Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Lion (2016)

Tahukah anda kalau banyak anak kecil di India menghilang? Jika ya, tahukah bahwa jumlahnya mencapai 80.000 tiap tahun? Tahukah pula anda soal perjalanan hidup Saroo Brierly yang terpisah dari rumah dan keluarga lalu terus mencari keberadaan mereka meski sudah puluhan tahun? Kisah luar biasa (kerap disebut "inspiratif") serta fakta-fakta mencengangkan terkait gosip sosial yang relevan merupakan beberapa menandakan suatu film layak dikatakan penting, tentunya dengan tetap memperhatikan kualitas. Apakah "Lion" selaku debut penyutradaraan Garth Davis sekaligus pembiasaan buku non-fiksi "A Long Way Home" karya Saroo Brierly dan Larry Buttrose layak dikategorikan penting? 

Seorang bocah berjulukan Saroo (Sunny Pawar) tinggal di perkampungan kumuh, rutin membantu sang ibu (Kamla Munshi) mengumpulkan kerikil atau bekerja bersama Guddu (Abihshek Bharate), kakaknya. Di suatu pagi buta, Saroo menanti kakaknya bekerja di stasiun sambil tidur. Ketika Guddu tak kunjung datang, Saroo pun panik dan tertidur dalam kereta. Begitu terbangun kereta tersebut telah pergi jauh, membawanya hingga Calcutta yang abnormal baginya. Di sana Saroo menemui setumpuk rintangan mulai perbedaan bahasa, menghadapi cengkeraman pelaku penjualan anak hingga panti asuhan yang tidak layak. 
Babak awal "Lion" tak lain ialah panggung bagi Sunny Pawar. Banyak pemeran cilik berbakat, namun sedikit yang mampu berakting subtil layaknya bintang film berusia 8 tahun ini. Pawar bisa berteriak, meluapkan ketakutan dan frustasi menyerupai ketika Saroo terus memanggil nama Guddu di atas kereta. Tapi puncak penampilannya terletak pada keterampilan berekspresi mikro. Pawar mungkin sekedar membisu menatap, menyebarkan rasa lewat mata tanpa kata, atau sesekali menyebarkan senyuman, tetapi gampang memahami yang coba ia sampaikan. Termasuk tatkala perlahan senyum simpul nampak di bibir Saroo melihat seorang anak jalanan menyebarkan kardus untuk tidur. Indah, menyentuh. 

Babak berikutnya dalam kehidupan tokoh utama ditandai kedatangan John (David Wenham) dan Sue (Nicole Kidman), sepasang suami istri dari Tasmania, Australia yang bersedia mengadopsinya. Mendapat kasih sayang plus kehidupan layak, 20 tahun lalu Saroo (Dev Patel) pindah ke Melbourne, berkuliah di jurusan administrasi hotel. Di sana ia bertemu sesama mahasiswa dari India, juga gadis asal Amerika berjulukan Lucy (Rooney Mara) yang kelak menjadi kekasihnya. Dari kawan-kawannya itu, Saroo menerima cara semoga bisa menemukan lagi rumah beserta keluarganya. 
Satu hal yang sedari awal mencuri perhatian yaitu sinematografi Greig Fraser. Gambarnya tak sekedar indah menangkap hamparan padang tandus pinggiran India dan bentangan alam lain, namun turut menyimpan substansi dalam banyak landscape dengan karakternya menyempil mungil, memaparkan betapa insan begitu kecil dibandingkan alam raya, menggambarkan tersesatnya tokoh utama di tengah dunia luas yang asing. Sedangkan naskah Luke Davies apik menuturkan pergulatan huruf yang ditandai putaran ekstrim nasib. Di satu waktu Saroo tampak menerima secercah harapan, tak usang lalu justru nasib jelek diperoleh. Tidak lupa Davies megkritisi institusi atau dalam film ini panti asuhan yang memperburuk kondisi anak. Di sisi lain naskahnya turut berpesan soal "embrace your opportunity". Saroo berhasil bukan saja lantaran ia beruntung menerima orang renta angkat, juga lantaran bersedia memanfaatkan kesempatan, bergerak maju dalam hidup.

Sukses di banyak sisi, Davies justru gagal memberikan poin utama mengenai pencarian. Filmnya boleh bercerita wacana aneka macam kisah sarat makna, namun semua tetap bermuara di konklusi selaku puncak pencarian Saroo. Momen puncak itu terasa manipulatif lantaran antisipasi gagal dibangun. Penonton urung diajak menduga-duga, "Apakah ibu dan abang Saroo masih hidup? Benarkah daerah yang ia kunjungi?". Kita hanya berulang kali melihat Saroo sibuk mengulik Google Earth. Kentara, Davies ingin mengutamakan drama insan ketimbang menjalin ketegangan investigasi, termasuk ketika romantika Saroo dan Lucy sering diketengahkan. Masalahnya selain kisah cintanya terburu-buru (berganti fase sebelum penonton sempat terpikat), mereduksi eksplorasi pencarian Saroo mengakibatkan hasil akhir  yang mana merupakan titik puncak sekaligus tujuan  kurang bermakna. 
Di paruh titik puncak tersebut Dev Patel berusaha keras menyalurkan emosi. Begitu pun Nicole Kidman yang tiap kehadirannya memancarkan kehangatan kasih lapang dada yang memancing haru. Kidman sempat pula menghantarkan sebuah monolog powerful selaku curahan hati seorang ibu atas perilaku anak-anaknya. Sayangnya momentum terlanjur melemah, diperparah kesan cringe nan berlebihan ketika sekumpulan warga bersorak sorai. Garth Davis sendiri tak bisa berbuat banyak sewaktu harus menangani situasi klise semacam itu. 

Namun serupa penulisan naskah, penyutradaraan Davis berhasil di banyak sisi. Beberapa momen terasa menggetarkan berbekal sensitivitas mengemas adegan "mentah", piawai menyentuh ketika minim dramatisasi. Sebutlah ketika Mantosh kecil (Keshav Jadhav), adik angkat Saroo, meledak emosinya. Perasaan saya terguncang mendapati ungkapan jujur penuh rasa sakit seorang bocah malang yang mengalami penderitaan berkepanjangan. Davis juga memamerkan kreativitas ketika tampilan Google Earth dan scene dunia faktual muncul silih berganti, membuat dinamika daripada gimmick belaka. Keseluruhan "Lion" sendiri berakhir menjadi kisah Istimewa yang eksekusinya  walau solid  takkan usang membekas. Still an important story that you need to watch though

Artikel Terkait

Ini Lho Lion (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email