Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Hidden Figures (2016)

Bertindak selaku penyesuaian buku non-fiksi berjudul sama karya Margot Lee Shetterly, "Hidden Figures" punya prolog serupa film bertemakan gifted children kebanyakan, memperlihatkan kejeniusan Katherine Goble Johnson (versi muda diperankan Lidya Jewett, versi sampaumur oleh Taraji P. Henson) di bidang matematika. Dia masuk Sekolah Menengan Atas di usia Sekolah Dasar, bahkan menjadi yang terpintar di kelas. Kemudian alurnya berkembang lebih dari sekedar kisah inspiratif bocah jenius, menuturkan kisah faktual penting yang sebagaimana judulnya, tersembunyi, jarang diungkap dalam catatan sejarah. 

Ber-setting tahun 1961, ada dua kondisi, yaitu perang Amerika dan Rusia mencapai luar angkasa serta rasisme ketika kulit gelap dan putih masih dipisahkan di segala hal (toilet, perpustakaan, bus). Selain Katherine, kita diperkenalkan pada dua sahabatnya, Dorothy Vaughan (Octavia Spencer) dan Mary Jackson (Janelle Monae). Mereka sama-sama bekerja di NASA. Katherine mendapati kepintarannya tak banyak membantu disebabkan warna kulit. Dia dan perempuan kulit gelap lain terpaksa mengerjakan hal-hal remeh. Sampai keberhasilan Rusia meluncurkan Sputnik I menyudutkan NASA, memberi kesempatan Katherine bekerja di Space Task Group di bawah kepemimpinan Al Harrison (Kevin Costner). Sementara Dorothy dan Mary turut memperjuangkan mimpi pula hak mereka di NASA. 
Mengedepankan perjuangan kaum kulit gelap meraih kesetaraan, "Hidden Figures" bukanlah "The Birth of A Nation" yang menonjolkan pemberontakan lewat kekerasan. Ketiga tokoh utama ialah sosok berpendidikan nan cerdas, sehingga mereka  dan filmnya  melawan dengan gaya intelektual. Ketimbang memaksa, mereka cenderung memberi bukti tanpa perlu menuruti penindasan. Namun film ini enggan menyudutkan kaum "ekstrimis", melainkan memperlihatkan cara berjuang lain menyerupai ketika Mary tegas menyangkal tuduhan suaminya yang kerap turun berdemonstrasi bahwa ia menyerah pasrah terhadap rasisme. Pada masa ketika kampanye kesetaraan ras melalui film kerap didengungkan, "Hidden Figures" teramat penting, memperlihatkan bentuk perlawanan halus tetapi efektif. 

Ditinjau dari banyak sekali sisi, "Hidden Figures" tak mendobrak batasan artistik. Alur berjalan linier, pun tiada gebrakan dalam segi teknis. Berkesan oldschool, namun sentuhan revolusioner memang tidak perlu mengingat modal dongeng beserta tokohnya sudah luar biasa. Tugas film ini tak lain menuturkan keping sejarah tersembunyi pada penonton. Poin tersebut sukses dilakukan. Saya dibentuk mengenal siapa Katherine Johnson, Dorothy Vaughn, dan Mary Jackson sekaligus tugas ketiganya tatkala pemberitaan media hanya menyoroti hasil kalkulasi peluncuran roket tanpa menuturkan siapa yang berjasa melaksanakan perhitungan. Anda akan terkejut mendapati faktanya, kemudian antusias mewartakannya bagi orang lain, membuatkan kisah tersembunyi ini. Demikian tujuan utama filmnya. 

Sutradara Theodore Melfi ("St. Vincent") paham betul demi mencapai tujuan tersebut filmnya perlu menjangkau penonton seluas mungkin, lantaran itulah gaya bertutur oldschool dipakai. Rasisme digambarkan gamblang, menyerupai tatapan abnormal pegawai NASA melihat Katherine memasuki ruangan, sampai ketidakadilan berupa respon memusuhi ketika kulit gelap memakai kemudahan bagi kaum kulit putih. Metode usang yang gamblang, nihil kesubtilan atau keabu-abuan tapi efektif memancing kejengahan atas tindakan tak manusiawi itu. Melfi menjalankan alur dengan tempo cekatan dilengkapi suasana feel-good, menjadikan perjalanan kisahnya entertaining. Cepat tapi cermat, tidak terburu-buru. Kecermatan yang turut berjasa membangun titik puncak menegangkan walau kita tahu bagaimana outcome misi peluncurannya. 
Naskah yang Melfi tulis bersama Allison Schroeder (meraih nominasi Best Adapted Screenplay di Oscar tahun ini) mungkin belum sempurna. Walau rapi membagi fokus perjalanan ketiga protagonis yang meski terpisah tetap saling berkesinambungan dalam keberhasilan misi secara menyeluruh dan terikat oleh satu benang merah (selalu ada yang pertama demi perubahan), romansa Katherine dengan Jim Johnson (Mahershala Ali) terasa minim signifikansi kecuali sebagai bentuk kewajiban mengingat pernikahannya yang kedua terjadi di tengah berlangsungnya misi. Beberapa perbincangan berisi bahasa scientific pun cukup sulit dicerna penonton awam meski ketiadaan pemahaman terhadapnya tak seberapa mengurangi dampak penceritaan. 

Dialognya kerap diisi humor (celotehan Mary wacana perempuan kulit gelap mengejar polisi kulit putih paling menggelitik) dan kalimat tajam dengan pola terbaik sewaktu Dorothy merespon pernyataan Vivian (Kirsten Dunst) yang menyampaikan bahwa tidak membenci karyawan kulit gelap dengan tanggapan "I know. I know you probably believe that". Octavia Spencer sang aktor Dorothy yang lewat kiprahnya ini sukses mengantongi nominasi nominasi Best Supporting Actress untuk kali kedua memang paling menonjol dibanding kedua rekannya (mereka bermain baik). Spencer memamerkan kepercayaan diri bersama kesan elegan penuh manner bermartabat, sanggup seketika membungkam setiap pihak yang memandang rendah. Di balik ketegasan, terpancar kehangatan dan rasa mendalam dari senyum pula tatapan matanya. 

Artikel Terkait

Ini Lho Hidden Figures (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email