Negeri ini masih bodoh. Kalau cerdas, mana mungkin masyarakatnya sanggup digiring persepsinya melalui pembodohan atas nama agama. Tapi di mana akar permasalahannya? Melalui naskahnya, Joko Anwar menyiratkan bahwa semua berasal dari dasar ketika kita masih berguru baca tulis bermodalkan stip dan pensil. Bahwa segala kesempitan akal, kebodohan, rasialisme, teladan pikir yang mendahulukan perut daripada otak, disebabkan minimnya ketersediaan pendidikan layak sedari dini. Di tengah banyolan-banyolan, Stip & Pensil coba menghadirkan relevansi atas citra negeri kita tercinta ini.
Menarik kala banyak pihak mengatasnamakan hak asasi kemudian membela rakyat kecil, menyalahkan orang berduit dan pemerintah, Joko memancing jalannya nalar penonton dalam memandang sebuah kondisi. Bagaimana bila sinisme pada orang kaya menutupi objektivitas kita? Bagaimana bila pemerintah telah melaksanakan tindakan tepat sesuai aturan tapi kita dibutakan perasaan, begitu saja membela rakyat miskin yang sejatinya juga keliru? Tengok empat protagonis film ini, Toni (Ernest Prakasa), Bubu (Tatjana Saphira), Saras (Indah Permatasari), dan Aghi (Ardit Erwandha), sekelompok siswa Sekolah Menengan Atas kaya yang mengeksklusifkan diri, egois, nihil kepedulian. Setidaknya itu berdasarkan teman-teman satu sekolah mereka.
Kesampingkan setting sekolahnya, terdapat cerminan masyarakat kita secara umum. Edwin (Rangga Azof) dan teman-teman menganggap diri paling benar serta memandang orang lain dari kulit luar. Sementara Richard (Aditya Alkatiri) si YouTuber/jurnalis dadakan kolam media yang enggan meninjau fakta, seenak jidat mewartakan cerita. Ingin melenyapkan stigma negatif itu, Toni dan kawan-kawan mengikuti lomba esai nasional bertema "sosial masyarakat", bersaing dengan kelompok Edwin yang menganggap langkah itu bentuk cari muka belaka. Sebaliknya, lantaran merasa tema Edwin dangkal, keempat protagonis kita memutuskan terjun ke lapangan membangun sekolah darurat untuk bawah umur di perkampugan kumuh, bukti kinerja nyata, bukan omong belaka. Ketika sekarang topik politik tengah terangkat, tentu anda familiar dengan aneka macam penokohan itu.
Sejak dulu Joko Anwar memang jago mengawinkan aspek-aspek naskahnya (karakter, konflik) dalam porsi kecil sekalipun dengan kondisi negeri ini. Caranya subtil. Sekilas hanya paparan fiktif, namun bahwasanya cerminan realita. Salah satu yang paling menggelitik sekaligus menampar di sini ialah kala warga kampung bergunjing soal Koko Salim, seorang etnis Cina penjual mie ayam. Di tamat pembicaraan, Mak Rambe (Gita Bhebhita) bertanya pada ketua kampung, Pak Toro (Arie Kriting), apakah Ko Salim merupakan warga setempat. Obrolan tersebut tentu merujuk kepada perdebatan perihal pribumi/pendatang yang belakangan sedang memanas. Stip & Pensil bagai mengandung easter eggs berisi kumpulan isu-isu di Indonesia.
Sindiran-sindirannya komikal, membaur dengan komedi berupa kejenakaan tokoh-tokohnya yang lagi-lagi kerap menyentil sekelompok kalangan tertentu. Turut menerima bantuan Ernest Prakasa dan Bene Dion Rajagukguk (Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1), naskahnya cerdik merangkai humor playful berbasis absurditas situasi maupun tingkah karakter. Piawai pula sutradara Ardy Octaviand (3 Dara, Coklat Stroberi) membangun kelucuan, termasuk memaksimalkan penggunaan musik garapan Aghi Narottama menyerupai ketika keempat protagonis berusaha meminta kembali dingklik sekolah mereka dari pemilik warung yang diperankan Yati Surachman.
Di jajaran cast, Indah Permatasari dan Tatjana Saphira selaku dua sosok berlawanan mencuri spotlight. Saras paling ekspresif dibandingkan teman-temannya, dan melihat Indah bertingkah "brutal" ketika tak ragu menghantam objek amarah dengan dingklik serta totalitas verbal besar (baca: lebay) guna menyikapi kekonyolan di sekitarnya sungguh memuaskan. Sebaliknya, Bubu ialah "si bodoh" dalam kelompok, kerap terlambat memahami sesuatu, mendadak berbuat aneh semisal bernyanyi Yamko Rambe Yamko, hingga memasang raut clueless. Kepolosan wajah Tatjana tepat mewakili ciri-ciri tersebut.
Kembali ke naskah, sayangnya Joko gagal memperlihatkan proses memuaskan menuju konklusi beberapa problematika utama. Stip & Pensil berakhir dengan citra ideal masyarakat, tapi lalai menjabarkan proses ke sana. (Spoiler Alert) Selain perubahan perilaku instan para antagonis, ada kelemahan soal tuturan perihal relokasi (atau penggusuran terserah pandangan anda). Benar bahwa ada keluhan karakter Yati Surachman soal air, citra kampung kumuh, hingga buruknya kemudahan pendidikan, namun semua itu bukan pemicu kesediaan huruf direlokasi. Proses pemahaman warga ditiadakan, langsung melompat ke konklusi, membuat pergerakan alur luar biasa kasar. Jika itu bentuk kesengajaan selaku sindiran ("mereka protes lantaran terlanjur menutup mata dan menolak memahami") terhadap perilaku warga antara pra dan pasca relokasi, maka kelemahan terletak pada kurang mampunya Ardy Octaviand merangkai dua sisi kontras itu secara rapi semoga bisa menggelitik.
Ini Lho Stip & Pensil (2017)
4/
5
Oleh
news flash