Tuesday, December 4, 2018

Ini Lho Guardians Of The Galaxy Vol. 2 (2017)

James Gunn dan Guardians of the Galaxy adalah pola tepat bagaimana menjalankan waralaba lewat proses menanam dan menuai. Tiga tahun lalu, langkah berani memperkenalkan lima a-holes tak dikenal sukses melahirkan idola gres berkat penokohan solid pula interaksi menarik. Hasilnya, begitu penonton bertemu mereka lagi di sekuelnya, timbul kelekatan secara emosional guna memaksimalkan penceritaan yang lebih personal. Selain mempertahankan kejeniusan Gunn merangkai komedi, Vol. 2 menegaskan posisi franchise ini sebagai drama keluarga, tepatnya wacana sekelompok individu yang kehilangan keluarga, menemukan satu sama lain, tumbuh bersama membentuk keluarga baru.

Kisahnya didasari pertanyaan film sebelumnya mengenai identitas ayah Peter Quill / Star-Lord (Chris Pratt), yang rupanya ialah sosok celestial bernama Ego (Kurt Russell). Demi menebus hangatnya kekerabatan ayah-anak yang tak pernah mereka punya, Ego mengundang Peter, Drax (Dave Bautista) dan Gamora (Zoe Saldana) ke planet miliknya, sedangkan Rocket (Bradley Cooper) dan Baby Groot (Vin Diesel) tinggal guna memperbaiki Milano pasca pertempuran melawan pasukan Sovereign sambil menjaga Nebula (Karen Gillan). Sementara Ayesha (Elizabeth Debicki), sang Pendeta Sovereign menyewa Yondu (Michael Rooker) dan Ravagers untuk menangkap Guardians yang mencuri barang kepunyaannya. 
Guardians of the Galaxy dipersenjatai winning formula yang saking ampuhnya, memberi template bukan hanya bagi film MCU (warna vibrant), pula rilisan studio lain dalam pemakaian lagu kurun 70 hingga 80-an. Ada rasa khawatir Gunn dan tim berlebihan memakai formula tersebut. Kekhawatiran itu sempat menguat di 15-20 menit awal kala lagu-lagu bertumpuk silih berganti terdengar, setiap kalimat karakternya berintensi melucu, hingga eksploitasi Baby Groot pada opening credit. Terasa melelahkan ketimbang menyenangkan akhir kesan memaksakan diri menyamai bahkan meniru keasyikan pendahulunya. Tanpa pemanasan, penonton pribadi diajak mengarungi parade sok asyik yang Gunn jejalkan.

Kondisi berubah sehabis Ego tiba membawa Mantis (Pom Klementieff), alien berkemampuan emphatic yang ia besarkan. Tidak pernah mengalami interaksi sosial membuatnya polos (cenderung bodoh), sisi utama pemancing gelak tawa. Bicara kebodohan, tentu Guardians memiliki Drax yang selalu bicara terus terang. "Mulut busuk" Drax plus keluguaan Mantis membuat interaksi komedi kelas satu, di mana kepiawaian Bautista melontarkan olok-olokan (baca: kejujuran pedas) menggelitik direspon tepat ekspresi kosong Klementieff. Tiap kali keduanya bersama ialah jaminan tawa tak berujung, "memanaskan" penonton agar siap terhibur oleh formasi humor berikutnya.
Selanjutnya, Guardians of the Galaxy Vol. 2 bagai mesin penghasil tawa yang enggan berhenti beroperasi. Gunn jeli melihat sisi lucu bermacam hal, dan berbeda dengan paruh awal durasi, makin terpelajar menentukan timing menyelipkan bermacam-macam lelucon, entah olok-olok nama Taserface (Chris Sullivan) atau humor seksual. Ketika Drax dan Mantis berjasa di comic timing, Baby Groot merupakan salah satu tokoh paling menggemaskan yang pernah hadir di layar lebar. Lebih naif dari Groot dewasa, tingkahnya mengundang kecintaan, menyesakkan sewaktu melihatnya terancam ancaman di puncak pertempuran.

Dibanding film pertama dengan politik luar angkasa ditambah pencarian infinity stone, Vol. 2 berjalan sederhana dibalut dongeng yang layak disebut tipis. Namun fokus filmnya memang bukan kompleksitas alur, melainkan kekerabatan huruf yang ditautkan benang merah berupa kekeluargaan antara anggota Guardians, Gamora dan Nebula, hingga Peter dan ayahnya. Salah satu credit scene pun mengatakan Guardians of the Galaxy tak ubahnya perjalanan tumbuh kembang dalam keluarga. Poin itu berhasil lantaran kita sudah terikat dan terpikat dengan karakternya sedari film pertama, dan sekuel ini berfungsi menegaskan bahwa di samping tingkah seenaknya pun saling ejek yang rutin terjadi, para penjaga galaksi ini menyimpan kebaikan hati, peduli satu sama lain.
Niat Gunn menyebabkan filmnya bukan saja spectacle megah terealisasi kala klimaks. Bukan epic macam The Avengers, pertarungan menyakitkan ala Captain America: Civil War, maupun keunikan kreatif ibarat Ant-Man (tiga third act terbaik MCU sejauh ini), Guardians of the Galaxy Vol. 2 mengutamakan imbas emosional hasil dramatic arc-nya. Melihat Peter meluapkan kesedihan seorang anak, Yondu si father figure coba menebus dosa, saling tolong Nebula dan Gamora selaku dua saudari yang selalu berseteru, hingga perjuangan Drax menolong Mantis memancing gejolak perasaan. Gunn sanggup menekankan ikatan bersahabat para protagonis beserta agresi heroik mereka ketimbang pertunjukan bombastis belaka. 

Proses menanam dan menuai tak berakhir di tataran karakter, juga soal masa depan Marvel Cinematic Universe khususnya seputar dunia kosmik. Pengenalan sosok celestial, tugas singkat Sylvester Stallone, dua dari lima credit scene, bahkan cameo Stan Lee menanam benih yang berpotensi membuatkan dunia kosmik ke jangkauan lebih luas yang bukan mustahil bakal berperan besar pada MCU pasca invasi Thanos berakhir di kemudian hari. Tapi untuk sekarang, nikmati dahulu kembalinya tim pahlawan super Marvel yang lebih mampu mengocok perut pula mencuri hati ketimbang Avengers di Bumi lengkap dengan kemeriahan visual berhiaskan warna-warna mencolok.

Artikel Terkait

Ini Lho Guardians Of The Galaxy Vol. 2 (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email