Let's admit that "Ring" is product from the past. Konsep penyebaran kutukan melalui VHS hanya sanggup efektif di masa ketika transfer informasi belum secepat dan semudah periode digital. Sekarang, kecuali mengambil setting masa lalu, kesulitan huruf melepaskan diri dari kutukan terasa konyol daripada mengerikan. Tinggal unggah video ke media umum atau YouTube, dalam sekejap problem terselesaikan. "Sadako 3D" (plus sekuel yang sama buruknya) coba melangkah ke tahap itu namun gagal, alasannya poin utama franchise buatan Koji Suzuki ini terletak pada kecemasan korban mencari "tumbal" ditambah ketidaktahuan atas video tersebut. Ditambah lagi, Sadako atau Samara dalam versi remake Amerika sudah kerap jadi materi parodi.
Pergantian agenda rilis mencapai tiga kali (November 2015 ke April 2016, ke Oktober 2016, sampai kesannya Februari 2017) tentu merupakan sinyal jelek bagi "Rings" yang bertempat 13 tahun pasca film pertama, tak menganggap keberadaan "The Ring Two" (2005). Bagai mengambarkan kekhawatiran itu, opening yang menampilkan teror Samara Morgan (Bonnie Morgan) di atas pesawat pribadi menyalahi rule. Aturan ini penting. Tanpanya, kemunculan sesosok entity selaku villain dapat tak berarti, melucuti intensitas. Coba bayangkan mendadak Freddy Krueger sanggup membunuh di dunia nyata. Aturan main Samara jelas; calon korban menonton video, tujuh hari kemudian mati apabila tidak menyalin video dan mempertontonkannya pada orang lain.
Mengapa seluruh penumpang yang gres ketika itu menonton video seketika terkena kutukan Samara kemudian tewas? Adegan ini eksis hanya demi satu tujuan, yakni membuat pembuka bombastis. Celakanya, F. Javier Gutierrez gagal menghadirkan kengerian akhir kurang memahami pemicu rasa takut. Kenapa kecelakaan pesawat, kutukan Samara, dan secara umum kematian, dianggap menakutkan. Dia sekedar menyuguhkan, lalai menyeret penonton dalam rasa takut serupa yang dialami tokoh-tokohnya. Kegagalan ini bertahan sampai film berakhir, menyebabkan 102 menit durasi "Rings" sebagai obat tidur mujarab meski sejatinya Gutierrez mengusung niat mulia untuk membuat horor tanpa eksploitasi jump scare berlebihan.
Naskah tulisan David Loucka, Jacob Aaron Estes, dan Akiva Goldsman punya niatan serupa, hendak menekankan pemeriksaan berbalut twisted drama seputar keluarga bahkan agama. Julia (Matilda Lutz) menjadi tokoh sentral sewaktu ia mendapati sang kekasih, Holt (Alex Roe) yang tiba-tiba tidak memberi kabar telah terjebak dalam bulat setan kutukan Samara pasca mengikuti "eksperimen" sang dosen, Gabriel (Johnny Galecki). Demi menghentikan kutukan tersebut, Julia dan Holt melaksanakan penyelidikan yang membawa mereka pada masa kemudian Samara serta kasus hilangnya perempuan misterius berjulukan Evelyn (Kayli Carter).
"Rings" tersusun atas rangkaian pemeriksaan seputar misteri amat sederhana tapi terlalu berusaha tampil kompleks sampai menjadi "bumerang" tatkala trio penulis naskahnya kewalahan menangani benang kusut alurnya. Bahkan nihil substansi, tanpa ikatan niscaya dengan first act serta konklusi yang kolam berdiri sendiri-sendiri. Para penulis nampak terbebani merangkai tiga poin; teror video kutukan selaku ciri franchise-nya, masa kemudian Samara, dan menjembatani sekuel. Begitu asal cara penyatuannya, motivasi tiap huruf pun mengundang pertanyaan, termasuk Samara. Perlukah makhluk macam beliau mempunyai motivasi? Baik Samara maupun Sadako bergerak didasari dendam, bertujuan menebar ketakutan menggunakan banyak cara, bukan sekedar mesin pembunuh. Di sini, Samara bagai anak ndeso yang bertindak serampangan pula gemar pamer kekuatan.
Proses pemeriksaan suatu film bertujuan mengundang rasa ingin tau penonton, dan "Rings" tak memilikinya lantaran kita pun tidak dipancing biar ingin tahu. Filmnya membeberkan fakta demi fakta, namun tidak demikian alasan mengapa itu diungkap, ke mana semuanya bakal bermuara dan kenapa penonton mesti peduli. Terlebih dalam perjalanan Julia dan Holt unsur kecemasan kala berpacu dengan waktu sebelum kutukan menghampiri yang mana merupakan pondasi utama seri "The Ring" malah dilupakan. Paparan mengenai keluarga disfungsional yang esensial menyokong kisah Samara (dan Sadako) urung mencengkeram alasannya naskahnya terlampau jinak, takut melewati batasan rating PG-13. Padahal terdapat daya tarik di penceritaan soal figur agamawan yang didukung performa berpengaruh Vincent D'Onofrio.
Ada niat baik menggiring "Rings" ke ranah psychological horror-mystery yang tak hanya gemar mengageti, tetapi selain penelusuran teka-teki dingin sekaligus karakterisasi dangkal, Gutierrez juga tak piawai membangun kesan atmosferik, di mana perjuangan sang sutradara justru berakhir menyeret jalannya tempo adegan, membuat kebosanan. Sederet jump scare yang semestinya jadi hentakan penawar kantuk berlalu begitu saja akhir kesan repetisi adegan mimpi atau halusinasi. Saat penonton tahu sebuah kengerian merupakan kepalsuan, jangan harap rasa takut sanggup menjalar.
Gutierrez bersama-sama mempunyai insting visual mumpuni. Dibantu sinematografi garapan Sharone Meir, beberapa kejadian unnatural tampak memikat di layar, begitu pula footage video berisi creepy imageries yang tetap menghipnotis. Namun sewaktu rasa takut gagal dibangun di sisa momen lainnya, visual tersebut sekedar menjadi parade gambar memikat mata belaka. It could be a creepy, fascinating surreal clips or horror music video though. "Rings" yaitu perjuangan frustasi mengais kejayaan masa kemudian yang makin mencoreng kebesaran namanya. Butuh kreatifitas ekstra untuk modernisasi, lebih dari sekedar transformasi VHS ke video digital, menyertakan internet selaku adaptasi bagi generasi millenial atau upaya menangkis olok-olok kemunculan Samara melalui smartphone (baca: media elektronik berlayar mini) yang justru memancing kekonyolan serupa parodi tersebut.
Ini Lho Rings (2017)
4/
5
Oleh
news flash