Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Generasi Kocak: 90An Vs Komika (2017)

Bayangkan anda membeli sarden, kemudian begitu kalengnya dibuka isinya ikan teri, cuma seekor pula. Sama-sama ada ikan di dalamnya tapi niscaya anda kesal, merasa tertipu. Bukan saja berbeda, kualitasnya pun di bawah barang yang seharusnya. Begitulah rasanya menonton lebih banyak didominasi film produksi Sultan KK Dheeraj (KKD) misal "Pocong Mandi Goyang Pinggul", "Rintihan Kuntilanak Perawan", hingga yang paling menghebohkan, "Mr Bean Kesurupan Depe". Hal sama terulang pada "Generasi Kocak: 90an vs Komika" yang bagaikan penghinaan untuk kata "kocak", periode 90an dan para komika. 

Mungkin KKD membenci istilah "kocak" lantaran karyanya tak pernah layak menerima sebutan itu. Dia pun kolam membenci 90an lantaran begitu dikenang hingga membuat film-filmnya terlupakan, juga komika yang cukup umur ini meraih kesuksesan, dipuja melebihi dirinya. Seperti Dewa yang tidak lagi disembah, lalai diberi sajen, masuk akal ia murka kemudian bersabda "Wahai rakyatku dan saudara-saudaraku. Janganlah kita larut dalam demokrasi yang menyesatkan (fitnah). Masih banyak cara yang lebih ksatria menuju satu tujuan". Ah, maaf. Sepertinya saya keliru mengutip sabda dari Sultan berbeda.
Siapkan mental anda, lantaran saya segera membeberkan salah satu sinopsis paling abstrak semenjak kata "sinopsis" pertama kali diperkenalkan. Allan (Afif Xavi) yaitu anggota Gangster Komika yang dipimpin Naga Komika (Anyun Cadel), sementara teman masa kecilnya, Dellon (Adi Bing Slamet) berasal dari kelompok musuh, Gangster 90an milik Si Naga 90an (Kadir). Keduanya bekerja sama mengkhianati geng masing-masing, mencuri emas batangan kepunyaan Si Naga 90an, membuat mereka menjadi buronan. Suatu hari Allan kelimpungan dikala kedua orang tuanya (Jaja Miharja dan Hj. Tonah) tiba ke Jakarta, lantaran ia mengaku berprofesi sebagai dokter. Dibantu Dellon serta pacar masing-masing, Susi (Arafah Rianti) dan Mia (Resti Wulandari), Allan membuat sandiwara guna menipu ayah dan ibunya. 

Menyebut lubang logika ndeso dalam naskah garapan Herry B. Arissa ("Hantu Juga Selfie", "Pelet Kuntilanak") ibarat mencari waria di Taman Lawang. Praktis ditemukan, tapi saya enggan melakukannya. Walau demikian beberapa poin mesti diutarakan. Pertama dan paling utama tentu ketiadaan momen Gangster 90an melawan Gangster Komika sebagaimana tertuang di judul. Ya, mereka diceritakan bermusuhan, tetapi cuma sekali menyebarkan screentime, Konteksnya pun bukan pertempuran. Dalam interpretasi "versus" paling asal semenjak "Batman v Superman" ini, keduanya justru memburu Allan dan Dellon, dua gangster yang sama sekali tak pernah diperlihatkan beraksi sebagai gangster. Saya gagal pula memahami definisi "gangster" film ini. Kegiatan pihak komika sepanjang film hanya mendengar dagelan tak lucu sang bos, sedangkan Si Naga 90an asyik bermain arcade "Street Fighter". 
Jangan harap menemukan paparan menarik soal tabrakan dua generasi di dikala rujukan budaya terkenal 90-an yang ada ditempatkan sedemikian asal. Herry B. Arissa dan sutradara Wishnu Kuncoro ("Dendam Arwah Rel Bintaro", "Jeritan Danau Terlarang Situ Gintung") sekedar membuat checklist barang terkenal di masa itu (tazos, game boy, walkman, yoyo, telepon umum dan lain-lain), menampilkannya tanpa substansi. Bagi pembuat film ini, seorang gangster bermain tazos di cafe, atau memainkan walkman di kendaraan beroda empat yang di dalamnya pasti terdapat pemutar kaset yaitu hal wajar. 

Berkedok nostalgia, "Generasi Kocak: 90an vs Komika" mengumpulkan sosok pelawak tersohor yang lagi-lagi hanya bertugas melontarkan referensi. Sebutlah Mandra sebagai supir taksi. Kehadirannya sekedar untuk memfasilitasi obrolan wacana Munaroh dan oplet (referensi kiprahnya di "Si Doel"). Kadir urung bertutur menggunakan logat Madura ciri khasnya. Sementara Jaja Miharja kebagian satu adegan yang paling mendekati taraf lucu, namun gagal memancing tawa akhir telah diungkap dalam trailer. Satu poin faktual dari para legenda tersebut yakni mereka berusaha sekuat tenaga melucu, memberi effort yang harus dicontoh komika junior. They belong to something better and more respectful than this.
Ketimbang nostalgia, "Generasi Kocak: 90an vs Komika" cenderung membuat gila. Apalagi kala caranya mengakhiri kisah menganut ilmu yang tertuang pada kitab storytelling Sultan KKD, yang berbunyi "Jika ceritamu belum usai ketika durasi mencapai 80 menit, alangkah baiknya engkau selesaikan saja menggunakan narasi singkat, dengan begitu penghematan biaya bisa didapat." Apabila anda belum dan hendak menonton film ini, jangan baca kalimat di bawah, lantaran saya akan menuliskan SPOILER berupa ending. Tetapi bila tidak, selamat menikmati dan mencerna absurditas yang ditawarkan. SPOILER DIMULAI. Setelah titik puncak dikala Allan dan Dellon tertembak oleh geng 90an dan komika, keduanya dirawat di rumah sakit. Lalu kita mendengar voice over yang menuturkan bahwa mereka mengembalikan emas curian, bertobat, dan Allan kesudahannya benar-benar lulus sebagai dokter, sedangkan Dellon menjadi polisi. SPOILER BERAKHIR

Anu, maaf, bagaimana? Saya kurang paham. SPOILER DIULANG. Kita mendengar voice over yang menuturkan bahwa mereka mengembalikan emas curian, bertobat, dan Allan kesudahannya benar-benar lulus sebagai dokter, sedangkan Dellon menjadi polisi. SPOILER BERAKHIR. Maaf, saya niscaya salah dengar, bisa diulang sekali lagi? SPOILER DIULANG SEKALI LAGI. Kita mendengar voice over yang menuturkan bahwa mereka mengembalikan emas curian, bertobat, dan Allan kesudahannya benar-benar lulus sebagai dokter, sedangkan Dellon menjadi polisi. SPOILER BERAKHIR LAGI. Ya. Terserah kamu sajalah Sultan. Hamba bukan apa-apa dibandingkan Sultan. 

Beberapa penonton (sekitar tujuh hingga delapan orang) yang memenuhi baris di belakang saya kerap tertawa sepanjang durasi. Mereka memasuki studio sambil berteriak, tertawa sendiri, bicara menggunakan bahasa kasar, bahkan ketika film telah dimulai, juga duduk sembari mengangkat kaki ke sandaran dingklik di depannya. Tidak ada sopan santun. Seenaknya. Begitu pula cara film ini melontarkan humornya. Asyik bergurau sendiri tanpa mempedulikan ketepatan penempatan, melontarkan komedi-komedi tasteless nan menyakitkan. Lucu atau tidaknya komedi memang subjektif. Sah-sah saja apabila anda terhibur oleh "Generasi Kocak: 90an vs Komika". Silahkan bergabung dengan golongan penonton ibarat di atas selaku sasaran pasar film ini. 


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics

Artikel Terkait

Ini Lho Generasi Kocak: 90An Vs Komika (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email