Bukankah sering anda mendapati sebuah adegan dalam film mengatakan karakternya membunuh binatang (bahkan manusia) yang terluka dengan alasan "to put it out of its misery"? Opening film ini memunculkan pemandangan serupa ketika Will (Logan Marshall-Green) secara tidak sengaja menabrak seekor coyote, kemudian terpaksa membunuh binatang tersebut. Tapi benarkah tindakan itu mengakhiri penderitaan? Is it really the best way? Coba terapkan kondisi serupa pada kehidupan sehari-hari, tatkala kita menderita, mencicipi sakit luar biasa (fisik maupun psikis). Apakah cara di atas sungguh pilihan bijak atau sekedar denial karena merasa lelah kemudian ingin lari dari permasalahan?
Peristiwa road kill tadi terjadi ketika Will dan kekasihnya, Kira (Emayatzy Corinealdi) sedang berada di perjalanan guna menghadiri usul Eden (Tammy Blanchard) yang tak lain ialah mantan istri Will. Pertemuan tersebut juga menjadi ajang reuni bagi teman-teman mereka sehabis tak bertemu selama dua tahun. Selama dua tahun itu pula Will menghilang dan menikahi David (Michiel Huisman). Tentu jamuan makan malam itu terasa sulit bagi Will, di mana situasi kaku terasa terang meski semua orang termasuk Eden dan David coba menghangatkan suasana. Will sendiri masih mencicipi stress berat jawaban bencana semasa pernikahannya dengan Eden dahulu. Namun kondisi perlahan berubah dari awkward menjadi mencekam ketika Will merasa ada kecacatan di sana, terlebih pasca David mempertontonkan sebuah video.
Jangan berharap film ini melaju kencang memacu jantung penonton semenjak awal durasi. The Invitation merupakan slow burning thriller yang penuh kesabaran (baca: lambat) menyibak tabir misterinya. Baru sekitar 20 menit terakhir sutradara Karyn Kusama mempercepat laju, itu pun masih tergolong mid tempo, tidak menghentak keras. Justru alasannya ialah itulah The Invitation mampu tampil memikat. Naskah garapan Phil Hay dan Matt Manfredi cermat mengolah sisi psikologis insan untuk menggunakannya selaku amunisi pembangun rasa tidak nyaman. Will diposisikan sebagai jembatan penghubung antara penonton dengan filmnya. Jika anda perhatikan, semua permainan atmosfer film ini apapun bentuknya bersumber dari dalam diri Will, bukan stimulus eksternal jawaban suatu kejadian baru berubah ketika klimaks. Murni permainan psikologis.
Bagaimana The Invitation berhasil melaksanakan permainan tersebut? Sederhana, sumber awal ketidaknyamanan Will ialah hal yang gampang penonton imajinasikan, yakni pertemuan kembali dengan ex-lover plus pasangan barunya. Praktis bagi penonton merasa terganggu karenanya, kemudian secara tak sadar ikut hanyut dalam aneka macam prasangka sang tokoh utama. Will yakin ada ketidakberesan, penonton pun tahu niscaya bahwa memang ada. Patut dicatat, dominan durasi film berisikan obrolan antar karakter. Sebagaimana kebanyakan indie thriller berisi satu lokasi dan banyak tokoh, intensitas dipupuk oleh tiap interaksi. Berkat pondasi kokoh berupa keterikatan penonton dengan Will, segala pembicaraan menyulut kecurigaan. The Invitation sukses membangun ketegangan dari perasaan curiga.
Bukan hanya paparan thriller, The Invitation turut menjadi eksplorasi mendalam teruntuk penderitaan manusia. Ketika Will selalu nampak gloomy akibat stress berat masa lalunya, Eden sebaliknya justru beberapa kali mengungapkan bagaimana ia telah berhasil menangani segala rasa sakit sembari menyunggingkan senyum di wajah. Tapi seiring terungkapnya insiden tragis di masa kemudian mereka, sulit untuk tidak merasa asing terhadap perilaku Eden. Jalinan kisahnya memunculkan perenungan sekaligus kritiikan bagi para pemilih "jalan mudah" demi menghapus penderitaan, apalagi ketika motivasi gotong royong dari jamuan makan malam mulai dibeberkan. The Invitation adalah thriller langka yang berpengaruh memaparkan drama psikologis. Walau berjalan lambat dan memiliki titik puncak generic, film ini menyimpan daya pikat lain, yakni teror yang didasari perkiraan kita.
Ini Lho The Invitation (2015)
4/
5
Oleh
news flash