Thursday, November 29, 2018

Ini Lho Dancing In The Rain (2018)

Sungguh hidup ibarat putaran roda yang sulit ditebak arahnya. Baru tiga ahad lalu, Screenplay Films gres saja mempersembahkan karya terbaik mereka lewat Something in Between (review), kini muncul Dancing in the Rain sebagai salah satu yang terburuk. Film karya sutradara Rudi Aryanto (Surat Cinta untuk Starla the Movie, The Perfect Husband) ini mendobrak batas kengawuran bertutur disease porn. Setelah sempat beralih ke tangan Titien Wattimena, departemen penulisan naskah dikembalikan pada duo Tisa TS-Sukhdev Singh (Magic Hour, London Love Story) yang beranggapan bahwa penyakit merupakan satu-satunya penghasil penderitaan. Padahal, mereka yang sehat pun bisa menderita. Penonton film ini misalnya.

Saya takkan mengaku paham betul mengenai segala aspek medis film ini. Saya bukan ahli, bukan dokter, bukan pula psikolog. Apalah artinya ilmu saya yang butuh waktu 7,5 tahun menuntaskan studi psikologi dibanding psikolog profesional yang (konon) jadi konsultan naskah sekaligus pendamping sepanjang proses produksi. Saya hanya bisa menyebut bahwa merujuk pada definisi DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition), akting Dimas Anggara sebagai pengidap gangguan spektrum autisme telah memenuhi simtoma-simtoma yang tertulis. Tapi saya tak bisa mengukur akurasinya secara detail, apalagi kondisi penderita autisme amat beragam. Satu hal pasti, Dimas melaksanakan yang ia bisa, sesuai impian sutradara dan petunjuk sang psikolog dalam proses yang saya yakin cukup singkat.

Pun saya yakin, Tisa dan Sukhdev melaksanakan wawancara kepada psikolog. Bukan lantaran naskahnya tersaji mendalam, namun beberapa kalimat terdengar bagai hasil verbatim (menulis ulang kata per kata tanpa pengubahan) dari wawancara formal, ketimbang ucapan insan normal. Tengok saja voice over Ayu Dyah Pasha yang memerankan psikolog. Itu bukan ucapan psikolog pada klien. Itu pembacaan halaman Wikipedia.

Mari beranjak menuju alurnya, yang mengisahkan penderita spektrum autisme berjulukan Banyu (Dimas Anggara), yang akhir kondisinya, sulit meneukan teman. Di sekolah ia dijauhi, sementara di lingkungan sekitar rumahnya, ia jadi korban bully. Sampai ia bertemu Radin (Deva Mahenra) yang tumbuh sebagai sahabat sekaligus pelindung bagi Banyu. Kemudian Kinara (Bunga Zainal) turut masuk ke hidup mereka, bahkan dikala beranjak memasuki masa kuliah, menjalin cinta dengan Radin. Untunglah film ini urung masuk ke ranah cinta segitiga, alasannya ialah kebersamaan Radin-Kinara amat disukai oleh Banyu.

Sebelum kehadiran Radin dan Kinara, Banyu hanya mempunyai Eyang Uti (Christine Hakim), yang luar biasa sabar merawat sang cucu pasca ditelantarkan kedua orang tuanya. Tentu Christine Hakim merupakan hal terbaik Dancing in the Rain. Caranya meregulasi emosi luar biasa. Momen favorit saya ialah dikala Katrin (Djenar Maesa Ayu), ibu Radin, mendatanginya, memaksa supaya ia bersedia memutus pertemanan Banyu dengan Radin. Eyang berusaha sabar, pelan-pelan bicara, mempertahankan senyum, walau kita bisa mencicipi amarah siap meledak. Hingga di satu titik ia tak berpengaruh lagi, suaranya “pecah”, namun tak lama. Kembali ia mengatur emosinya. Such a bravura performance.

Tapi itu urung menyembunyikan keburukan naskahnya, termasuk penulisan huruf Eyang Uti. Dia betul-betul mengasihi Banyu, satu dari sedikit orang yang mengerti cara menanganinya, sehingga bagaimana mungkin ia seteledor itu meninggalkan Banyu sendirian di pasar? Tentu keteledoran itu dimaksudkan guna membuat momen dramatis, tanpa peduli masuk logika atau tidak. Pola serupa terus diulang. Di cafe, beberapa laki-laki dengan lantang mencela Banyu (yang tiba bersama Radin dan Kirana), menyebutnya idiot, mengejek gaya berpakaiannya. That’s a terrible soap opera level of dramatization. Sama halnya dengan penokohan dangkal Katrin, yang tak ubahnya sosok ibu antagonis tanpa nurani di sinetron, yang bicara sendiri di depan kamera mengungkapkan rencana jahatnya.

Saya sering kesal mendengar omongan “Ini film kelas FTV” atau “Sinetron banget deh filmya”. Kalimat-kalimat itu ialah simplifikasi rendahan. Tapi Dancing in the Rain benar-benar cocok akan deskripsi tersebut. Naskahnya eksis di universe yang sama dengan Jenazah Mandor Kejam Mati Terkubur Cor-Coran Dan Tertimpa Meteor. Tisa dan Sukhdev membuat semua karakternya terserang penyakit, entah supaya hidup mereka lebih menderita, memberi pelajaran pada antagonis, atau menghadirkan haru lewat sebuah pengorbanan. Sekalinya mencoba memancing haru melalui momen tanpa penyakit, kesudahannya justru canggung, ketika sang pembantu menyanyikan Lelo Ledhung ketika Banyu tengah menangis di dekapan Eyang Uti.

Menciptakan persamaan nasib di antara ketiga protagonis turut melucuti pesan penting mengenai perbedaan, bahwa kita harus memperlakukan semua orang sama, dan walau kita dianggap “normal” dan lebih sehat, bukan berarti kita berderajat lebih tinggi. Tapi apa peduli film yang seenaknya menggambarkan proses transplantasi jantung (silahkan anda cari dari bermacam-macam sumber mengenai detail prosedurnya) mengenai pesan? Setidaknya, saya bersyukur Rudi Aryanto masih bisa membungkus filmnya dalam tempo dinamis, enggan tampil bertele-tele dan membuang waktu. Karena kalau tidak, menonton film ini akan semakin terasa membuang waktu.

Artikel Terkait

Ini Lho Dancing In The Rain (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email