Ada beberapa miskonsepsi dalam Surga Menanti: kuantitas mengalirnya air mata aksara berbanding lurus dengan rasa haru penonton, memasukkan sebanyak mungkin kalimat bijak menciptakan film lebih religius, penggabungan acak tearjerker moment plus lontaran setumpuk kata mutiara layak disebut plot, kehadiran pemuka agama sebagai cast walau tak terang kiprahnya sanggup menguatkan kesan Islami, dan Pipik Dian Irawati a.k.a. Umi Pipik bisa menjadi ikon terbaru sinema religi tanah air. Tahukah para pembuat film ini bahwa banyak sekali perkiraan di atas kurang tepat? Tahukah mereka bahwa ceramah agama dan film meski bisa disatukan sejatinya dua hal berbeda?
Daffa (Syakir Daulay) yaitu seorang bocah yang menetap di pesantren guna mengejar impiannya menjadi hafidz (penghafal Al Qur'an). Termasuk salah satu siswa paling berprestasi, Daffa terpaksa harus berhenti dari pesantren demi merawat sang ibu, Humaira (Pipik Dian Irawati) saat ia menderita sakit parah dan diperkirakan usianya takkan usang lagi. That's what 'Surga Menanti' is all about in its 102 minutes of running time. Ada dua hal mendominasi film. Pertama yaitu kalimat berisi ceramah mengenai pentingnya menghafal Al Qur'an atau himbauan bersabar menghadapi cobaan. Semua tokoh kebagian porsi menuturkan ceramah tersebut, mulai para Ustadz hingga anak kecil ibarat Daffa. Alhasil naskah garapan Dyah Kalsitorini terasa bagai kompilasi quote khotbah solat Jumat.
Aspek mayoritas kedua berupa adegan Humaira pingsan diiringi tangisan karakter-karakternya. Disease porn jelas bentuk kemalasan, namun apabila penonton bisa terpikat oleh sang tokoh simpati sanggup dihadirkan. Surga Menanti lalai melaksanakan itu, lantaran selain menangis dan pingsan, simpel hal lain yang pernah Humaira lakukan hanya solat, menulis, mengaji, dan sekali menolong tetangganya melahirkan di adegan pembuka. Bahkan intensitas tangisan Dewi Sandra di sinetron Catatan Hati Seorang Istri tidaklah sesering itu. Produksi air mata tokoh-tokoh film ini seolah tak pernah habis, lantaran bukan menangis bukan kiprah Humaira saja, puteranya pun serupa. Di sebuah sequence, Daffa terus menangis tersedu-sedu sedari perlompaan Hafidz kecil, pengumuman pemenang, di tengah perjalanan, hingga datang di rumah sakit.
Hastobroto selaku sutradara kolam menggampangkan proses pembangunan emotional impact penonton filmnya. Menebarkan sebanyak mungkin petuah bijak tidak otomatis menciptakan penonton mendapatkan hidayah, perlu pola kasatmata berupa pemaparan sebab-akibat suatu tindakan semoga penonton terdorong mempercayai paparan pesannya. Begitu pula dengan tangisan. Memperlihatkan protagonis menangis sesering mungkin justru bakal terasa annoying ketimbang menyentuh hati penonton. Semakin memperburuk situasi tatkala mencapai babak konklusi, film ini meningkatkan kadar dramatisasinya melalui rentetan peristiwa mendadak nan dibuat-buat. It's not that simple to grab audience's emotion, you know. Untung (di luar dugaan) cara Surga Menanti berceramah walau sedikit menggurui tak hingga pada tingkatan pemaksaan berlebih berkat penuturannya yang masih terdengar lembut.
Performa jajaran cast sebenarnya tidak buruk. Agus Kuncoro mempertahankan charm-nya sebagai laki-laki soleh walau penampilannya makin repetitif mengingat aksara serupa telah ia lakoni berkali-kali. Aktor cilik Syakir Daulai juga telah berusaha maksimal untuk menghindari kesan kaku meski ia ikut jadi korban eksploitasi air mata film ini. Saya justru kasihan pada Umi Pipik yang terus dikuras tangisnya hingga entah berapa botol obat tetes air mata buatan dihabiskan dalam proses pengambilan gambar. At least she did a good job on passing out. She won't be the next religious movie icon with this kind of acting. Jangan lupakan glorified cameo Syekh Ali Jaber yang kemunculan awalnya (berbalut siluet) kolam sosok mythical dan menciptakan saya galau apa peranannya selain mereka ulang posisinya selaku juri kompetisi hafidz cilik. Sempat pula ia memberi Al Qur'an braille digital bagi ayah-anak tuna netra yang kisahnya akan jauh lebih heartwarming daripada penyakit Humaira jikalau dijadikan film.
Surga Menanti sesungguhnya digarap serius, tidak asal jadi meskipun kekurangan teknis semisal gambar pecah tetap sesekali bertebaran. Tapi ibarat banyak drama religi tanah air, film ini lupa bahwa ceramah agama dan film merupakan dua hal berbeda. Tidak duduk perkara menyelipkan pesan-pesan religi ke dalam film, namun apabila hanya memperhatikan itu dan melupakan tugas storytelling, suatu film tak ubahnya telah meremehkan bobot dari sebuah film. Pada risikonya silahkan saja kalau Surga Menanti memang sengaja dikemas hanya menjadi ceramah, tapi bukankah meminta orang-orang membayar puluhan ribu guna mendengarkan ceramah sama halnya dengan komersialisasi agama? Bukan tuduhan, sekedar pertanyaan orang awam.
Ticket Powered by: Bookmyshow ID
Ini Lho Nirwana Menanti (2016)
4/
5
Oleh
news flash