Thursday, December 6, 2018

Ini Lho Mustang (2015)

Kekolotan contoh pikir masyarakat konservatif selalu jadi target empuk bagi para sineas (arthouse) untuk dikritik, terlebih jikalau filmnya sengaja dibentuk bagi pangsa pasar western, yang notabene kental menjunjung tinggi prinsip kebebasan. Di antara aneka macam bentuk kekangan sosial tersebut, penggambaran perempuan sebagai korban termasuk paling sering diusung. Dalam Mustang, kita dipertemukan dengan lima saudari, Lale (Güneş Şensoy), Nur (Doğa Doğuşlu), Ece (Elit İşcan), Selma (Tuğba Sunguroğlu) dan Sonay (İlayda Akdoğan). Mereka tinggal bersama sang nenek (Nihal Koldaş) dan pamannya, Erol (Ayberk Pekcan) di lingkungan masyarakat penganut Islam "taat" di mana aktivitas kelima gadis itu bermain di pantai bersama anak pria dianggap perbuatan mesum nan memalukan.

Sang nenek pun menghukum mereka jawaban "duduk di atas bahu pria tidaklah sopan", yang kemudian direspon oleh Lale si bungsu dengan merusak kursi, alasannya ialah menurutnya, "duduk di atas kursi" tidaklah punya perbedaan. Pertengkaran itu saja telah memberi citra tatkala tindakan terbelakang tanpa alasan besar lengan berkuasa bertabrakan dengan kepolosan pikir anak. Tapi sutradara sekaligus co-writer Deniz Gamze Ergüven tak berusaha mengantagonisasi sang nenek. Because in this movie, women are all the same. They're the victim. Walau sempat memukul cucu-cucunya, sang nenek meminta pada Erol untuk tidak memarahi mereka, memakluminya sebagai tindakan anak kecil. Seiring durasi, kita berguru akan "kepolosan" nenek yang berpikir ia menyelamatkan cucu-cucunya dengan menikahkan mereka secepat mungkin. 
Mustang memposisikan setiap momen ijab kabul bagai hitung mundur. Narasinya dipaparkan lewat sudut pandang Lale, dan ketika satu per satu kakaknya pergi meninggalkan rumah untuk menikah, bayangan kesendirian dalam penjara semakin nyata. Teknik bercerita itu efektif memunculkan rasa terkungkung pula kecemasan bagi penonton, meski di sisi lain kesan repetitif gagal dihindari ketika berulang kali kita dipertontonkan situasi sama (jamuan lamaran, pernikahan). Namun repetisi diminimalisir oleh selingan kejadian-kejadian signifikan yang entah terasa mencengangkan, mengaduk-aduk emosi, hingga memprovokasi anutan kita. 
Deniz Gamze Ergüven clearly wanted to make a thought-provoking movie with "Mustang". Luapan-luapan kecemasan begitu pula penghantaran kritik terhadap imprisonment memang klise sekaligus one-sided  laki-laki digambarkan otoriter, abusive, tak berperasaan  tapi menyidik tujuannya memantik keresahan bahkan kebencian penononton atas sistem patriarki dan kolotnya contoh pikir konservatif, maka Mustang telah sangat berhasil. Praktis bagi kita bersimpati pada kelima bersaudari protagonis filmnya kala mereka dikurung dalam rumah, hanya menghabiskan waktu berguru kemampuan rumah tangga  they called their house as a "wife factory". Akhirnya hidup kelimanya berujung "artificial", terasing dari dunia nyata. Pemandangan seperti "berenang" di atas daerah tidur jawaban tidak lagi bisa mendatangi pantai pun memunculkan senyum getir di bibir saya.

"Mustang" is not an extraordinary picture by any means. Caranya berpesan melalui penuturan konflik tampak serupa dengan banyak film lain yang mengambil tema serupa. Aspek storytelling juga memiliki kekurangan ketika seringkali voice over Lale terdengar mendeskripsikan situasi yang sejatinya telah terpampang terang melalui visual adegan. Mengganggu, alasannya ialah di waktu bersamaan, Deniz Gamze Ergüven berusaha bernarasi secara subtil. Tapi ibarat telah aku ungkapkan sebelumnya, Mustang punya magnet besar lengan berkuasa penarik keresahan dari batin penonton, serupa dengan yang disimpan oleh sang filmmaker. In the end, we can only hope that we'll never live in this kind of society, where virginity alone can make or break one marriage

Artikel Terkait

Ini Lho Mustang (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email