pun kembali hadir, mulai dari Colin Farrell, Vince Vaughn, Rachel McAdams, hingga Taylor Kitsch. 

Sedikit pengenalan terhadap tiap huruf utama: Keempatnya punya satu kesamaan, yakni tengah berada dalam fase kelam kehidupan. Detektif Ray Velcoro (Colin Farrell) tengah berusaha mendapat hak asuh atas puteranya yang mungkin merupakan hasil pelecehan seksual terhadap sang istri beberapa tahun lalu. Kejadian tersebut tidak hanya menghancurkan rumah tangga Ray, tapi juga merubahnya menjadi polisi korup. Beberapa pekerjaan ibarat membungkam wartawan ia terima dari pebisnis kotor berjulukan Frank (Vince Vaughn). Frank pun berada dalam kesulitan ketika partner bisnisnya menghilang dan membuat sebuah perjanjian dengan sekelompok berandal terancam batal. Lalu ada Detektif Bezzerides (Rachel McAdams) yang gres saja mendapati fakta adiknya bekerja sebagai webcam girl. Kehidupan langsung Bezzerides diisi dengan kesepakatan nikah yang gagal serta kecanduan alkohol dan judi. Terakhir ialah polisi kemudian lintas sekaligus veteran perang berjulukan Paul (Taylor Kitsch) dengan diam-diam masa kemudian yang hingga sekarang masih memunculkan tendensi bunuh diri. Paul juga mempunyai problem seksual dan harus mengkonsumsi viagra untuk berafiliasi seks.

Apakah season kedua ini berhasil melaksanakan "kemustahilan" dengan menyamai atau bahkan melebihi demam isu pertamanya? Berikut ini ulasan tiap episode (akan rutin di-update setiap episode gres tayang)


1 - The Western Book of the Dead
The Western Book of the Dead adalah awal yang lambat. Durasi satu jam dipakai untuk memperkenalkan satu per satu karakter. Hal ini merupakan harga yang harus dibayar oleh Pizzolatto alasannya ialah memasukkan huruf dalam jumlah banyak. Terasa sedikit melelahkan, apalagi ketika konflik utama hanya dipaparkan sekelumit, tapi sebagai gantinya, keempat karakternya mendapat eksplorasi memadahi. Penonton bisa dibentuk memahami kesamaan yang terjalin diantara mereka, meski terasa repetitif tanggapan jumlah yang banyak. Keempat bintang film utama memperlihatkan sisi depresif dan aura gloomy yang cukup kuat, tapi terang bukan pertunjukkan bravura layaknya McConaughey pada season pertama. Sanggup menjadi eksplorasi sisi gelap insan yang bersumber dari masa kemudian dan konflik personal, tapi "rasa unik" True Detective belum saya temukan. Tone masih kelam, tapi hanya berupa spektrum gelap yang sudah sering kita temui dalam tontonan drama-kriminal lainnya. Barulah pada ending saat atmosfer creepy kembali menyeruak, semua huruf saling terkait, jati diri serial ini mulai menyergap. (3.5/5)
2 - NIGHT FINDS YOU
Dengan episode ini, demam isu kedua alhasil berhasil memantapkan jati diri. Korupsi dan keserakahan makin berpengaruh mengambil alih sentral cerita. Kematian Casere masih menyimpan misteri dengan unsur politis kental dari pihak-pihak penguasa yang ingin meraup laba sebanyak mungkin. Penyelidikan pun ikut terkena imbasnya, dimana baik Ray, Bezzerides hingga Paul mengemban "amanah" diam-diam untuk menilik intensi satu sama lain. Eksplorasi huruf masih dilakukan, tapi secara beriringan dengan pemeriksaan masalah utamanya. Ray masih jadi fokus utama, tapi kita juga mulai menemukan sisi tersembunyi dari tiga tokoh utama lain. Opening berisi monolog Frank perihal masa lalunya yang diiringi kesunyian pagi hari berhasil mencengkeram. Pemilihan "ketamakan" sebagai tema, membuat demam isu kedua ini berbeda dari pendahulunya, tapi disaat bersamaan Pizzolatto nampak terlalu memaksakan kehadiran perbedaan tersebut. Eksplorasi tema itu pun belum sekuat pendalaman karakternya. Masih mengawang, belum sepenuhnya terjun kedalam hingga pondasi dramanya kurang kokoh. Cliffhanger pada ending pun tidak terasa mencekat alasannya ialah selama hampir satu jam penonton diberikan drama yang tanggung. (3/5)
3 - MAYBE TOMORROW
Dibuka dengan sebuah dream sequence yang atmosfernya mengingatkan pada Blue Velvet, Maybe Tomorrow adalah suatu peningkatan dari episode sebelumnya, meski bukan lompatan signifikan. Ray yang selamat dari serangan makin mendapat tekanan dari Walikota sehabis Paul dan Bezzerides mendatangi rumah dan menginterogasi keluarganya. Paul dan Frank mendapat porsi lebih besar, sekaligus menambahkan satu lagi tema untuk demam isu kedua ini selain korupsi, yakni seksualitas. Pada Night Finds You sudah ada tease untuk Bezzerides, tapi Maybe Tomorrow menggali jauh lebih dalam mengenai Paul dan Frank. Masa kemudian Paul, juga konflik antara Frank dengan sang istri sama-sama bersumber dari konflik seksual. Pendalaman bagi keduanya ialah pilihan tepat, khususnya bagi Paul yang selama ini merupakan huruf paling kurang menarik. Eksplorasi huruf itu mengatakan intensitas yang bisa menjalankan kisah meski penelusuran kasusnya masih belum mencapai tingkat yang memuaskan dan mempunyai ending tanpa momen mengikat untuk membuat saya ingin segera bergerak menuju episode berikutnya. (3.5/5)
4 - DOWN WILL COME
Tepat separuh perjalanannya, demam isu kedua True Detective cukup meyakinkan saya akan ketidakmampuan menandingi pendahulunya. Memang hingga sini saja Pizzolatto bisa mengangkat kualitas serial ini. Pola yang dipakai selalu sama, dimana seolah tiap episode dibagi menjadi dua: Eksplorasi huruf acak diselingi pemeriksaan masalah dan sebuah titik puncak intens yang berujung cliffhanger. Seolah ia galau harus bagaimana menggali kisah dan karakternya serta hanya berpikir membuat ending memikat dalam setiap episode. Down Will Come jadi bukti tepat ketika dua pertiga durasi berjalan datar sebelum masuk dalam titik puncak menegangkan diisi baku tembak antar polisi dengan kelompok geng pimpinan mucikari berjulukan Ledo Amarilla. Observasi huruf intens memberi laba dimana titik puncak terasa menegangkan alasannya ialah saya peduli pada ketiga huruf utamanya. Klimaks terbaik pada demam isu kedua sejauh ini. Hal itu sedikit menyelamatkan episode ini dari sekedar eksplorasi misteri kurang matang di tengah aspek konspirasi politik rumit sekaligus menarik. (3.5/5)
5 - OTHER LIVES
Saya baiklah pada anggapan bahwa episode ini terasa ibarat reboot bagi karakterisasi keempat tokoh utama. Aftermath dari pembantaian di Down Will Come jadi pemicu. Tapi apakah ini pemilihan langkah yang buruk? Tidak bagi saya. Segala transformasi yang terjadi masuk akal. Ray beralih profesi sebagai private security untuk Frank yang kembali ke bisnis "kotor" lamanya. Bezzerides dipindah ke bab penyimpanan bukti menyusul tuntutan pelecehan seksual, sedangkan Paul dipromosikan sebagai detektif. Mereka mengalami perubahan nasib bahkan sikap, tapi sama sekali tidak mengkhianati struktur huruf dasar. Keempatnya masih sosok sama yang kita kenal sedari awal. Beberapa perubahan pada seseorang pasca insiden traumatis ialah hal wajar. Other Lives tidak memperlihatkan cliffhanger atau titik puncak mendebarkan, tapi sebagai gantinya, misteri dan konspirasi rumit kasusnya mulai jadi fokus utama, membuat episode ini bergerak jauh lebih dinamis dan intens. Sebuah awal baru, sebuah gerak maju. Apapun itu, alhasil saya menemukan episode yang benar-benar "penting" dalam demam isu kedua True Detective meski kerumitan mendadak dan beberapa obrolan cheesy terkadang menjadi distraksi. (4/5)


6 - CHURCH IN RUINS
Setelah episode yang membangkitkan lagi impian saya, Church in Ruins kembali pada standar (in a negative way) demam isu kedua: inkonsistensi fokus cerita, misteri dengan penelusuran lambat yang seolah tidak pernah bergerak maju, juga minim pembeda dari drama prosedural polisi lain. Episode ini lagi-lagi menampilkan semua itu dan hanya bergantung pada titik puncak memikat. Satu-satunya progres besar (sebelum klimaks) hanya pertemuan Ray dengan pemerkosa istrinya. Frank menjadi sosok paling menarik kali ini berkat momen-momen dramatik hangat yang mengeksploitasi kualitas akting Vince Vaughn. Klimaks mengenai misi penyamaran Bezzerides mengembalikan sedikit rasa demam isu pertamanya lewat pengemasan adegan nightmare-ish. Intens, cukup mengerikan sambil disaat bersamaan memberi seklias tease mengenai masa kemudian sang detektif. Tentu saja totalitas Rachel McAdams membuat saya percaya bahwa pengalaman itu layaknya mimpi buruk. Aura seksual kental yang mengisi "mimpi buruk"  itu memberi atmosfer memikat, tapi lagi-lagi sehabis 45 menit yang datar. (3.5/5)
7 - BLACK MAPS AND MOTEL ROOMS
Build-up episode, begitulah episode ini. Sebuah rentetan ketegangan demi membangun letupan yang (diharapkan) hadir pada finale-nya. Keempat huruf utamanya berada pada kondisi terancam, begitu pula orang-orang terdekat mereka yang satu per satu mulai "diungsikan". Hal itu efektif untuk membangun ketegangan dari kesan bahwa karakternya bakal menghadapi ancaman besar. Tapi Black Maps and Motel Rooms juga menjadi bukti berpengaruh kelemahan naskah Nic Pizzolatto dalam demam isu kedua ini. Dia seolah hanya mempunyai awal dan simpulan yang kuat, tapi tidak dengan pengembangannya. Hubungan antara Ray dan Bezzerides yang mulai memperlihatkan "titik terang" jadi kurang menggigit alasannya ialah sepanjang demam isu interaksi keduanya tidak tergali dengan baik. Namun yang paling fatal ialah simpulan hidup salah seorang huruf utama yang harusnya bisa membuat impact kuat tapi berujung flat karena saya tidak merasa mengenal jauh sosoknya. Tapi overall adalah episode yang intens dan pembangun berpengaruh sebelum finale. (4/5)
8 - OMEGA STATION
Segala kerumitan misteri yang dibangun oleh Pizzolatto menjadi bumerang pada finale ini. Harapan untuk mendapat jawaban memuaskan alhasil pupus. Omega Station justru lebih banyak memperlihatkan konklusi bagi huruf daripada misterinya sendiri. Menjadi problem alasannya ialah sepanjang dominan demam isu ini berjalan, kita lebih banyak diajak terjun pada misteri membingungkan daripada eksplorasi karakter. Saya sejatinya menyukai ending dengan nuansa tragis ibarat yang ditawarkan demam isu ini, tapi menjadi percuma ketika sisi tragis itu terasa kosong dan tidak esensial. Pizzolatto seolah menyuguhkan bencana hanya untuk menjawab kritikan bahwa True Detective Season 2 tidak sekelam demam isu pertamanya. Nasib dari Ray, Frank dan Bezzerides pun sudah "tercium" jauh sebelum episode ini menemui konklusinya. Saya sempat nyaris menyukai konklusinya yang menggambarkan tagline musim kedua: we get the world we deserve. Tapi ketika di adegan simpulan Bezzerides dan Jordan tampak bersiap melaksanakan "serangan" mereka, segala bencana miris yang sebelumnya hadir jadi percuma. Kebingungan Nic Pizzolatto untuk membuat ending nampak begitu nyata. (2.5/5)

VERDICT: Lebih kearah pretensius daripada jenius. Hal itu bisa dilihat dari hal besar ibarat misteri utama yang terlalu complicated dan obrolan yang daripada cerdas lebih cenderung berlebihan (baca: konyol)  hingga hal kecil ibarat penamaan karakternya. Terlalu banyak huruf juga berujung pada fokus yang tidak pernah berimbang. Disaat Ray dan Bezzerides sempat mencuri fokus, huruf ibarat Paul jadi terbuang percuma. Sesungguhnya bukanlah serial yang buruk, namun menengok pada kejayaan demam isu pertamanya, demam isu kedua True Detective adalah penurunan kualitas yang cukup jauh.

Artikel Terkait

Ini Lho True Detective - Season 2 (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email