Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho The Salesman (2016)

Diceritakan, protagonis dalam "The Salesman" yaitu bintang film teater yang tengah memainkan naskah "Death of a Salesman" buatan Arthur Miller. Akibat sensor ketat pemerintah Iran, salah satu aktris mesti berpakaian lengkap (jilbab dan coat) walau melakoni adegan telanjang, memancing tawa para aktornya. Di kehidupan nyata, film ini menerima nominasi Oscar untuk Best Foreign Language Film, namun Asghar Farhadi selaku sutradara sekaligus penulis naskah dihentikan hadir jawaban kebijakan imigrasi kontroversial Donald Trump (Farhadi kemudian memboikot). Terciptanya paralel antara fantasi dan realita ini semakin menegaskan bahwa kritik yang Farhadi lontarkan lewat karyanya memang relevan.

Tapi intrik sosial-politik bukanlah topik utama "The Salesman", tidak dituturkan gamblang melainkan bangunan latar berpengaruh pembentuk lingkungan daerah tokohnya tinggal yang otomatis mempengaruhi perilaku serta contoh pikir. Adegan pembuka mengatakan apartemen milik pasangan suami istri Emad (Shahab Hosseini) dan Rana (Taraneh Alidoosti) bergetar hebat, perlahan runtuh jawaban acara konstruksi di sebelah yang tak hati-hati. Tanpa keduanya maupun penonton sadari, momen itu kolam siratan akan rumah tangga mereka yang kelak turut tergoncang dan terancam runtuh. Untungnya, berkat proteksi rekan sesama pemain teater, Babak (Babak Karimi), Emad dan Rana menerima rumah baru. 
Kemudian mereka mulai mendengar selentingan dari tetangga kalau perempuan penghuni sebelumnya yaitu pelacur yang kerap melayani klien di rumah itu. Sang perempuan sendiri menyebabkan persoalan ketika tak kunjung tiba mengambil barang yang masih tertinggal, namun melarang siapa pun menyentuhnya. Menyebalkan, tapi tak meresahkan bagi Emad dan Rana, hingga suatu malam, Rana mendengar bel pintu berbunyi. Mengira sang suami telah pulang, ia membuka pintu begitu saja. Saya takkan mengungkap insiden yang menyusul. Dari situlah ketegangan menyeruak, memfasilitasi Asghar Farhadi menyuguhkan kontradiksi gender, modern versus traditional, dan ukiran dua pihak terkait trauma. 

Kelebihan Farhadi menulis naskah tampak dari kemampuannya menuturkan gosip secara solid tanpa perlu meneriakkannya. Emad dan Rana awalnya terlihat sebagai dua sosok berpikiran terbuka pula modern. Mereka menggemari kesenian, terjun di dunia seni peran. Di pagi hari, Emad yaitu guru yang tidak menerapkan teknik mengajar ortodoks, bersedia bercanda bersama murid-murid, menjadikan sensor selaku materi lelucon. Namun begitu insiden mengagetkan tersebut menerjang, Emad mulai merasa harga dirinya diserang. Tidak perlu menuding langsung, Farhadi sudah membuat pemahaman bagi penonton soal patriarki konservatif di mana istri dianggap barang milik laki-laki ketika tindakan Emad cenderung ungkapan kemarahan jawaban "kepunyaannya" diinvasi ketimbang demi melindungi Rana.
Keberadaan poin "life imitates art" (dan sebaliknya) bukan hal baru, tetapi Farhadi tidak semata mengatakan kemiripan atas dasar kebetulan antara kenyataan dengan pementasan yang dilakoni dua protagonis. Daripada "memalsukan", akting lebih merupakan manifestasi atas keseharian sang pemeran. Kehidupan sehari-hari mempengaruhi interpretasi mereka terhadap tokoh yang diperankan. Selipan pengalaman personal (sengaja maupun tidak) justru bisa menguatkan performa, dan itu nampak di sini, baik ketika Emad meluapkan amarah pada Babak atau tergerusnya kekerabatan beliau dan Rana, serupa abjad mereka di atas panggung. 

Begitu kokohnya presentasi drama "The Salesman", perspektif penonton bakal ditantang, ajaran kita diprovokasi. Mungkin anda pernah menemui orang terdekat anda paranoid apabila bersinggungan dengan hal yang mengembalikan ingatan akan insiden traumatik. Tentu anda bersimpati, ingin membantu. Tetapi hampir niscaya timbul ketidaknyamanan jawaban merasa perilaku orang itu berlebihan dan sebagainya. Farhadi merangkum konflik serupa dengan presisi sempurna, didukung kemampuan menyulap pertengkaran minim teriakan (berbeda dengan "The Past") jadi gejolak menggetarkan, pula mendorong penonton berpikir pihak mana yang benar. Bukan tidak mungkin ujungnya anda bakal bersimpati atau sebaliknya, menyalahkan mereka berdua.
Baik Shahap Hosseini dan Taraneh Alidoosti cakap memunculkan dua sisi tokoh peranan masing-masing. Setelah memainkan pasangan likeable di awal, transformasi sama-sama dilakukan. Dari pria, suami, dan guru ramah, Hosseini berubah, tampak dikuasai amarah yang senantiasa mengganggu pikirannya dalam segala situasi. Melihat Hosseini, kita dibentuk percaya bahwa Emad sanggup "meledak" setiap saat. Sementara Alidoosti mengubah Rana yang awalnya ceria dan banyak bicara menjadi penuh kegamangan serta ketakutan. Matanya kosong, menerawang, seolah tak henti menyaksikan insiden malam itu. Farid Sajadhosseini meski muncul gres di sepertiga simpulan nyatanya amat berkesan. Tatapan hampanya memberi dampak luar biasa untuk konklusi cerita.

Sebagaimana beberapa karya lain miliknya, Farhadi menyelipkan misteri yang ambigu alasannya penonton tak pernah melihat eksklusif peristiwanya. Layaknya suguhan "Hitchcockian" terbaik, petunjuk dilemparkan dengan subtil guna mempermainkan perkiraan penonton, acap kali mengejutkan lewat sederet fakta tersirat yang diungkap melalui dialog, meninggalkan antusiasme pada pencarian jawaban. Memasuki paruh kedua, "The Salesman" menyentuh ranah revenge thriller yang Farhadi berdiri tanpa mengikuti formula. Kamera cenderung statis, tempo medium, iringan musik pun minimalis, enggan menggedor jantung. Ketegangan terhampar secara alamiah, bukti seorang Asghar Farhadi tak hanya mahir mengangkat isu, pula master dalam membentuk intensitas di tengah keheningan. 

Artikel Terkait

Ini Lho The Salesman (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email