Thursday, December 6, 2018

Ini Lho Ring Versus Ju-On

Menyambut Sadako vs. Kayako yang (kemungkinan) bakal rilis di Indonesia bulan Agustus nanti, saya mencoba menonton seluruh installment dari franchise Ring dan Ju-On tanpa menyertakan remake buatan Hollywood. Memulai perjalanannya sejak 1998, total ada enam film Ring (di luar Ring: Kanzenban selaku film televisi keluaran 1995), sedangkan Ju-On yang mengawali terornya pada tahun 2000 mempunyai delapan film. Both are such a great example of what J-Horror did best. Maka, sebelum Sadako dan Kayako bertempur bulan depan, mari tengok, secara kualitas, franchise mana yang lebih unggul. 
Saya akan memulai dari Ring.

RING (1998)
Tidak perlu klarifikasi panjang, film garapan Hideo Nakata ini ialah J-Horror terbaik sepanjang masa. Atmosfer terbangun kuat, paparan misteri menarik, plus kemunculan Sadako yang walau sekilas, sempat menghilangkan keberanian saya meneruskan filmnya. Scary as hell! (4.5/5)
RASEN (1998)
Rasen dirilis secara bersamaan dengan Ring dan kesudahannya flop hingga kerap disebut sebagai "forgotten sequel". Pendekatannya jauh berbeda, berfokus pada creepy imageries yang kadang terasa sureal. It's not a good sequel to "Ring", but as a standalone, "Rasen" is a good one. Dreamy, disturbing, sensual. Hanya di sini Sadako digambarkan sebagai horny bitch. (4/5)
RING 2 (1999)
Dibuat guna "menyingkirkan" Rasen selaku sekuel, Ring 2 lebih setia dengan pendahulunya. Punya jalinan dongeng berbalut misteri engaging, perjuangan klimaksnya mengaitkan kekuatan Sadako dan sentuhan sains yang konyol serta penampakan tak seberapa angker menjadikannya inferior dibanding Ring. (3/5)
RING 0: BIRTHDAY (2000)

Menjelaskan asal muasal Sadako menghilangkan sisi misterius serta kengerian sosoknya, terlebih kala film ini didominasi melodrama (literally) belakang panggung daripada dreadful feeling. Not a bad melodrama, but definitely a disappointing entry for this franchise. While "Rasen" gaves us a horny bitch Sadako, this movie has the cutest version of her.  (2.5/5)
SADAKO 3D (2012)
"Ringused to be a social criticism about society and technology, and what an irony when technology itself ruined the franchise. Tsutomu Hanabusa mengeksploitasi imbas pop up 3D, mengakibatkan Sadako nampak menggelikan layaknya parodi-parodi mengenai sosoknya yang banyak bertebaran. Also, what the fuck is that spider-like version of "Sadako"(1/5)
SADAKO 3D 2 (2013)
Still glossy but far from being eerie, this one is a slight improvement. Visualnya memikat mata, dan momen lucu yang unintentional jauh berkurang. Tapi jejak kengerian masih tak bisa diketemukan. (1.5/5)

Mari berpindah menuju Ju-On. 

JU-ON: THE CURSE (2000)
Tanpa alur berpengaruh dan lebih berbentuk vignette ketimbang pemaparan narasi, saya dibentuk jatuh cinta oleh nuansa low budget-nya. Suasana lebih mencekam nan realistis, kolam melihat penampakan hantu dalam family home video. (4/5)
JU-ON: THE CURSE 2 (2000)
Beberapa aspek film pendahulunya seperti slow building tension, teknis minimalis, sampai  deretan gambar mengerikan masih dipertahankan. Satu-satunya poin minus ialah fakta bahwa 30 menit pertama film ini ialah pengulangan dari ending film pertama. (3.5/5)
JU-ON: THE GRUDGE (2002)
Biaya lebih besar memberi Takashi Shimizu kesempatan menjauhkan kesan "amatiran" dari filmnya. Sayang, hal itu justru sedikit melucuti kekuatan atmosfer. Banyak memunculkan Kayako sebagai bayangan hitam pun menjadi poin negatif. (2.5/5)
JU-ON: THE GRUDGE 2 (2003)
Shimizu menyuntikkan modifikasi konsep dasar tanpa harus merusak. Beberapa segmen mencuatkan daya tarik lewat pembauran aspek ruang dan waktu. This one has enough mystery and scary imagery. (3.5/5)
JU-ON: WHITE GHOST (2009)
White Ghost mengembalikan nuansa low budget, which is a good thing. Beberapa segmen awal cukup mengerikan, bahkan terdapat salah satu jump scare terbaik dalam sejarah Ju-On. Sayang, makin mendekati akhir, "hantu nenek putih pembawa bola basket" makin menggelikan. It has enough gore and subtle yet interesting story about sexual abuse. (3/5)
JU-ON: BLACK GHOST (2009)
Berkebalikan dengan White Ghost, Black Ghost punya awal menggelikan sebelum ditutup oleh segmen-segmen mengerikan, shocking, dan tragis. Yuri Nakamura turut mencuri perhatian sebagai cenayang. Sayangnya itu agak terlambat pasca 40 menit membosankan. (2.5/5)
JU-ON: THE BEGINNING OF THE END (2014)
Reboot ini berusaha jalinan alur yang lebih terikat, menyatu satu sama lain. Bukan hal bijak, alasannya ialah anachronistic order-nya terasa pointless. Keberadaan progresi alur tiga babak menunjukan itu. The killing moments are pretty good. (2/5)
JU-ON: THE FINAL CURSE (2015)
Titik nadir bagi Ju-On. Terlalu berusaha keras memunculkan dongeng utuh, anachronistic order yang makin tak berguna, eksploitasi terhadap Toshio pun membuatnya makin tak menyeramkan. There are too many unintentionally funny moments. What a disappointing final. (1.5/5)

Conclusion:
Kedua seri sama-sama mengalami penurunan kualitas plus kehilangan identitas, namun Ring jauh lebih parah. Konsep video kutukan dan nuansa film berubah ke sisi negatif. Sosok Sadako pun inkonsisten. Asing rasanya menyejajarkan Ring dengan Sadako 3D 2. Nasib Ju-On nyaris serupa, untung saja nyawa franchise masih bertahan. Toshio masih Toshio yang sama meski tak lagi mengerikan. Kayako beberapa kali menggelikan namun tetap bisa menebar teror. Seburuk apa pun salah satu entry milik Ju-On, setidaknya rasa miris melihat gadis-gadis tak bersalah tewas mengenaskan selalu mengiringi. Pemenang dari pertarungan ini ialah JU-ON. 
"Ring" average rating: 2.75
"Ju-On" average rating: 2.81

Artikel Terkait

Ini Lho Ring Versus Ju-On
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email