Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho The Promise (2017)

Salam hormat saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air. Sungguh mulia niat membuat film horor yang tak hanya mengumbar penampakan hantu berwajah ibarat bubur basi, kemudian menggali sisi psikologis huruf guna membangun teror. Judul-judul macam "The Babadook" dan "Under the Shadow" sudah mengajari kita akan hal itu. Memunculkan jump scare berisi hantu tak mengerikan setiap lima menit sekali memang membuat saya takut. Takut gagal menahan amarah kemudian melempar sepatuh ke layar bioskop. Syukur alhamdulillah sejauh ini saya bisa mengendalikan emosi. "The Promise" mengemban niat mulia serupa, memaparkan gangguan mental pemicu kengerian dalam film horor.

Sebelum membahas betapa berakal nan ilmiahnya naskah garapan Alim Sudio mengeksplorasi aspek psikis karakter, mari berkenalan dahulu dengan dua protagonis, Wanda (Dara The Virgin) dan Riri (Mita The Virgin). Akibat suatu kecelakaan yang turut menewaskan adiknya, kaki Wanda mengalami kelumpuhan, membuatnya harus menggunakan bangku roda. Entah apa kegiatan Wanda kala siang, pastinya di malam hari ia selalu mendengarkan program radio yang dibawakan Riri mengenai kisah-kisah misteri kiriman pendengar. Wanda sendiri kerap menulis dongeng misteri namun selalu ditolak oleh program tersebut dengan alasan kurang menarik. Wanda tinggal bersama seorang suster berjulukan Tesa (Tistha Nurma) sementara kedua orang tuanya bekerja di Belanda. 
Sedangkan Riri yang tinggal sempurna di sebelah rumah Wanda kerap berselisih dengan tantenya (Tina Astari Sunardi) akibat dihentikan berpacaran dengan Dimas (Ferly Putra). Menurut sang tante, Dimas ialah playboy. Riri dibutakan oleh cintanya, sampai-sampai saat ulang tahun menerima kado cincin (yang sejatinya ditujukan untuk selingkuhan Dimas), ia menganggapnya sebagai lamaran. Lalu di mana letak kengerian? Tenang, "The Promise" menyiapkan bukan hanya satu atau dua, namun setidaknya empat dream sequence berisi pengalaman Wanda diganggu oleh hantu. Sisanya tak pernah terperinci apakah mimpi atau kenyataan jawaban kacaunya flow. Bahkan sempat ada kelalaian mengganti filter warna selaku pemisah mimpi dengan realita. Tapi bukankah insan tak lepas dari khilaf dan lalai?

Para pembaca budiman, saya meminta maaf sebesar-besarnya. Review bakal mengandung SPOILER karena sulit memahas penelusuran sedemikian ilmiah mengenai kejiwaan milik "The Promise"  tanpa membahas beberapa detail. Mengapa ada banyak mimpi disebabkan imbas syok dan rasa bersalah Wanda atas kecelakaan yang merenggut nyawa adiknya. Pengalaman traumatik itu pula yang ditengarai memicu gangguan bipolar. Penyebab bipolar hingga sekarang masih jadi perdebatan, tapi traumatic loss dianggap memberi andil, jadi hingga di sini tiada problem soal pemaparannya dalam naskah. Kemudian lanjut menuju tanda-tanda yang menjelaskan alasan Wanda menerima diagnosis tersebut. 
Menurut "The Promise" yang dihantarkan melalui klarifikasi singkat seorang huruf psikolog, Wanda sejatinya ialah langsung lembut, tetapi kala perasaannya tengah memburuk ia berubah agreif. Sepanjang film pun kita melihatnya bersikap dan bertutur kata lembut, tidak sekalipun murka kecuali pada titik puncak sewaktu ia dengan gampang melaksanakan pembunuhan sambil melotot pula tersenyum, menuduh orang-orang mengkhianatinya. Wait...what?! Apa penulis naskah film ini tahu definisi serta tanda-tanda bipolar? Apakah ia telah keliru membedakan antara bipolar yang merupakan gangguan perasaan (mood) dengan gangguan waham macam skizofrenia dan lain-lain?

Jadi begini saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air. Bipolar merupakan gangguan perasaan yang juga dikenal sebagai manic-depressive disorder, karena si penderita kerap bergantian mengalami dua fase bertolak belakang yaitu manik (energi meningkat, aktif) dan depresif (sebaliknya, energi menurun, sedih berlebihan). Wanda tak pernah mengalami keduanya. BIPOLAR BUKAN SAJA PERUBAHAN SESEORANG DARI YANG AWALNYA KALEM MENJADI AGRESIF. Bukan pula timbulnya dorongan membunuh jawaban merasa dibenci orang-orang di sekitarnya atau berbuat sesuatu atas bisikan dan imbas makhluk halus. Itu namanya waham. Kesalahan tersebut tidak bisa dimaafkan, selain terlalu fundamental (riset malas dengan googling pun sudah memberi cukup pengertian) juga berpotensi menimbulkan kesalahan persepsi masyarakat awam terhadap psychological disorder. Berbahaya!
Cukup membahas ihwal bipolar atau review ini bertransofrmasi menjadi makalah ilmiah. Namun kesalahan di bidang psikologi bukan itu saja. Lihat bagaimana pilihan treatment sang psikolog bagi Wanda. Alih-alih perlahan menyadarkan kalau kelumpuhannya tidak sungguh terjadi, ia malah mengirim tangan kanan yang menyamar sebagai perawat untuk membantu Wanda berguru berjalan. Please dude, itu sama artinya memperkuat kepercayaan pasien bahwa ia mengalami kelumpuhan. Kenapa pula Tesa tidak diberitahu oleh orang renta Wanda ihwal kondisi puteri mereka? Bukankah itu menyulitkan perawatan?

Di luar aspek psikologi seenaknya, secara sinematik "The Promise" pun remuk. Penyutradaraan Bambang Drias kerap memancing tawa di situasi tidak tepat, sebut saja momen di kuburan yang semestinya emosional atau banyak sekali cara menakut-nakuti yang keterlaluan bodohnya. Lalai pula ia (dan naskahnya) memperhatikan detail, ibarat bagaimana bisa Tesa menggunakan cincin milik Riri dan jenazah yang sangat terperinci masih bernafas dengan cepat. Soal akting jajaran cast, Mita bicara, marah-marah dan berteriak ketakutan serupa kenek bus di terminal dan Tistha Nurma berulang kali melafalkan obrolan teramat datar hingga sulit rasanya menahan tawa. Dara awalnya memberi performa yang bisa diterima, tidak Istimewa tapi urung terasa menggelikan. Sampai momen titik puncak saat harus mencurahkan "kegilaan", ia jatuh dalam akting klise berupa mata melotot serta tawa mendadak. Semakin sukses "The Promise" memposisikan diri selaku horor pemancing tawa.


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics

Artikel Terkait

Ini Lho The Promise (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email