Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Iqro: Petualangan Meraih Bintang (2017)

Debut penyutradaraan Iqbal Alfajri sekaligus hasil produksi Masjid Salman ITB beserta Salman Film Academy ini (secara mengejutkan) bukan suguhan intoleran yang "berdakwah" penuh amarah, memandang rendah mereka dengan perbedaan doktrin dan cara hidup serupa banyak film religi yang belakangan sudah kenyang saya konsumsi. Memang kesan berceramah kental mengiringi dalam naskah tanpa kapasitas bertutur mumpuni, namun "Iqro: Petualangan Meraih Bintang" memilih gaya berceramah lebih lembut sembari berusaha menjalin drama anak ala "Petualangan Sherina". Cukup layak diapresiasi walau hasil hasilnya berujung kegagalan.

Bocah 9 tahun berjulukan Aqila (Aisha Nurra Datau) begitu gandrung terhadap ilmu tata surya, mendorongnya bercita-cita menjadi astronot. Sebaliknya, Aqila kurang berminat pada Al Qur'an. Ketika mengaji, ia menentukan bermain gadget, menenggelamkan diri dalam kesukaannya pada angkasa. Saat libur tiba, Aqila berkunjung ke rumah Opa (Cok Simbara) dan Oma (Neno Warisman) di Lembang. Di sana ia ingin mendatangi observatorium Bosscha kawasan sang opa bekerja guna menuntaskan kiprah sekolah. Tapi Aqila diharuskan bisa membaca Al Qur'an oleh sang opa sebagai syarat menggunakan teropong Bosscha. Kegiatan mengaji ini mempertemukan Aqila dengan Faudzi (Raihan Khan) yang selalu mengganggunya. Sementara itu kelangsungan Bosscha terancam akhir pembangunan hotel ilegal, lantaran cahaya lampu dari sana bakal menghalangi kemampuan teropong melihat bintang di langit.
Meski sering keras mengkritsi hidangan religi, saya tetap pemeluk Islam yang percaya bahwa Al Qur'an menyimpan segala keilmuan semesta termasuk tata surya. Menautkan sains dengan agama yakni konsep menarik yang apabila dikemas cerdas berpotensi memfasilitasi tujuan dakwah lewat cara subtil. Saya percaya pemahaman besar lengan berkuasa mengenai Al Qur'an apabila diimplementasikan dengan sempurna dalam naskah sanggup menghasilkan penceritaan mendalam. Sayangnya penulisan Aisyah Amirah Nasution dan Tatia belum mencapai tingkatan itu. Ada perjuangan ke arah sana menyerupai tertuang dalam klarifikasi Oma ihwal kaitan solat subuh dan prestasi belajar, namun selebihnya yakni ceramah seadanya tanpa bisa menstimulus anutan penonton atas suatu gagasan. Begitu film berakhir, saya urung menerima hal baru. 

Kesan berceramah masih kental, hanya saja lebih halus, menciptakan filmnya terasa good-hearted, walau setiap huruf Oma bicara penonton kolam anak kecil layaknya Aqila yang harus dituntun pelan-pelan sambil dibuai dengan ucapan "oh sayang" dan semacamnya. Kelembutan berceramah tersebut pilihan sempurna mengingat "Iqro: Petualangan Meraih Bintang" diposisikan selaku film anak. Tapi para pembuatnya lupa kalau bawah umur butuh kesenangan. Kecuali opening berbalut animasi singkat, film ini kurang mempunyai semangat bersenang-senang. Terlebih selain mengaji, kisahnya berisi pergulatan observatorium melawan pebisnis korup yang terlampau berat bagi penonton anak. "Iqro: Petualangan Meraih Bintang" bagai mahasiswa yang mengajari siswa SD dengan lembut namun menggunakan gaya bahasa perkuliahan. Menjemukan. Penonton anak yang berada satu studio bersama saya pun terlihat bosan, selalu merengek bertanya kapan filmnya berakhir. 
Bicara soal konflik di Bosscha, saya tidak mencicipi signifikansi kehadirannya mengingat tiada ikatan pribadi dengan pemahaman Aqila akan pentingnya Al Qur'an. Para penulis naskah menyerupai tidak rela dongeng berjalan ringan tanpa selipan gosip sosial, lupa bila kaitan kitab suci dan ilmu sains merupakan bahasan besar lengan berkuasa bila digarap maksimal. Alhasil proses mencar ilmu Aqila yang semestinya diisi perkembangan huruf dikesampingkan, dan tiba-tiba ia menjadi anak yang bisa membaca Al Qur'an, paham pentingnya mengaji, bahkan mengikuti lomba. Faudzi pun hanyalah Sadam-wannabe yang hubungannya dengan Aqila sebatas menjahili sebelum mendadak berbaikan. "Iqro: Petualangan Meraih Bintang" pun tak luput dari momen menggelikan khususnya akhir sederet kalimat cringe-worthy. Menggelikan pula konklusi tidak kreatif yang urung dipengaruhi tindakan karakter, bukti bahwa konflik seputar keberlangsungan Bosscha amat tidak substansial dan bisa diakhiri dalam lima menit saja. 

Tatkala penceritaan berlangsung lemah, performa Mike Lucock dan Meriam Bellina selaku bintang film pendukung bisa sedikit menolong khususnya di proporsi drama tatkala keduanya menyaksikan lomba baca Al Qur'an dan mulai terharu mendengar indahnya lantunan dari Faudzi. Hanya sepintas tapi ada kehangatan di momen tersebut berkat curahan emosi dari tatapan mata mereka. "Iqro: Petualangan Meraih Bintang" masih jauh untuk bisa dikatakan baik, tetapi saya menghargai pilihannya berceramah secara lembut, tanpa menekan pula menyudutkan. Hanya saja, lagi-lagi sineas religi kita perlu disadarkan, betapa niat berbagi kebaikan mesti memperhatikan kaidah-kaidah sinema, bukan hanya kaidah agama. 


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics

Artikel Terkait

Ini Lho Iqro: Petualangan Meraih Bintang (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email