Tuesday, December 4, 2018

Ini Lho Silence (2016)

Layar hitam, gelap, ditemani bunyi jangkrik yang menyuarakan keheningan. Sejurus kemudian, dibalik selimut kabut pekat terlihat kepala para Pendeta disusun berjajar. Mereka dipenggal sesudah mendapatkan siksaan brutal oleh para "inquisitor" jawaban membuatkan Kristen di Jepang. Salah satu di antaranya ialah Father Ferreira (Liam Neeson) yang dalam suratnya menyatakan siap mendapatkan posisi sebagai martir, takkan murtad demi menghindari penyiksaan. Demikian cara Martin Scorsese membuka "Silence", passion project-nya sedari 1990 selaku penyesuaian novel berjudul sama karya Shūsaku Endō. Sunyi, mencekam, mencengkeram perasaan.

Di Macau, Father Rodrigues (Andrew Garfield) dan Father Garupe (Adam Driver), dua murid Ferreira membaca surat sang guru, terkejut kala mendengar Ferreira telah murtad untuk menyelamatkan nyawanya sendiri. Menyatakan tidak percaya, Rodrigues dan Garupe tetapkan pergi ke Jepang meski harus menantang bahaya. Dibantu seorang nelayan berjulukan Kichijiro (Yōsuke Kubozuka), keduanya berlayar ke Jepang, kemudian berdakwah secara belakang layar di aneka macam perkampungan miskin. Selain mencari keberadaan Ferreira, mereka pun mesti bersembunyi dari kejaran inquisitor, pula menghadapi bermacam kejadian penguji keimanan yang juga kerap menantang pemikiran penonton.
Daripada mempertanyakan apalagi menghujat konsep agama, naskah garapan Scorsese bersama Jay Cocks lebih ibarat proses memaknai, mengulik arti keyakinan di tataran substansi. Sepanjang film, diperantarai perjalanan Rodrigues dan Garupe, penonton dihadapkan pada serangkaian kondisi dilematis. Para penganut Kristen di Jepang diberi dua pilihan: menginjak gambar Yesus (simbol kemurtadan) atau menolaknya, mengaku menganut aliran Katolik. Pilihan kedua bakal berujung siksaan hingga mati. Sedangkan para Pendeta termasuk Rodrigues pun dipaksa melaksanakan hal serupa di mana penolakan berarti makin banyak nyawa rakyat terancam. Rodrigues (dan kita) tak kuasa bertanya, "sepadankah keputusannya mempertahankan keyakinan dengan penderitaan semua orang?". 

"Silence" mencuatkan pertanyaan universal soal simbol, bergerak menuju pemahaman  yang berpotensi memancing kontroversi di beberapa kalangan  betapa keyakinan lebih dari sekedar simbol, tak perlu dipamerkan, tak usah diteriakkan. Bahwa keyakinan sejatinya merupakan obrolan personal antara insan dengan Tuhan. Sehingga, ketika para tokoh film ini menginjak gambar Yesus, meludahi salib, enggan mengenakan penanda suatu agama, timbul perenungan, "apakah mereka tak lagi beriman?". Scorsese tidak memperlihatkan jawaban mudah, menempatkan penonton di posisi karakternya. Ambiguitas tutur membuat filmnya tak menggurui, mampu memprovokasi, membuat dialektika bukan hanya antara film dan penonton, pula penonton dengan diri sendiri alias sisi terdalam insan yang dipenuhi keraguan.
"Silence" juga merupakan studi karakter. Dilema Rodrigues ditelusuri secara mendalam, memberi pemahaman akan segala hal yang berkecamuk dalam pikirannya, menyebabkan tiap keputusan beralasan. Keteguhan Rodrigues menjalani aneka macam siksaan fisik sekaligus mental awalnya mengagumkan, hingga seiring waktu, kita mendapati sang Pendeta bukan insan sempurna. Dia meragu, rapuh, dan walau terus bertahan, motivasinya mulai sanggup dipertanyakan. Benarkah ia berkorban demi Kristus? Ataukah Rodrigues mencari pembenaran, menyamakan penderitaannya dengan pengorbanan Yesus kala disalib dulu? Durasi hampir tiga jam memfasilitasi proses yang ia alami diungkap menyeluruh. Di satu titik saya menengok ke belakang menuju awal sebelum semua terjadi, kemudian berujar "he's been through a lot".

Mencerminkan judulnya, Scorsese banyak menggunakan kesunyian, bertutur melalui gambar ketimbang verbal. Nuansa damai plus tempo lambat bukan tindakan pretensius layaknya sutradara yang terobsesi akan arthouse, namun substansial mendukung observasi penonton atas situasi, pula ikut mencicipi kondisi mencekam yang dialami tokoh-tokohnya. Dialog muncul secukupnya, sedikit tapi efektif berpesan. Salah satu penggunaan obrolan terbaik nampak ketika Rodrigues dan Inoue (Issey Ogata) membicarakan penyebaran Kristen di Jepang. Scorsese mengemas perbincangan ini selaku ukiran dua kepercayaan yang saling mengungkapkan kebenaran versi masing-masing. Sementara penonton ada di tengah, mengamati sambil terombang-ambing di antara dua perspektif yang sama-sama tak bisa disalahkan atau dibenarkan. 
Sinematografi Rodrigo Prieto ("Argo", "The Wolf of Wall Street", "Brokeback Mountain") tak hanya mementingkan keindahan, namun sanggup membuat saya terpaku, terperangah oleh kekuatan gambarnya. Baik sudut kamera maupun komposisi dalam frame amat diperhatikan, menghasilkan dampak rasa luar biasa. Film ini mengetengahkan pengalaman horor karakter, jadi masuk akal ketika visualnya kerap diisi pemandangan mengerikan. Kengerian itu tidak bersifat eksploitatif, tapi perlu, bahkan menguatkan tuturan kisahnya. Every moment looks powerful. Sementara musik atmosferik gubahan Kim Allen Kluge dan Kathryn Kluge sekilas tak menonjol, tapi tanpa sadar membangun suasana, merambati badan kita lewat ambience penyusun mood

Andrew Garfield melanjutkan transformasi dari cowok tampan idola arif balig cukup akal menjadi pemain drama pengambil resiko yang piawai memancarkan keraguan dan karam dalam kesengsaraan. Sedangkan Liam Neeson hanya dari beberapa menit adegan pembuka bisa menggambarkan betapa fisik dan mental Ferreira sangat menderita. Yōsuke Kubozuka memerankan Kichijiro, sosok pendukung yang mewakili dua hal tergantung pemahaman penonton. Pertama, bahwa insan tak pernah lepas dari kesalahan. Kedua, sindiran pada orang-orang yang selalu merasa bersalah, meminta ampun atas dosa tapi terus mengulanginya. Kalimat pembuka akreditasi dosa ("Forgive me Father for I have sinned") pun begitu menempel di benak, memunculkan tanya perihal kesungguhan kita memohon ampun pada Tuhan. Tatkala "Silence" ditutup oleh kegelapan dan keheningan serupa opening-nya, saya pun hanya bisa diam membisu. 

Artikel Terkait

Ini Lho Silence (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email