Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Raees (2017)

Di atas kertas, "Raees" karya Rahul Dholakia berpotensi jadi hiburan sempurna, sebuah sajian blockbuster Bollywood berisi adegan aksi, kisah polisi melawan kriminal, romansa, nomor musikal, serta dibintangi Shah Rukh Khan (SRK) yang piawai melakoni banyak sekali aspek di atas. Ibarat masakan, "Raees" punya saluran terhadap seluruh materi baku terbaik, tinggal diracik menjadi hidangan lezat. Masalahnya, para penulis naskahnya (Rahul Dholakia, Harit Mehta, Ashish Vashi, dan Niraj Shukla) terlampau berambisi. Alih-alih memilah, mereka tumpahkan semua bahan, memaksa menyatukannya, berujung terciptanya suguhan lengkap namun penuh sesak, berlebihan, kacau dan kurang lezat.

SRK berperan sebagai sang titular character yang tinggal di Gujarat dan semenjak kecil telah dekat dengan bisnis minuman keras. Menghabiskan masa kecil hingga cukup umur bekerja untuk Jairaj (Atul Kulkarni), Raees mengajak sahabatnya, Sadiq (Mohammed Zeeshan Ayyub) membangun bisnis minuman keras sendiri. Bermodalkan pesan sang ibu bahwa bisnis merupakan iman terpenting, perlahan Raees yang "licin kolam pedagang dan berani bagai pejuang" memantapkan posisi selaku pedagang minuman terbesar yang tak lupa membantu kehidupan rakyat jelata, membuatnya amat dicintai. Rintangan hadir kala polisi jujur berjulukan Majmudar (Nawazuddin Siddiqui) gencar memberantas bisnis miras tanpa pandang bulu. 

Berlangsung selama 142 menit, film ini bagaikan recap tiap episode suatu serial selama satu ekspresi dominan penuh. Hampir 15 menit sekali kita diperkenalkan pada konflik baru. Berawal dari perjuangan Raees memulai bisnis, kisahnya bergerak menuju kejar-kejaran dengan Majmudar, keterlibatan para pejabat korup, terjunnya Raees ke ranah politik hingga gosip soal agresi pengeboman ekstrimis agama. Ketiadaan set-up memadahi berujung lompatan-lompatan mendadak yang membingungkan. Penonton hanya dibekali sederet obrolan pendek guna menjabarkan, dan ketika perjuangan meresapi fatwa dongeng tengah terjadi, filmnya sudah melompat ke titik berikutnya. 
Kembali ke analogi masakan, "Raees" memang kaya materi baku tapi tidak dengan cita rasa. Masing-masing materi rasanya hambar. Percintaan Raes dan Aasiya (Mahira Khan) berlalu tanpa nuansa manis di mana Aasiya hanyalah tokoh tempelan, bukan sosok perempuan kokoh penyokong Raees, peranan yang semestinya bisa ia emban. Sentuhan thriller politik pun lemah jawaban minimnya intrik solid yang disebabkan kurangnya porsi eksplorasi. Menyaksikan sepak terjang Raees serupa bermain video game aksi. Alur perjalanan tokoh utama dibagi ke dalam beberapa tahapan (level), yang setiap level ditutup oleh agresi baku hantam (boss battle). Keputusan "membagi" ketimbang memadatkan menjadi satu konflik besar serta konklusi inilah pemicu dongeng semakin berlarut-larut. 

Untungnya Rahul Dholakia sanggup mengkreasi adegan agresi brutal yang mewadahi sisi badass Raees. Dia sungguh seorang antihero, bukan sekedar malaikat "berkedok" kriminal. Raees memperhatikan kesejahteraan masyarakat khususnya rakyat kecil, tapi berbeda dengan Robin Hood misalnya, ia menjual barang ilegal, merayakan tindak korupsi, memanfaatkan panggung politik demi lepas dari kejaran Majmudar. Raees juga tak segan membantai pengkhianat, bahkan penjual daging kambing di pasar tidak lupa dihajar habis-habisan lantaran memanggilnya "four eyes", sebutan yang merujuk pada kacamata yang Raees pakai sekaligus amat dibencinya. Keberhasilan aspek laga ini menutupi lemahnya adegan musikal. Walau mengandung banyak sekali set menarik, namun lagu-lagunya kurang catchy, begitu pula pengemasan minim energi dari sang sutradara. 
Terlepas kualitas filmnya, performa SRK jarang mengecewakan, tak terkecuali di sini. Wibawa terpancar nyata, dan ia bisa menciptakan Raees tampak sebagai penjahat sejati, bukan sekedar bintang film tampan yang dipaksa memerankan tokoh bengis bermodalkan jenggot tebal semata. Mencapai usia 51 tahun, SRK nyatanya masih fit, kokoh, solid melakoni porsi laga. Di sisi lain Nawazuddin Siddiqui yaitu lawan sepadan, memunculkan ketenangan intimidatif Majmudar yang memegang teguh prinsip dan beraksi mengandalkan akal. Andai fokus soal langgar kecerdikan plus ideologi sembari menggali relasi love/hate keduanya pasti intensitas sanggup lebih maksimal. Terbukti, momen terbaik hadir saat Raees dan Majmudar memutar otak, memikirkan cara semoga saling mengungguli. 

"Raees" merupakan glorifikasi pelaku kriminal yang mana tak keliru dilakukan. Intisari di balik dongeng pun sejatinya tidak perlu dipergunjingkan andai filmnya total memposisikan diri selaku popcorn movie dengan intensi hiburan belaka. Namun memeriksa beberapa karakterisasi, kentara adanya perjuangan mengkritisi pemegang otoritas, menempatkan mereka sebagai sosok "hitam" sementara Raees si penjahat justru memperhatikan rakyat. Paparan itu cukup berpengaruh hingga mencapai konklusi sewaktu (SPOILER) Majmudar bertindak melanggar sistem, menyiratkan ambiguitas apakah demi menegakkan kebenaran atau kepentingan personal. Saat representasi "hamba hukum" turut berbelok arah, bukan tercipta kompleksitas moral melainkan kesan pointless terhadap poin yang sedari awal coba disampaikan. 

Artikel Terkait

Ini Lho Raees (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email