Setelah bencana berjulukan "X-Men Origins: Wolverine" serta hiburan standar yang masih dianggap mengecewakan dalam bentuk "The Wolverine", James Howlett alias Logan alias Wolverine butuh film stand alone layak secepat mungkin. Apalagi pasca memerankan tokoh itu selama 17 tahun, Hugh Jackman tetapkan segera pensiun. Salah satu keputusan paling penting yang dilakukan oleh sutradara James Mangold dan timnya dalam "Logan" yakni penggunaan R-rating, sebab anda takkan bisa menciptakan sajian jinak nihil darah bagi ikon X-Men tersebut. Aspek menarik lain berasal dari sumber wangsit utama filmnya, yaitu "Old Man Logan".
Patut dicatat, ini merupakan penyesuaian lepas, lantaran tidak mungkin bagi 20th Century Fox menampilkan Hulk, Doctor Doom, Red Skull dan Hawkeye selaku sosok-sosok penting komiknya. Poin yang diambil berupa fakta apabila filmnya ber-setting di masa depan tatkala X-Men tak lagi ada, dan Logan (Hugh Jackman) telah dimakan usia, lelah, depresif, hidup terasing di tengah padang gurun. Logan mengisi waktu bekerja sebagai supir limousine, sembari bersama Caliban (Stephen Merchant) merawat Charles Xavier (Patrick Stewart) yang menderita alzheimer. Harapan hidup tenang nyatanya sulit ia dapat, terlebih saat mesti menjaga Laura (Dafne Keen), mutan cilik berkemampuan serupa dirinya.
Saat ekspektasi publik cenderung (hanya) mengharapkan sentuhan kekerasan lewat rating R yang mana penting bagi si titular character film ini menawarkan pemanfaatan lebih substansial akan kebebasan mengumbar darah plus sumpah serapah. Logan tak ragu menebas lawan, mencincang sampai anggota badan berhamburan. Dia dan Xavier pun gemar melontarkan F-word. Semuanya bukan saja memfasilitasi Mangold bersenang-senang, pula menguatkan karakterisasi. Xavier sekarang semakin tua, tak stabil, dan rewel, sementara Logan diliputi trauma. Wajar jikalau penokohan keduanya bergerak ke arah tersebut.
Mangold bersama Scott Frank dan Michael Green sebagai penulis naskah merajut nuansa gritty di mana sang pemilik otak terkuat sekaligus mantan pimpinan X-Men menderita alzheimer sedangkan Logan makin individual, egois, bahkan suicidal. Pergerakan tone dunianya menjadi kelam pula lebih realistis terasa alamiah, dampak kejadian signifikan ketimbang pemaksaan macam "Man of Steel" atau reboot "Fantastic Four". Peristiwa yang dimaksud sekedar disiratkan melalui beberapa baris kalimat tanpa flashback gamblang, tapi tiap unsur dalam bangunan dunianya terhampar rapi, lengkap, yang bila disusun sanggup membentuk satu citra utuh. Alhasil gelapnya suasana pada dunia di mana mutan nyaris punah dan bencana bertempat sungguh kuat, terasa mencekik.
Mangold sabar menggiring tempo penceritaan, menyisihkan waktu untuk eksplorasi drama mengenai makhluk superior yang sekarang rapuh, berkontemplasi mencoba memahami eksistensi sambil seiring perjalanan mencar ilmu lagi apa artinya kebersamaan dan kekeluargaan. Di satu momen tatkala bertemu sebuah keluarga, Logan mengarang dongeng bahwa Xavier dan Laura yakni ayah dan puterinya. Mungkin itu sekedar dongeng palsu, namun sejatinya relasi itu sungguh terjadi di antara mereka. Logan merawat mantan mentornya, di sisi lain Xavier tak bosan berpetuah bagi sang murid. Demikian pula jalinan antara Logan dengan Laura. Saling menjaga, saling mengasihi.
Jangan khawatir cenderung lambatnya pace drama bakal melelahkan, lantaran Mangold paham betul kapan mesti berjalan pelan, kapan waktunya menginjak gas sekuatnya, menggelontorkan agresi brutal dipadu koreografi dinamis. Sewaktu Logan mengayunkan cakar adamantium begitu liar, Laura bergerak lincah memotong musuh tanpa ampun. Melihat gadis cilik badass dengan entengnya memutilasi pria-pria berilmu balig cukup akal dan menenteng kepala kolam bola basket sudah cukup memancing sorak sorai penonton. Belum lagi saat belum dewasa hasil eksperimen X-23 lain memamerkan kekuatan mereka. Hebatnya, Mangold masih sempat menyelipkan segelintir momen komedik sederhana namun efektif memancing tawa (Laura menunggangi kuda mainan jadi favorit saya), sesekali menyegarkan suasana sesudah disuguhi kesadisan.
Dafnee Keen tepat sebagai Laura, bersenjatakan verbal datar berhiaskan mata tajam yang seolah sanggup membunuh lewat tatapan. Patrick Stewart memerankan Xavier versi renta renta ibarat grumpy old man yang kerap merepotkan tetapi gampang dicintai dalam banyak sekali road movie. Hugh Jackman masih kokoh memainkan sosok anti-hero buas, bedanya sekarang beliau juga laki-laki paruh baya yang digeregoti rasa sakit baik secara fisik maupun mental. Sorot matanya memancarkan kepedihan mendalam, dan beberapa kesempatan menuturkan kalimat bernada dramatik pun dilakoninya penuh penghayatan. Jika Oscar tahun depan berniat melirik film superhero, performa Hugh Jackman layak diganjar nominasi.
Bukan saja lokasi di gurun gersang serta sejumlah easter eggs pula pernak-pernik (kuda, baju koboi, cuplikan film "Shane"), jalinan dongeng filmnya sendiri kental bernuansa western. Seorang laki-laki renta mantan jagoan legendaris, berusaha hidup hening di tengah keterasingan sebelum dipaksa (susah payah) melaksanakan misi demi orang lain. "Logan" bagai "Unforgiven" (1992) milik Clint Eastwood yang mengganti senapan dengan cakar adamantium. Akhirnya di simpulan masanya sebagai Wolverine, Hugh Jackman memperoleh film yang pantas. Karakternya pun demikian berkat konklusi tepat berupa pertolongan tongkat estafet kepada generasi berikutnya (komiknya telah melaksanakan hal ini).
Ini Lho Logan (2017)
4/
5
Oleh
news flash