Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Journey To The West: The Demons Strike Back (2017)

Sekuel bagi "Journey to the West: Conquering the Demons"  film terlaris China tahun 2013 sekaligus salah satu yang terbaik  ini mempertemukan Tsui Hark si "Raja Wuxia" dan "Raja Komedi", Stephen Chow. Sebelumnya, Hark sempat muncul selaku cameo di "The Mermaid" buatan Chow yang juga merupakan film berpendapatan terbesar sepanjang masa di "Negeri Bambu" tersebut. Kelihaian Hark mengkreasi adegan agresi dipadukan absurditas komedi Chow yang kali ini sendirian menulis naskahnya tentu menjadi magnet kuat. Terbukti lewat keberhasilan melampaui pendapatan film pertama. It's definitely bigger, but is it better?

Kisahnya melanjutkan perjalanan Tang Seng (Kris Wu) mencari kitab suci ke India bersama ketiga muridnya, Sun Wukong si Raja Kera (Lin Gengxin), siluman babi Zhu Bajie (Yang Yiwei) dan siluman air Sha Wujing (Mengke Bateer). Guna bertahan hidup mereka memperlihatkan jasa mengusir siluman dan memamerkan atraksi di kelompok sirkus. Namun perselisihan antara Wukong dan Tang Seng kerap menyulitkan perjalanan. Wukong jengah atas perlakuan seenaknya dari sang guru (memanggilnya "kera nakal", mencambuk dan menyanyikan lagu anak sebagai hukuman). Tang Seng pun kewalahan menghadapi kenakalan Wukong, dan masih menyimpan amarah akhir murid pertamanya itu membunuh Duan (Shu Qi), cinta sejati Tang.
Meneruskan jejak "Conquering the Demons", "The Demons Strike Back" walau kental komedi merupakan presentasi versi kelam "Journey to the West". Unsur kekerasan dan final hidup tidak sekental film pertama, namun ada kompleksitas soal relasi guru-murid khususnya Tang Seng dan Sun Wukong. Sebagai bekas siluman kejam, tentu logikanya mereka takkan semudah itu patuh. Chow menekankan itu dikala Wukong benar-benar membenci Tang, bahkan sekali waktu berniat membunuhnya dengan Bajie dan Wujing memberi dukungan. Layaknya proses alamiah, ketika "Conquering the Demons" ialah pertemuan, maka sekuelnya ini berfungsi menyatukan keempat protagonis, hingga apabila kelak ada installment ketiga, kita akan bertemu dengan tim yang telah solid. 

Chow menempatkan banyak pertengkaran sebagai rintangan, alat memaparkan konflik. Masalahnya, pemaknaan Chow pada istilah "konflik" terlampau dangkal, yaitu saling berteriak, mengeluh, dan dilakukan berulang kali, berujung repetitif pula menyebalkan ketimbang menghasilkan cengkeraman kuat drama seputar love/hate relationship. Biksu Tang versi Chow ialah sosok kompleks. Penyebar aliran Buddha, tetapi ndeso dan terjebak dalam sedih duniawi akhir cinta. Berbeda dibanding Wen Zhang pada film pertama yang simpatik, akting Kris Wu membuatnya bagai cowok manja, hanya sanggup merengek, tak berguna, mirip minta dihajar habis-habisan. The relatable, more human version of Tang Sen from the previous movie is gone, replaced by this spoiled brat
Tidak biasanya pula Chow miskin pandangan gres merangkai narasi ringan. "The Demons Strike Back" menyerupai campuran bergairah dari aneka macam story arc perjalanan Biksu Tang ketimbang satu denah besar yang saling berkaitan meski bagi penonton yang familiar terhadap kisahnya, kemunculan Siluman Laba-Laba dan Siluman Tengkorak sanggup memunculkan nostalgia. Chow nampak memaksakan diri memanjangkan kisah dengan setumpuk filler tak substansial dan membosankan mirip beberapa sekuen pasca pertempuran di istana. Tapi bukan semata-mata kesalahan naskah, alasannya penyutradaraan Tsui Hark turut berpengaruh. 

Penonton masih disuguhi kekonyolan komedi khas Stephen Chow dan beberapa momen sanggup memproduksi tawa, hanya saja urung mencapai titik tertinggi serta banyak humor berakhir datar. Lagi-lagi kegagalan tersebut disebabkan interpretasi dangkal. Hark sekedar mengundang kekacauan dan keramaian sebanyak mungkin dalam menangani komedi, tanpa ketepatan timing atau pilihan shot mendukung. Tidak mirip Chow, Hark kurang bakir bermain komedi visual, kesudahannya yang penonton dapatkan tak lebih dari slapstick konyol yang gampang terlupakan. 
Battle sequence-nya didominasi CGI yang mengemas seluruh aspek, mulai abjad hingga setting. Pertempuran di istana dan titik puncak hampir 100% menggunakan CGI. Kesan cartoonish akibat kualitas tak seberapa sanggup dimaklumi mengingat ini bukan produksi Hollywood, walau pilihan full CGI mengundang dipertanyakan mengingat bujet film ini setara pendahulunya ($64 juta dollar). Di sini barulah Tsui Hark unjuk gigi mempertontonkan kepiawaian merangkai hiburan penuh warna. Dibantu desain produksi mumpuni, Hark sukses mewujudkan visi menghadirkan visual spectacle berisi kostum pula tata set dan properti meriah sebagaimana diperlihatkan opening dan setting istana, kolam membawa keramaian produksi Bollywood berskala besar. 

Skala pertarungan pun lebih besar dan pengemasan Hark terbukti kreatif. Berbagai adegan agresi khususnya titik puncak mempunyai apa yang jarang kita temui pada Hollywood blockbuster, yakni imajinasi. Bayangkan pertempuran Wukong dan Tang Seng melawan "tiga Buddha" di tengah samudera itu didukung imbas visual mahal Hollywood. Epic. Sayangnya rangkaian action sequence-nya terasa artificial karena Hark sekedar menaruh fokus pada menumpahkan visual semeriah mungkin tanpa membangun ketegangan atau meyakinkan penonton bahwa yang tersaji di layar ialah makhluk hidup, bukan saling serang antar tokoh kartun. It looks cool, but nothing at stake there, no life. 

Artikel Terkait

Ini Lho Journey To The West: The Demons Strike Back (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email