Thursday, December 6, 2018

Ini Lho Rams (2015)

Di Islandia, dengan populasi hampir dua kali lipat manusia  600.000 berbanding 330.000  domba turut memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat. Kemampuan domba bertahan di ekspresi dominan cuek sanggup dimanfaatkan untuk produksi sandang pangan di negara "Tanah Es" tersebut. Salah seorang abjad film ini sempat menyampaikan bahwa hidup seekor domba bergantung peternaknya. Apabila domba senang maka kehidupan masyarakat bakal penuh berkah, sebaliknya sanggup berujung ancaman bila para domba tidak bahagia. Lalu apa yang terjadi ketika sang peternak dirundung kecemburuan, amarah, berlaku curang, serta terlibat konflik satu sama lain?

"Rams" yaitu pemenang penghargaan Un Certain Regard pada Cannes Film Festival tahun 2015 sekaligus perwakilan Islandia untuk Oscar tahun ini meski gagal lolos sebagai nominee. Kisahnya mengenai abang beradik, Gummi (Sigurður Sigurjónsson) dan Kiddi (Theodór Júlíusson) yang sama-sama beternak domba, tinggal bersebelahan, namun sudah 40 tahun tidak bertegur sapa  komunikasi dilakukan lewat surat yang dikirim oleh anjing. Ketika penyakit scrapie ditemukan menjangkiti domba-domba di seluruh pedesaan termasuk kepunyaan mereka. Pertikaian keduanya memuncak tatkala Kiddi menolak memusnahkan peternakannya dan merasa semua itu yaitu ulah Gummi, hasil kecemburuan akhir kalah dalam suatu kontes domba.
Seperti arthouse kebanyakan, 92 menit dalam "Rams" bergerak lambat, sepi, minim letupan emosi. Tapi ini bukan semata-mata bentuk perilaku pretensius dari Grímur Hákonarson (sutradara, produser, penulis naskah), di mana terdapat substansi sebagai penguat cuek serta sunyinya Islandia. Kesunyian bertutur Hákonarson pun seolah mewakili sosok Gummi yang menyimpan diam-diam sekaligus mirip metafora hubungan saling mendiamkan Gummi-Kiddi. Dominasi perilaku diam/mendiamkan abjad berujung pada kesubtilan tutur yang mengharuskan penonton aktif berusaha mencerna guratan emosi tokoh maupun konten sebuah adegan.
Sebagai sutradara, Grímur Hákonarson piawai menangani ketersiratan, sehingga tanpa perlu ungkapan verbal, makna rangkaian aksi-emosi sanggup besar lengan berkuasa tersampaikan. Hákonarson lebih sering membiarkan gambarnya bicara mengenai banyak hal termasuk memberi pemahaman pada penonton perihal bagaimana puncak pertikaian justru mengingatkan Gimmi dan Kiddi bahwa sesudah sekian usang keduanya masih menyimpan kepedulian satu sama lain. It's all there, inside their expressions, gestures and behaviors. Sedangkan dalam tugas selaku penulis naskah, Hákonarson bisa mengemas eksposisi berkenaan pemicu timbulnya konflik dua bersaudara tersebut tanpa harus menyita banyak waktu, cukup sepintas momen padat nan efektif.

This movie is quiet and mostly cold, but doesn't mean that it has no soul. Grímur Hákonarson masih sempat menyelipkan beberapa humor segar bersumber dari perilaku eksentrik protagonisnya. Masih mengandalkan bahasa non-verbal, pilihan teknik deadpan comedy berujung keberhasilan Hákonarson menjauhkan inkonsistensi tone ketika humornya hadir. It's all about action, weird action, dan favorit saya yaitu sewaktu Gimmi membawa Kiddi yang tak sadarkan diri ke rumah sakit dengan bulldozer. "Rams" yaitu kisah ketika problem personal kecil berujung tragedi besar bagi banyak orang. Kisah tersebut dipaparkan solid di tengah jalinan dongeng mengenai keluarga disfungsional unik yang menggelitik.

Artikel Terkait

Ini Lho Rams (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email