Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Loving (2016)

Malam telah larut di Caroline County, Virginia, ketika Mildred (Ruth Negga), seorang gadis kulit hitam, memberi tahu kekasihnya yang seorang kulit putih, Richard Loving (Joel Edgerton), bahwa ia tengah hamil. Mildred tampak galau mewartakan kabar senang tersebut. Wajar saja, lantaran ketika itu, tepatnya tahun 1958, terdapat aturan di Virginia yang melarang janji nikah antar-ras. Namun tak dinyana, Richard justru tersenyum, senang mendengarnya. Di tengah kesunyian malam, pasangan ini mengembangkan momen intim, kolam menyuarakan tanpa perlu meneriakkan bahwa tiada kesalahan dalam kondisi tersebut, hanya dua sejoli insan tengah saling mencintai. 

Serupa pendekatan di karya-karya sebelumnya, sutradara Jeff Nichols ("Take Shelter", "Mud", "Midnight Special") menentukan flow penceritaan lambat, tanpa berusaha menghujam penonton dengan kesan grandiosity pada pengadeganan. Bahkan walau "Loving" yang mengambil ide dari dokumenter "The Loving Sotry" buatan Nancy Buirski ini punya kisah bersejarah penting, Nichols tetap mementingkan keintiman, fokus menjalin kuatnya cinta dua tokoh utama. This movie never trying too hard to be important. It's never about statement. It's all about Loving couple who deeply love each other and that's more than enough, important enough
Richard membawa Mildred ke Washington DC biar bisa melangsungkan janji nikah sebelum kembali ke Virginia, menjalani hidup sebagai suami-istri secara sembunyi-sembunyi. Namun pihak kepolisian jadinya mengetahuinya, kemudian mengurung mereka di sel. Richard dan Mildred terancam eksekusi setahun penjara. Agar sanggup menghindar, keduanya harus menentukan untuk bercerai atau meninggalkan Virginia selama 25 tahun. Opsi kedua pun dipilih. Tapi perasaan terkekang, dijauhkan dari rumah serta keluarga hanya lantaran saling mencinta menghalangi hadirnya kebahagiaan utuh, khususnya bagi Mildred. Sampai kasus itu menarik perhatian ACLU (American Civil Liberties Union) yang hendak membantu membawa kasus tersebut ke Mahkamah Agung. 

Banyak potensi dramatisasi di tengah setumpuk insiden monumental, tapi Nichols kukuh mengetengahkan intimacy, mengandalkan kelembutan bertutur. Keresahan protagonis dipancarkan bukan lewat tangisan, cukup melalui kesunyian menusuk ketika mereka tampak hambar menyaksikan peluncuran Apollo 11 di televisi. Richard dan Mildred tak kuasa ikut merayakan insiden besar umat insan lantaran hak mereka sebagai insan tengah dihancurkan. Tidak sekalipun keduanya dikuasai amarah, berapi-api melawan penindasan. Mereka lebih banyak diam, memancarkan ketidakberdayaan. Bukan status jagoan sebagai tonggak perubahan yang dicari, melainkan kebebasan mengekspresikan rasa cinta. 
"Loving" bisa saja digerakkan ke arah drama yang ramai gejolak khususnya menyangkut respon negatif masyarakat sekitar atas janji nikah antar-ras dan konflik ruang sidang. Namun baik di penulisan naskah atau penyutradaraan, Nichols menentukan bentuk penuturan subtil. Kita tak pernah tahu siapa pelaku di balik pelaporan janji nikah Richard dan Mildred ke polisi. Nichols benar-benar menghindari ekspresi kemarahan, menyerupai yang juga terlihat kala ibunda Richard, Lola (Sharon Blackwood) belakang layar mengungkapkan keberatan atas janji nikah sang putera. Dia menentukan momen personal, bicara empat mata mencurahkan perasaan tanpa berusaha memaksa, kemudian tetap bersedia membantu persalinan Mildred. 

Pada bab persidangan, terlihat dua pengacara, Bernie Cohen (Nick Kroll) dan Phil Hirschkop (Jon Bass) berambisi mencetak sejarah ketimbang seutuhnya nrimo menolong. Nichols menyampaikannya secara tersirat lewat dialog singkat, respon ekspresi, hingga bagaimana keduanya mementingkan publisitas dengan mengundang wartawan dan Grey Villet (Michael Shannon), fotografer majalah LIFE. Persidangan di Mahkamah Agung selaku titik puncak pun tak ditampilkan utuh. Nichols menentukan fokus pada keseharian keluarga Loving yang dipenuhi senyum kebahagiaan sambil dengan cermat sesekali memindahkan setting ke persidangan yang hanya menampilkan Bernie dan Phil membacakan pembelaan, makin menegaskan betapa film ini lebih berkonsentrasi pada cinta.
Berbekal tatapan mata kaya rasa dan gestur kecil sebagai penguat, Ruth Negga meresapi emosi Mildred Loving, menenggelamkan penonton dalam perasaan sama. Sebuah bentuk kesubtilan akting yang cenderung sunyi di permukaan tapi menyimpan ledakan di dalam, berujung kesuksesan menghidupkan seorang perempuan besar lengan berkuasa penuh ketabahan. Sementara itu, Edgerton sebagai Richard Loving lebih rapuh, cemas dan paranoid. Serupa Negga, Edgerton mengandalkan mata ketimbang kata. Richard tak pernah nyaman dengan proses persidangan atau publisitas, dan penampilan Edgerton sanggup menegaskan perilaku itu selaku bentuk keengganan menempatkan perempuan tercinta di posisi berbahaya. Tanpa banyak bicara, Edgerton dan Negga bisa menjalin chemistry, saling bertukar rasa melalui intensitas tatapan. 

Saya tak pernah menjadi penggemar gaya Jeff Nichols, namun "Loving" terang tepat mewadahi sensitivitasnya. Nichols mengandalkan kesederhanaan, meniadakan kemubaziran yang biasa terjadi kala ungkapan verbal mendominasi. Contohnya tatkala Richard mabuk di malam hari kemudian menangis di samping istrinya. Tidak banyak kata terucap, hanya "Aku bisa melindungimu". Sederhana namun efektif menjelaskan perasaan abjad pula memancing emosi penonton. Ditemani musik mendayu buatan David Wingo yang tak pernah berlebihan mencuri fokus serta sinematografi berisi warna-warna lembut milik Adam Stone, tercipta "Loving", perayaan terhadap kesakralan cinta yang universal dan disajikan tulus, halus tanpa amarah maupun bumbu-bumbu pernyataan tak perlu. 

Artikel Terkait

Ini Lho Loving (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email