Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Nirwana Yang Tak Dirindukan 2 (2017)

Coba saksikan trailer "Rudy Habibie", "Surga yang Tak Dirindukan 2", dan "Kartini". Selain sama-sama hasil karya Hanung Bramantyo, ketiganya menyimpan persamaan lain, yakni drama yang berniat tampil megah, sampai-sampai musiknya sedemikian membahana, berdentum layaknya iringan bagi sajian epic atau thriller. Blockbuster dramatis nan megah memang jadi salah satu "wajah" Hanung berilmu balig cukup akal ini. Menggantikan Kuntz Agus di dingklik sutradara, gaya tersebut merupakan pembeda "Surga yang tak Dirindukan 2" dari pendahulunya. Semakin glamor berkat setting luar negeri (Budapest) yang tengah jadi tren perfilman Indonesia, serta kehadiran Reza Rahadian guna menambah nama besar dalam jajaran cast

Di beberapa review telah saya ungkapkan betapa Hanung amat memahami formula, tahu cara memikat pangsa pasar seluas mungkin. "Surga yang Tak Dirindukan" mengharu biru, tapi selain air mata, penonton juga menyukai tawa. Satu hal yang tidak dimiliki film pertama yaitu keceriaan, dan sedari menit-menit awal, sekuelnya ini telah menyelipkan humor berupa kekhawatiran Pras (Fedi Nuril) ketika sekali lagi menemui kecelakaan, takut bakal terbentur duduk kasus serupa dengan yang dialaminya dan Meirose (Raline Shah). Hadir pula tokoh Panji (Muhadkly Acho) selaku guide konyol hanya berfungsi memancing tawa. Bahkan Amran (Kemal Palevi) yang sebelumnya bersama Hartono (Tanta Ginting) mewakili dua sudut pandang soal poligami di sini sekedar menjadi comic relief.
"Surga yang Tak Dirindukan 2" berusaha tampil lebih ringan melalui komedi serta mengesampingkan pokok bahasan poligami, beralih fokus menuju disease porn. Alkisah, dalam perjalanannya ke Budapest untuk promosi buku, Arini (Laudya Cynthia Bella) mendadak jatuh pingsan, dan menurut hasil investigasi Dr. Syarief (Reza Rahadian), kanker rahim yang ia derita telah mencapai stadium 4 dan menjalar hingga otak. Menyadari hidupnya tak usang lagi, Arini berharap kalau Meirose  yang ternyata telah tiga tahun tinggal di Budapest  bersedia menggantikan posisinya sebagai istri sekaligus ibu bagi puteri Pras. Tanpa ia ketahui Meirose tengah menjalin asmara dengan Dr. Syarief. 

Meski contoh usang menggunakan kanker sebagai alat memanipulasi kesedihan penonton jadi andalan, namun keklisean masih lebih baik daripada penuturan khayalan "negeri dongeng" mengenai poligami layaknya film pertama. Biar begitu, eksploitasi ketegaran berlebih macam penolakan Arini menjalani pengobatan alasannya yaitu enggan melawan takdir Allah (seriously?) tetaplah mengganggu. Demikian pula beberapa konsep wacana ijab kabul dan tanggung jawab memenuhi amanah yang mengesankan perempuan tak lebih dari barang kepunyaan suami, dilucuti haknya untuk menentukan sesuai isi hati. 
Satu hal yang perlu diakui yakni production value-nya mumpuni, memfasilitasi perjuangan filmnya tersaji mewah. Penonton diajak berjalan-jalan mengitari Budapest, memposisikan filmnya di jalur serupa "99 Cahaya di Langit Eropa" maupun "Bulan Terbelah di Langit Amerika". Sebuah perjalanan mahal dibalut sinematografi apik Ipung Rachmat Syaiful scoring orkestra menggelegar Tya Subiakto plus beberapa soundtrack berirama pop catchy melankolis macam "Dalam Kenangan" milik Krisdayanti. Lucunya, meski sanggup mengambil gambar-gambar manis di Budapest, bandara Adisucipto justru direka ulang seadanya dengan penataan dingklik minimalis pula CGI kasar. Ironis pula tatkala detail kecil lalai diperhatikan, sebutlah CT Scan Arini yang kentara milik seorang bapak, atau saat WhatsApp Meirose hanya berisi satu pesan dari Syarief. Oh, mungkin saja ia rajin menghapus chat history. Entahlah.

Tidak peduli terasa cheesy, Hanung sejatinya andal mendramatisasi, tahu cara menempatkan momen emosional. Contohnya adegan menjelang tamat yang melibatkan Pras dan solat berjamaah. Jelas berlebihan, tapi powerful, efektif menumpahkan air mata secara umum dikuasai penonton. Masalahnya, naskah yang ia tulis bersama Alim Sudio dan Manoj Punjabi minim kreatifitas menjalin penceritaan menarik. Mereka sekedar bertutur tanpa dinamika, kedalaman, atau intrik memadahi. Terlalu banyak juga flashback untuk penggambaran memori, seolah film ini sulit bangun sendiri tanpa pendahulunya. Kelemahan ini berujung repetisi Hanung kala susah payah mengangkat tensi melalui slow motion diiringi musik bergemuruh di momen tak perlu sekalipun. 
Di antara kuartet pemeran utama, Reza Rahadian paling mencuri perhatian. Ketenangannya menangani bermacam situasi, charm-nya, kemampuannya berbicara menggunakan Bahasa Hungaria, menandakan sang pemain film sanggup sedikit mengangkat kualitas film menyerupai apa pun, setidaknya menyebabkan momen kemunculannya lezat dinikmati. Fedi Nuril masih laki-laki alim dambaan "wanita solehah" walau di tahap ini aktingnya makin mengalami stagnansi. Bella menyerupai biasa piawai melakoni momen emosional, menggaet atensi kala tokoh Arini dengan "impiannya" tak lagi simpatik. Raline Shah pun watchable meski transformasi Meirose tidak memaksanya mengeluarkan totalitas performa serupa film pertama. 

"Surga yang Tak Dirindukan 2" tolong-menolong sudah berprogresi ke arah sempurna dalam kiprahnya selaku tontonan pemuas pangsa pasar terbesar. Pengemasan lebih ringan melalui selipan humor hingga turut membuatnya lebih menghibur bagi semua kalangan. Begitu filmnya usai terdengar tepuk tangan dan isak tangis (sejauh ini di tahun 2017 yang menerima kehormatan serupa hanya "La La Land"). Tentu kesan sappy, klise, cheesy dan lain-lain yang identik dengan opera sabun akan mengganggu bagi beberapa pihak termasuk saya, namun apa daya ketika sasaran penontonnya sedemikian terpuaskan? 

Artikel Terkait

Ini Lho Nirwana Yang Tak Dirindukan 2 (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email