Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Jackie (2016)

Pada 14 Februari 1962, Jacqueline "Jackie" Kennedy lewat kegiatan "A Tour of the White House with Mrs. John F. Kennedy" mengajak pemirsa televisi berkeliling Gedung Putih supaya publik tahu menyerupai apa rupa tiap sudut kediaman Presiden Amerika Serikat tersebut. Kini giliran Pablo Larrain membawa kita memasuki ruang personal Jackie, menyingkap isi hati Ibu Negara termuda ketiga ini pasca pembunuhan terhadap John F. Kennedy. Ketimbang merangkum seluruh perjalanan hidup sang titular character, "Jackie" mengetengahkan bagaimana ia menghadapi murung atas kematian sang suami yang oleh filmnya dikemas jujur, apa adanya, menghormati tanpa pernah mengultuskan. 

Keabsahan kisah film ini mungkin bisa diperdebatkan, namun layaknya catatan sejarah mana pun, tiada kebenaran hakiki melainkan satu versi yang disepakati bersama. Di awal film, Jackie (Natalie Portman) menegaskan pada seorang jurnalis (Billy Crudup) yang hendak melaksanakan wawancara bahwa kisah yang akan si jurnalis dengar dan tulis ialah versinya. Kalimat itu seolah dipakai Noah Oppenheim selaku penulis naskah guna menegaskan perspektifnya kepada penonton. This is a story about Jackie Kennedy from Jackie Kennedy herself. Beberapa bab naskah sendiri dibangun menurut wawancara Theodore H. White dari majalah Life dengan Jackie. 
Pendekatan konvensional akan memposisikan kisah ini sebagai setup dengan puncak berupa pembunuhan John F. Kennedy. Oppenheim menentukan jalan lain. Peristiwa tersebut tetap ditampilkan, tapi sekilas saja. Bukan untuk tujuan final melainkan pemicu gejolak yang mesti ditemui protagonis. Alurnya bergerak acak memperlihatkan Jackie sebelum kematian John (pengambilan gambar tur Gedung Putih) hingga setelah, ketika status First Lady memaksanya berurusan dengan tetek bengek urusan seremonial, kenegaraan, serta intensi bermacam-macam dari bermacam pihak alih-alih bebas membenamkan diri dalam kesedihan. Semua menghampiri Jackie begitu cepat, dengan jangka waktu teramat singkat. Poin ini jadi titik penting naskahnya, menjelaskan mengapa beliau sangat terpuruk. 

Keterpurukan Jackie menghasilkan observasi kompleks seputar pilu akhir kehilangan orang tercinta. Umumnya, ketika seseorang meninggal, kerabat yang ditinggalkan bakal bermulut manis, mendeskripsikan sosok almarhum kolam insan sempurna. Jackie awalnya membuatkan kesan serupa termasuk kala kukuh memaksakan prosesi pemakaman besar-besaran demi menghormati jasa John sebagai Presiden. Tapi seiring waktu berjalan, semakin sering Jackie mengungkapkan perasaan baik verbal maupun respon dalam keheningan, timbul ambiguitas. Apakah Jackie melaksanakan semua bagi mendiang sang suami, atau untuk dirinya sendiri yang menyayangi glamoritas? "Jackie" tidak ragu memancing pertanyaan tersebut, membungkusnya jadi studi terang-terangan tanpa perlu terkesan menyerang objek penceritaannya. She's lovable but not a saint. She loves her late husband but doesn't think that he was perfect. 
Jacqueline Kennedy bukan saja Ibu Negara. Berkat figur feminin, paras elok dan busana modis, ia juga merupakan fashion icon, menciptakan para laki-laki tersenyum jatuh hati pula diidolakan wanita. Termasuk melalui program "A Tour of the White House with Mrs. John F. Kennedy", figur politik tak lagi membosankan karenanya. Sehingga menarik ketika perempuan yang dikenal mempesona dan menghembuskan nyawa ke Gedung Putih ini ditampilkan dalam fase sedemikian berbeda, diselimuti amarah, kesedihan, putus asa, hilang arah. Walau untuk penonton di luar Amerika yang kurang familiar dan tidak merasa "memiliki" Jackie, penggambaran itu takkan seberapa menusuk.

Mewakili kesan glamor dan kegemaran Jackie kepada seni, filmnya menonjolkan estetika tiap sisi departemen artistik. Desain produksi buatan Jean Rabasse piawai mereplikasi interior glamor Gedung Putih termasuk detail ornamen yang apabila anda bandingkan dengan footage "A Tour of the White House with Mrs. John F. Kennedy" nampak persis. Scoring orkestra gubahan Mica Levi (mendapat nominasi Oscar) mengiringi nyaris di tiap situasi, berfungsi mendramatisasi, megah, sanggup menyiratkan ironi suatu tragedi. Sedangkan desain kostum dari Madeline Fontaine (also an Oscar nominee) sukses mereka ulang busana-busana Jackie Kennedy yang khas berhiaskan warna-warni memikat mata.
Pengadeganan Pablo Larrain kerap mengandalkan close-up agar mendekatkan penonton pada ekspresi Jackie, memaksimalkan observasi. "Jackie" lebih banyak disusun oleh presentasi momen-momen personal ketika sang tokoh utama membenamkan diri dalam bermacam-macam rasa daripada suguhan narasi linier konvensional di mana keheningan sering mendominasi ketimbang paparan aksi. Bahkan kalau mau, Larrain bisa saja menimbulkan film ini tontonan kontemplatif "Malick-esque". Larrain memamerkan kapasitasnya bertutur mengandalkan gambar tanpa perlu deskripsi verbal gamblang atas sebuah situasi. Pergerakan alur acak pun sanggup ia tangani, tersusun rapi, walau keputusan berfokus pada curahan emosi Jackie makin usang terasa repetitif. 

Disokong jajaran nama besar yang bermain baik sesuai porsi masing-masing menyerupai Peter Sarsgaard, Greta Gerwig, hingga John Hurt dalam salah satu tugas terakhirnya sebelum meninggal awal tahun ini, "Jackie" tetaplah panggungnya Natalie Portman. Sang aktris bisa "menghidupkan kembali" Jacqueline Kennedy. Coba saksikan footage lawas yang menampilkan Jackie, maka anda bakal melihat ketepatan Portman berekspresi dan bergerak, bahkan hingga gestur kecil semisal gerakan kepala. Cara bicaranya pada adegan tur Gedung Putih mungkin terdengar bagai imitasi belaka, namun tak hingga jatuh ke ranah parodi. Seringnya kamera menyoroti wajahnya dari erat Portman manfaatkan sebagai sarana berbicara menggunakan mimik wajah kuat, menciptakan penonton gampang menangkap betapa kalut dan rumitnya isi hati Jackie. Karena murung dan kematian bukan hal sederhana, terlebih jikalau anda perempuan nomor satu negara adidaya.  

Artikel Terkait

Ini Lho Jackie (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email