Thursday, December 6, 2018

Ini Lho Untuk Angeline (2016)

Masyarakat Indonesia paling suka dua jenis kisah: kisah inspiratif mengharukan dan kisah tragis menyedihkan. Intinya kita bahagia dibentuk menangis, mengasihani, pula dikasihani, tapi menolak berbuat sesuatu atau setidaknya mengambil sisi untuk bersuara. Itu pula yang terjadi dalam "Untuk Angeline", film debut penyutradaraan Jito Banyu dengan naskah hasil karya Laila "Lele" Nurazizah. Dari judulnya bisa ditebak bahwa film ini mengangkat kisah Angeline, bocah berusia 8 tahun yang perkara kematiannya menghebohkan pada pertengahan 2015 lalu. Sebuah topik yang apabila tidak ditangani dengan sensitifitas hanya akan menjadi eksploitasi tanpa arti.

Dikisahkan sepasang suami istri miskin, Santo (Teuku Rifnu Wikana) dan Samidah (Kinaryosih) tak bisa menangung biaya persalinan anak wanita mereka. Hal itu mendorong Santo menjual sang puteri kepada pasangan kaya, John (Hans de Kraker) dan Terry (Roweina Umboh) tanpa persetujuan istrinya terlebih dahulu. Bayi wanita itu kemudian diberi nama Angeline oleh John, dibesarkan penuh kasih sayang kolam anak sendiri. Rasa sayang John untuk Angeline (diperankan Naomi Ivo dan Audrey Junicka) nyatanya menjadikan kecemburuan Terry. Dia menganggap John tidak menyimpan cinta serupa pada hasil ijab kabul sebelumnya. 
Membuat film berbasis bencana kasatmata boleh saja dilakukan, dan terkait perkara Angeline begitu banyak sisi bisa digali termasuk proses persidangan yang beberapa kali muncul tanpa maksud pasti. "Untuk Angeline" bukan sebuah eksplorasi isu, cerminan realita, ataupun tribute, melainkan eksploitasi kisah murung demi satu tujuan: mengalirkan air mata penonton. Lagi-lagi suguhan tearjerker pun sifatnya tidak haram, namun eksposisi konflik sampai pendalaman huruf seharusnya jangan dilupakan. Sedangkan dalam film ini, tiap sequence semata-mata digunakan untuk memperlihatkan siksaan demi siksaan yang Angeline terima dari sang ibu tiri dilengkapi iringan musik buatan Joseph S. Djafar yang bombastis, setia menggedor gendang pendengaran meski adegan di layar tidak menampilkan situasi dramatis.
Suatu ketika, Coen Brothers pernah menyatakan alasan mencantumkan kalimat "based on a true story" dalam "Fargo" ialah biar penonton lebih bisa mendapatkan abnormalitas yang dimiliki film tersebut. "Untuk Angeline" bagai mencoba jalur serupa, memanfaatkan status "berdasarkan kisah nyata" biar kebodohan adegan maupun tingkah huruf sanggup penonton toleransi. Lagi-lagi banyak sekali kesan terbelakang hadir akhir upaya dramatisasi berlebihan termasuk biar tokoh-tokoh semisal Terry dan Kevin nampak sejahat mungkin, tanpa peduli caranya terlihat menggelikan sekalipun. Adegan Kevin bermain piano sembari memasang "senyum iblis" mengiringi penyiksaan Terry terhadap Angeline bisa dijadikan rujukan terbaik. Kalau itu sungguh terjadi, film ini sukses menciptakan hal kasatmata menjadi tidak bisa dipercaya.

Patut disayankan, alasannya ialah "Untuk Angeline" bukan film sampah asal jadi tanpa memperhatikan teknis sinematik. Akting beberapa penampil cukup solid khususnya Kinaryosih yang memiliki kedalaman alih-alih overacting dalam interpretasinya bagi penderitaan Samidah. Letupan emosi Teuku Rifnu Wikana menjelang final film berpotensi menyayat hati, sama halnya heartwaring performance dari Naomi Ivo yang bisa saja menggaet simpati andaikan penuturan filmnya lebih memperhatikan pembangunan konflik serta karakter. Menjelang kredit akhir, terdapat pernyataan bahwa "Untuk Angeline" bertujuan membangkitkan kesadaran penonton, tapi sepanjang saya cuma bisa mencicipi ambisi mengeruk keuntungan hasil eksploitasi kesedihan nasib tragis seseorang. 


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID

Artikel Terkait

Ini Lho Untuk Angeline (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email