Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Moonlight (2016)

Selain hiburan, film sanggup berkhasiat sebagai media penyampai statement, mengangkat dan mengkritisi warta sosial-politik, propaganda, bahkan bentuk perlawanan. Meski takkan seketika mengubah dunia, film bisa membangkitkan kesadaran, menggerakkan massa yang nantinya melaksanakan perubahan. Namun kapasitas tersebut tak hanya menerangkan kekuatan film, bisa juga menutupinya, terlebih ketika suatu karya diunggulkan lebih alasannya ialah mengusung konten yang sanggup dipakai bagi perlawanan ketimbang sepenuhnya berpijak pada kualitas. "Moonlight" karya Barry Jenkins selaku pembiasaan stageplay "In Moonlight Black Boys Look Blue" milik Tarell Alvin McCraney adalah "korban" dari kondisi di atas. 

Jenkins yang turut menulis naskahnya membagi "Moonlight" menjadi tiga babak mewakili fase hidup tokoh utama, masing-masing diberi judul sesuai nama dan panggilannya (Little, Chiron, Black). Babak pertama menuturkan bagaimana Chiron kecil (Alex Hibbert) yang pemalu menghadapi tindakan abusive sang ibu, Paula (Naomie Harris). Chiron justru menjalin kedekatan dengan bandar narkoba berjulukan Juan (Mahershala Ali) beserta kekasihnya, Teresa (Janelle Monae), bersedia sesekali membuatkan isi hati. Dia pun berteman baik dengan Kevin (Jaden Piner) yang selalu mendukung Chiron ketika teman-teman sebaya lain mem-bully dirinya. Dalam fase kedua Chiron (Ashton Sanders) telah remaja, tetaplah korban bully, dan menemukan jati diri sebagai gay, mendapat pengalaman seksual pertama kali lewat handjob di pantai. 
"Moonlight" menuturkan kisah yang jarang menerima sorotan dan layak diungkap, itu pasti. Secara sosial, menjadi gay tidaklah mudah, apalagi kalau terjadi di kalangan kulit gelap di mana lingkungan begitu mementingkan machoisme seorang pria. Namun hilangkan unsur itu, maka film ini sekedar pengulangan keklisean queer movie yang sarat pertanyaan "who is you?" dan ketertutupan kemudian mengawinkannya dengan paparan klise usaha kaum kulit gelap yang identik akan kemiskinan serta kehidupan keras di jalan. Tentu ketiadaan penemuan bukan soal andai diikuti penulisan solid, karakterisasi menarik, pula pengadeganan berpengaruh sang sutradara, masalahnya "Moonlight" pun urung menyimpan kelebihan semacam itu. 

Jenkins pintar beranalogi dalam naskahnya, baik memanfaatkan baris demi baris kalimat untuk menyiratkan pesan pencarian jati diri, menimbulkan obrolan bermakna, tak hanya sambil lalu, sampai beberapa adegan selaku metafora (Chiron "memilih identitas" di kepalan tangan Juan, proses Juan mengajari sang bocah berenang yang mirip pembaptisan). Namun kejelian itu tidak diikuti kekuatan mengolah karakter. Chiron ialah sosok terpinggirkan, minoritas, dan itu mendorongnya membangun self-defense berupa eksklusif tertutup. Tapi itu sebatas karakterisasi textbook belaka, selebihnya banyaknya Chiron berdiam diri justru menyulitkan Jenkins membangun warna baginya, berakhir datar, tidak menarik. Juan pun serupa. Dia ialah kriminal berhati emas. Tapi kenapa? Apa yang mendorongnya sedemikian peduli pada si bocah asing? Tidak ada alasan kecuali memberi Chiron father figure. 
Daya cengkeram suatu dongeng turut dipengaruhi oleh seberapa related dengan penonton, dan untuk paparan mengenai kaum minoritas perlu ditonjolkan sisi yang menghilangkan sekat perbedaan agar menampar mereka yang menutup mata bahwa sejatinya seluruh insan sama. Misalnya "Loving". Tidak semua orang mengalami komitmen nikah antar-ras tapi niscaya pernah jatuh cinta. Sementara "Hidden Figures" mengetengahkan usaha ketika seseorang dipandang remeh. Pertanyaannya, apa poin utama film ini? Chrion sangat menderita? Chiron terinspirasi jejak Juan sehingga walau dahulu membenci narkoba dan sang ibu yang addict ia menentukan jalan serupa kala dewasa? Pembahasan cinta pun kurang menyengat tatkala tanpa diawali bangunan kehangatan emosi, hubungan, atau indahnya cinta, penonton disuguhi adegan handjob "dingin" selaku titik balik sekaligus highlight moment.

Memasuki babak ketiga alias 45 menit terakhir, "Moonlight" bergerak menuju keintiman hangat ketika Chiron bakir balig cukup akal (Trevante Rhodes) bereuni dengan Kevin (Andre Holland). Diisi obrolan kasual pada pertemuan kembali yang mengembalikan memori juga bergulir secara canggung (in good and natural way) ini barulah timbul kesubtilan rasa memikat. Keberhasilan ini dipicu chemistry solid Rhodes dan Holland yang mulus bertukar kata, membuatkan rasa melalui tatapan mata. Faktanya ketiga pemain drama pemeran Chiron tampil bersinergi, menghadirkan kesan satu orang dengan kepribadian pula bahasa badan sama. Pilihan Jenkins memakai banyak close-up terbayar berkat Hibbert, Sanders, dan Rhodes, menciptakan sederet shot tersebut powerful.

Menemani ketiganya ialah konsistensi totalitas Naomie Harris mencurahkan segenap daya dan emosi menghidupkan kekacauan sesosok perempuan sekaligus ibu. Sementara Mahershala Ali walau jauh dari definisi buruk, menciptakan saya mempertanyakan kepantasannya sebagai frontrunner kategori pemain drama pendukung terbaik di Oscar mendatang. He's kinda charming, but that's it. Mahershala lancar menyunggingkan senyum, tapi tidak kala menghadapi situasi kompleks mirip respon sewaktu Chiron bertanya apakah ia menjual narkoba. Akting Mahershala Ali merangkum keseluruhan "Moonlight": decent and overrated

Artikel Terkait

Ini Lho Moonlight (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email