Wednesday, January 9, 2019

Ini Lho Pasir Berbisik (2001)

Dian Sastrowardoyo begitu "beruntung" alasannya ialah bisa terlibat dalam dua film yang cukup berperan besar dalam menandai kebangkitan industri perfilman Indonesia. Yang paling dikenal tentu saja ketika ia berperan sebagai Cinta dalam AADC, tapi setahun sebelumnya, ketika usianya gres menginjak 19 tahun Dian Sastro juga ikut ambil bab dalam film Pasir Berbisik karya Nan Achnas (Kuldesak, The Photograph) yang berhasil meraih kesuksesan dalam aneka macam pameran film mancanegara. Film yang mempunyai judul internasional Whispering Sands ini sukses membawa Dian Sastro menjadi Best Actress dalam Deauville Asian Film Festival serta Singapore International Film Festival. Di festival-festival lain film ini juga meraih kesuksesan termasuk tiga piala (Best New Director, Best Cinematography dan Best Sound) dalam Asia Pasific Film Festival. Film ini sendiri tidak hanya dibintangi oleh Dian Sastro, alasannya ialah ada banyak nama-nama besar lainnya ibarat Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Didi Petet, penyanyi Dessy Fitri, komedian senior Mang Udel, hingga Dik Doank yang muncul dalam sebuah tugas kecil. Dengan segudang prestasi serta nama besar baik di depan maupun belakang layar, Pasir Berbisik jelas merupakan salah satu film "kelas berat" yang begitu menarik perhatian.

Daya (Dian Sastrowardoyo) ialah seorang gadis muda yang tinggal hanya berdua dengan sang ibu, Berlian (Christine Hakim) di sebuah perkampungan yang terletak di sekitar pantai. Berlian bekerja menjadi seorang penjual jamu untuk menghidupi mereka berdua sehabis sang suami, Agus (Slamet Rahardjo) yang dulunya merupakan seorang dalang "menghilang" beberapa tahun kemudian disaat Daya masih kecil. Pada ketika itu, kondisi kampung daerah mereka tinggal juga tengah memanas sehabis terjadi beberapa pembunuhan dan pembakaran rumah. Perpaduan beberapa konflik itulah yang menghipnotis cara Berlian mendidik Daya. Daya tidak mendapat kebebasan untuk melaksanakan hal-hal yang ia mau termasuk bersosialisasi dengan beberapa orang. Hal itu membuat Daya tidak menyukai sang ibu dan menghabikan waktunya dengan terus berharap suatu hari sang ayah akan pulang dan membawanya pergi dari daerah tersebut. Seiring berjalannya waktu, kondisi makin memanas dan memaksa Berlian membawa Daya pergi dari kampung tersebut menuju sebuah daerah berjulukan Pasir Putih. Disanalah Daya mulai bertemu dengan banyak orang ibarat Sukma (Dessy Fitri) yang dengan cepat menjadi sahabatnya beserta sang kakek (Mang Udel) yang mengajari Daya menulis dan berhitung, hingga seorang lintah berjulukan Suwito (Didi Petet). Di Pasir Putih jugalah Daya kembali bertemu dengan Agus yang justru membawa konflik gres lagi.
Tipikal film seorang Nan Achnas ialah apa yang sering disebut sebagai arthouse movie atau film "nyeni" yang cenderung berat entah itu dongeng maupun cara bertuturnya. Sama ibarat sutradara perempuan lainnya Mouly Surya, film-film garapan Nan Achnas cenderung berjalan lambat, penuh simbol serta minim obrolan alasannya ialah lebih banyak berbicara lewat gambar-gambar. Hal yang sama berlaku juga untuk Pasir Berbisik dimana hamparan gurun pasir luas yang gersang lebih banyak hadir daripada percakapan antar pemainnya. Jika ada dialog, itupun hadir disaat memang benar-benar diharapkan dan dilafalkan tidak dengan meledak-ledak meskipun itu merupakan adegan yang emosional. Perasaan sepi memang coba dibangun dalam film ini dan hal itu memang sesuai dengan dongeng filmnya. Namun sepi bukan berarti membosankan. Film ini punya banyak "senjata" yang membuat saya tidak pernah merasa bosan mengikuti 110 menit filmnya yang sepi dan lambat itu. Pertama terang sinematografi indah garapan Yadi Sugandi yang memang luar biasa. Hamparan pasirnya, gubuk-gubuk reyot yang gelap itu, hingga langit dengan matahari yang bersinar terang nan terasa gersang hadir membuat keindahan visual yang bukan merupakan style over substance. Kenapa? Karena film ini bukan hanya jualan gambar, apalagi gambar indahnya mendukung jalinan dongeng juga.
Cerita utamanya ialah perihal sosok Daya. Bagaimana seorang dewasa perempuan ini harus hidup dalam kesendirian dan kesepian di tengah kehilangan sosok ayah dan sosok ibu yang terus mengekang kebebasannya. Tidak hanya Daya, tokoh Berlian juga mendapat sorotan penceritaan juga disini. Kita akan mempelajari alasan kenapa ia begitu mengekang puteri tunggalnya. Jalan dongeng Pasir Berbisik akan terasa berat dan sedikit memusingkan dengan banyaknya simbol dan ambiguitaas, tapi hal itu juga yang membuatnya terasa begitu menarik. Beberapa hal hanya di-tease tanpa pernah dijelaskan secara gamblang ibarat konflik apa yang terjadi di kampung, alasan kepergian Agus, alasan Berlian mengekang Daya dan mengapa ia begitu membenci kesukaan Daya terhadap tarian. Beberapa simbolisme juga muncul dimana salah satu yang paling memorable adalah topeng terbalik yang diberikan oleh seorang laki-laki (Dik Doank) kepada Daya. Hal-hal tersebut memang bakal membuat penonton bertanya-tanya tapi bagi saya hal itulah yang menjadi salah satu daya tarik utama film ini disaat saya menjadi "dipaksa" untuk terus menunjukkan fokus maksimal untuk bisa menterjemahkan segala simbol maupun hal-hal tersirat di dalamnya. 

Bicara soal akting tentu saja apa yang ditampilkan para pemain drama dan aktris andal ini terasa luar biasa. Dian Sastro sebagai Daya bisa menunjukkan rasa sepi, murka dan duka yang bercampur dan terpendam dalam diri seorang gadis dewasa polos. Christine Hakim dibalik sosoknya yang banyak diam, penuh rasa waspada dan antipati terhadap segala kemauan Daya mampu membuat saya yakin bahwa apa yang dilakukannya itu alasannya ialah rasa cinta yang begitu besar dan efek dari segala kejadian jelek di sekitarnya. Slamet Rahardjo sempat menghadirkan sebuah momen luar biasa ketika ia mengajari Daya dan Sukma bagaimana cara menggaet atensi orang-orang. Sedangkan Didi Petet meski porsinya tidak terlalu banyak tapi begitu signifikan, termasuk sebuah pembicaraan "lirih" dengan Daya yang membuat saya mencicipi emosi bercampur aduk mulai dari sedih, marah, hingga jijik. Tapi semua itu bukan saja alasannya ialah akting yang manis dari mereka semua tapi berkat karakterisasi serta pembagian porsi dalam naskah karya Nan Achnas dan Rayya Makarim yang begitu apik. Dengan naskah yang biasa, huruf ibarat Agus dan Suwito bisa berakhir dangkal dan dipaksakan meski akting keduanya manis sekalipun. Dibalut juga dengan iringan musik indah karya Theoersi Argeswara yang banyak memakai instumen tradisional (memberikan sedikit kesan fantasi), Pasir Berbisik merupakan salah satu film terbaik yang dimiliki perfilman Indonesia.

Artikel Terkait

Ini Lho Pasir Berbisik (2001)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email