Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Gunung Kawi (2017)

Kita tahu track record Nayato Fio Nuala. Sepanjang karirnya selama hampir 14 tahun, telah 83 kredit penyutradaraan didapat (plus banyak sekali posisi lain). Bersama Sultan KK Dheeraj, Baginda Nayato selalu jadi materi bulan-bulanan akhir karya mereka yang selalu "aneh bin ajaib". Tapi kita sering lupa bahwa sejatinya Nayato menyimpan passion besar terhadap sinema. Seleranya pun bagus, setidaknya dibanding sutradara-sutradara penghasil film jelek lain. Saya cukup yakin, lebih banyak didominasi sutradara tersebut jangankan suka, belum tentu mereka pernah menonton karya-karya Wong Kar-wai, influence terbesar Baginda Nayato khususnya dari segi teknis. Dia tak menyukai "The Godfather" alasannya cara bertuturnya, tapi itu lain cerita.

"Gunung Kawi" ditinjau lewat aspek mana pun bukanlah film bagus. Merupakan sekuel bagi "Dilarang Masuk..!" (review di sini). "Gunung Kawi" membawa konsep komedi-horor serupa film pendahulunya menerapkannya pada formula klasik berupa para dewasa yang diteror makhluk mistik di tengah hutan. Tentu naskah garapan Ery Sofid ("Kastil Tua", "Pocong Pasti Berlalu", "Di Sini Ada Yang Mati") sama sekali belum layak disebut solid merajut dongeng pula menggampangkan resolusi konflik, tapi setidaknya enggan mencoba sok cerdik dengan kejutan dipaksakan misalnya. Semua disusun seperlunya walau budi bertutur kerap dipertanyakan. 
Adit (Maxime Bouttier) mendapati sang ayah, Drajat (Roy Marten) bertingkah aneh, sering berhalusinasi akhir tak lagi memberi tumbal sebagai syarat pesugihan yang ia sanggup di Gunung Kawi. Pabrik rokok selaku sumber mata pencahariannya pun gulung tikar seketika. Merasa iba, Adit menentukan mengajak teman-temannya pergi ke Kawi guna mencari obat bagi Drajat. Kenapa ia repot-repot menantang ancaman alih-alih mencari dukun sakti di sekitar? Karena bila begitu filmnya takkan bisa dibuat. Sebagaimana insan waras pada umumnya, teman-teman Adit awalnya menolak, terlebih stress berat kejadian di film pertama belum hilang. Namun didorong rasa setia kawan, mereka tetapkan bersedia menemani Adit ketimbang meyakinkan ada cara lain yang lebih simpel dan aman. 

Serupa film pertama, kebanyakan sentuhan komedinya cenderung mengesalkan daripada menyenangkan, khususnya ketika melibatkan abjad Bang Jono (Reymon Knuliqh), satpam sekolah yang tak pernah serius, selalu asal bicara. Film ini total berkomedi, di mana para hantu pun tak ketinggalan mengumbar agresi konyol. Menurunkan kadar kengerian, namun Nayato menyerupai sadar akan ketidakmampuan mengemas penampakan seram, kemudian menentukan pendekatan "so-bad-and-stupid-it's-good". Berhasil? Pastinya tidak. Sepertiga tamat durasi ketika filmnya mengembalikan setting ke perkotaan jadi rutinitas jump scare berisik yang diperparah tata bunyi perusak gendang telinga. Paling tidak Nayato dan rekan sudah jujur, sadar, dan tahu film macam apa ini.
"Gunung Kawi" walau dipenuhi sinematografi gelap tak kreatif standar suguhan horor berlokasi di hutan, sempat mengembalikan ingatan atas kepiawaian Nayato mengemas gambar apik. Cuma sekali, tepatnya sewaktu Roro (Roro Fitria) menari. Adegan itu menggelikan akhir akting over-the-top layaknya sinetron kolosal Indosiar dari sang aktris, tetapi warna-warni tata artistiknya cukup menghibur mata. Sekilas potensi Nayato turut tampak kala protagonis mulai memasuki area Gunung Kawi. Kamera menangkap sedikit suasana hutan diiringi versi lambat lagu "Aku Tak Biasa". Menggarap ulang lagu usang dengan tempo lambat tengah menjadi tren di Hollywood. Bukan fakta mencengangkan bagi pembuat film, tapi menandakan Nayato "melek" akan perkembangan film. Adegannya sendiri sejenak terkesan creepy, menyiratkan misteri yang segera menghampiri walau segera dirusak oleh dipaksakannya humor hadir di segala situasi.

Ditutup oleh ending yang menawarkan kebingungan penulisnya menutup cerita, "Gunung Kawi" meski jelek merupakan peningkatan kecil dibanding beberapa film terakhir Nayato yang mengingatkan betapa ia bukan seutuhnya sutradara nihil talenta, berpotensi menghasilkan karya mengesankan apabila didukung naskah kuat. Nayato bisa menciptakan film bagus. Usahanya di awal karir dahulu kentara mengarah ke sana. Sayang, gugusan karya jelek dan dampak industri semakin mengikis potensi serta perjuangan tersebut. 


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics

Artikel Terkait

Ini Lho Gunung Kawi (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email