Lima tahun lalu First Class menyelamatkan franchise X-Men dari janjkematian pasca The Last Stand dan X-Men Origins: Wolverine yang mengecewakan. Kembalinya Bryan Singer di dingklik penyutradaraan serta Simon Kinberg sebagai penulis naskah kemudian menghasilkan Days of Future Past, membawa lagi X-Men menuju puncak kesuksesan komersial maupun critical. Memasuki 2016, genre superhero memasuki tingkatan lebih tinggi kala DC ikut meramaikan persaingan lewat Batman v Superman: Dawn of Justice, sedangkan Marvel mengandalkan Captain America: Civil War. Dalam kondisi menyerupai itu, keputusan menggunakan En Sabah Nur a.k.a. Apocalypse sang mutan tertua nampaknya yakni keputusan sempurna semoga Fox tidak karam di tengah persaingan tersebut.
Alkisah, sesosok mutan berjulukan En Sabah Nur/Apocalypse (Oscar Isaac) dianggap Tuhan dan berkuasa pada periode Mesir kuno bersama keempat pengawalnya (Four Horsemen). Namun sebuah pengkhianatan membuatnya harus terkubur di bawah reruntuhan piramida, tertidur selama ratusan tahun sebelum berdiri di tahun 1983. Menyadari insan memegang kuasa atas dunia, Apocalypse berencana menimbulkan mutan sebagai raja dan mulai merekrut empat mutan sebagai Four Horsemen baru. Salah satu di antaranya yakni Erik Lehnsherr/Magneto (Michael Fassbender) yang gres saja kehilangan keluarganya. Mengetahui Erik tengah dalam bahaya, Raven/Mystique (Jennifer Lawrence) dan bersama beberapa mutan muda murid Charles Xavier (James McAvoy) bersatu, menghidupkan kembali X-Men guna menghentikan ambisi Apocalypse.
Memandang usungan ceritanya, Apocalypse jelas terasa sederhana cenderung medioker dibanding dua pendahulunya First Class berisi rekonstruksi sejarah dan Days of Future Past berhiaskan time travel yaitu sekedar pertarungan good versus evil tanpa banyak intrik. Ada potensi eksplorasi unsur agama atau Mesir Kuno (and another ancient myth), tapi Kinberg sekedar memposisikannya sebagai secuil hiasan, sehingga En Sabah Nur menjadi satu lagi villain dangkal dengan motivasi klise menguasai dunia. Walaupun digambarkan mempunyai kekuatan tanpa batas tidak hingga muncul kesan sosoknya memberi ancaman besar bagi seluruh dunia. Apalagi dominan kemunculan ia habiskan untuk berbaring, merekrut four horsemen lalu memberi makeover pada penampilan mereka. Are you a fashion stylist or what?
Simon Kinberg seolah enggan mengakui kemediokeran naskahnya, aib tampak kurang dalam. Alhasil ia masukkan beberapa sub-arc tentang sulitnya mutan cukup umur mengontrol kekuatan mereka, peristiwa kehidupan Magneto, usaha Peter Maximoff/Quicksilver (Evan Peters) mencari sang ayah, dan (as usual) usaha Xavier. Terlalu banyak dongeng ditumpuk tanpa eksplorasi berarti, ujungnya saya merasa digelontori segunung konflik namun tak ada satu pun yang meninggalkan kesan. Kehidupan Magneto sedikit lebih dramatik dibanding kisah lainnya, tapi telah dimunculkan berkali-kali lewat film sebelumnya hingga terlampau familiar. Ororo/Storm (Alexandra Shipp) dan Elizabeth/Psylocke (Olivia Munn) turut tersia-siakan potensinya. Jangankan penggalian karakter, porsi kedua badass heroine tersebut unjuk gigi di medan pertempuran pun minim.
Saya akan memaafkan kekurangan di dongeng maupun huruf andai filmnya bisa menghibur. Sayangnya Bryan Singer bagai kekeringan kreatifitas mengemas action sequence. Tengok adegan Quicksilver yang kolam repetisi atas scene serupa di Days of Future Past. Meski skala bertambah besar namun konsep dasarnya serupa, termasuk musik pengiring. But the most disappointing action sequence is the climax. Ketergantungan Singer terhadap CGI lebih parah dibanding Zack Snyder. Setidaknya Snyder tahu cara mengolah gambar memikat penuh fan service, sedangkan di sini penonton cuma disuguhi kehancuran random tanpa ketegangan. Minimnya intensitas dikarenakan segalanya nampak palsu, bukan saja akhir CGI saya suka tone campy selaku efek tinggnya pemakaian CGI tapi juga ketiadaan rasa bahwa pertempuran bertempat di dunia konkret (di mana orang-orang???). Selain minim kreatifitas dan gagal mencapai puncak intensitas, titik puncak pun diakhiri dengan amat mengecewakan. Kita semua tahu En Sabah Nur bakal terkalahkan, tapi sanksi Singer begitu malas.
Bertambah parah di ketika usaha menyelipkan humor ikut gagal memancing tawa. Komedinya menyerupai dibentuk oleh orang "kaku" yang memaksakan diri melucu. Hasilnya pun terasa dipaksakan berujung garing. Kembali lihat adegan Quicksilver di mana Singer bagai terpaku keharusan memasukkan sebanyak mungkin tingkah usil sang tokoh daripada murni kebutuhan. Timing pun luput diperhatikan ketika komedi dilontarkan. Bahkan muncul beberapa momen unintentionally funny, semisal "how often Apocalypse and his four horsemen just standing close to each other, doing nothing except trying to look cool". Saya paling tergelitik oleh ucapan En Sabah Nur berikut: "Everything they've built will fall!", seolah menyindir X-Men: Apocalypse sendiri selaku penghancur segala usaha membangun ulang franchise ini. Sekarang segalanya mundur ke belakang. X-Men sucks again.
SPHERE X FORMAT: Biasanya, sajian blockbuster seperti ini wajib hukumnya ditonton dalam format layar raksasa, tapi dikarenakan kualitas CGI yang inkonsisten serta kurangnya momen "megah", lebih bijak rasanya menyaksikan film ini di format layar biasa. (2.5/5)
SPHERE X FORMAT: Biasanya, sajian blockbuster seperti ini wajib hukumnya ditonton dalam format layar raksasa, tapi dikarenakan kualitas CGI yang inkonsisten serta kurangnya momen "megah", lebih bijak rasanya menyaksikan film ini di format layar biasa. (2.5/5)
Ticket Powered by: Indonesian Film Critics
Ini Lho X-Men: Apocalypse (2016)
4/
5
Oleh
news flash