Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Manchester By The Sea (2016)

"Life is a comedy written by a sadistic comedy writer". Baris kalimat dari "Cafe Society" milik Woody Allen tersebut cocok menggambarkan perjalanan Lee Chandler (Casey Affleck), protagonis dalam "Manchester by the Sea". Film yang disutradarai sekaligus ditulis naskahnya oleh Kenneth Lonergan ("You Can Count On Me", "Margaret") ini sejatinya bukan komedi. Sebaliknya, sarat akan tragedi. Namun layaknya kisah tragicomedy kebanyakan, penderitaan dan situasi tak nyaman justru sumber kejenakaan. Lonergan memang "kejam" menempatkan huruf di tengah kepedihan, menggiring pada kesadaran bahwa posisi kita selaku observer, pihak ketiga yang tak terlibat eksklusif dengan satu kejadian sanggup memancing perspektif berlainan.

Filmnya mengawali narasi dengan menunjukkan keseharian Lee Chandler yang bertanggungjawab merawat apartemen tempatnya menetap, mulai membersihkan salju, memperbaiki keran bocor, hingga sedot WC. Walau sigap bekerja, kita (dan para tetangga) mendapati Lee sebagai laki-laki yang pendiam dan tidak ramah. Bahkan ia sempat berucap bernafsu pada pemilik apartemen, juga memicu perkelahian di bar. Suatu hari ia mendapatkan kabar sedih yang mengharuskannya pulang ke kampung halaman di Manchester-by-the-Sea, Massachusetts. Di sana Lee mesti menatap stress berat tanggapan bencana masa kemudian sembari membantu keponakannya, Patrick (Lucas Hedges) menghadapi hal serupa.
Harmonisasi vokal sopran pada adegan pembuka mengingatkan saya akan cara quirky comedy ala Wes Anderson mengawali dongeng (kelak juga terdengar megah menguatkan dramatisasi), dan sungguh "Manchester by the Sea" dipenuhi kecanggungan menggelitik. Lonergan membawa penonton memandang situasi "sulit" menyerupai pewartaan isu sedih atau pemberitahuan kalau seseorang menderita penyakit fatal dari kacamata berbeda. Tentu segala situasi itu tidak nyaman dan Lonergan berniat menawarkan betapa kesan awkward menyimpan nuansa begitu kaya, bukan sedih belaka. It could be funny, dramatic, tragic, heartbreaking, lovely. Butuh kepekaan plus kejelian tinggi untuk menyulap bencana menjadi tawa, dan keduanya dipunyai Kenneth Lonergan. 

Penonton dibentuk ikut mencicipi tapi dibatasi supaya tak merasuk terlampau dalam semoga tetap bertindak selaku pengamat (tidak terlibat langsung), menjaga objektifitas, memungkinkan kita menangkap bermacam-macam rasa tersebut. Demi menghasilkan itu, Lonergan kerap menggunakan medium long shot (seluruh tubuh pemain film terlihat) dan mid-shot (setengah badan) dipadukan kamera statis juga pengambilan gambar tanpa putus yang memfasilitasi observasi penonton secara terperinci nan menyeluruh. 
Lonergan memakai quick cuts mendadak untuk menyusun pergerakan alur yang sanggup tiba-tiba pindah dari masa sekarang menuju flashback, menampilkan perbedaan dalam diri Lee. Dahulu ia ialah bad boy, hidup senang bersama sang istri, Randi (Michelle Williams) dan tiga buah hati. Apa yang mendorongnya menjelma sosok tak ramah merupakan misteri, keping demi keping puzzle yang perlahan mulai terisi lengkap, menjaga atensi penonton melalui pertanyaan. Quick cuts-nya mempunyai beberapa fungsi lain: menguatkan dinamika, intensitas, bahkan kejenakaan. Gaya itu turut mengakibatkan pergerakan alur terasa chaotic, suatu kesengajaan guna mewakili kekacauan hidup Lee. 

Naskahnya membentuk studi kokoh seputar proses huruf berurusan dengan trauma. Lee harus membantu Patrick melewati tragedi, tapi ia pun dipaksa menghadapi kepedihan masa lalunya. Lee menyamakan kondisi sang keponakan dengan dirinya, menyeret Patrick pergi, bersembunyi, menjauh sebisa mungkin dari sumber duka. Suatu hal yang selama ini ia perbuat. Padahal Patrick ingin menjalani hari menyerupai biasa, bermain band, hockey, dan bercinta dengan dua kekasihnya. Sadar atau tidak, Lee bukan menolong Patrick, melainkan dirinya sendiri. Lee ingin membawa Patrick pergi supaya ia pun sanggup menjauh dari duka. Walau menyiratkan cita-cita termasuk dalam dua kalimat terakhir dikala Lee dan Patrick saling melempar bola ("Just let it go", "Heads up"), konklusinya enggan memaksakan simpulan bahagia, bergerak natural sebagai hasil yang pantas didapat dari proses sang tokoh utama. 
Di balik paparan mengenai sedih dan tragedi, "Manchester by the Sea" juga merupakan studi insan sebagai makhluk sosial yang takkan pernah lepas dari interaksi antar sesamanya. Apa pun kondisinya kita niscaya menemui itu, harus menjalaninya. Karenanya kecanggungan sebagaimana banyak muncul dalam film ini acap kali tercipta. 

Cara bicara menggumam, mata sendu, hingga aura kerapuhan ialah beberapa aspek yang jamak dijumpai dari performa Casey Affleck. Typical from Casey, but he's so good at those things. Penampilan Casey di sini bagai kulminasi atas gaya aktingnya tersebut, tampak alamiah, kaya akan gestur dan mulut wajah yang meski kecil, teramat besar lengan berkuasa mewakili emosi. Lancar pula Casey memainkan dua sisi berlawanan (sebelum dan sehabis tragedi) milik Lee. Punya porsi sedikit, Michelle Williams tetap mencuri perhatian, menyentuh hati ketika Randi mengungkapkan kepedihan terpendamnya pada Lee secara emosional. Kyle Chandler sebagai Joe, abang Lee, mungkin tak banyak menerima sorotan di award season, namun kemunculannya memenuhi kiprah selaku kiprah pendukung, menciptakan penonton gampang percaya akan kasih sayang dan ikatan besar lengan berkuasa dua saudara. 

Artikel Terkait

Ini Lho Manchester By The Sea (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email