Thursday, November 29, 2018

Ini Lho The Night Comes For Us (2018)

The Night Comes for Us dibentuk oleh laki-laki cukup umur asing yang mewujudkan mimpi berair masa kecilnya (dan beberapa kalangan penonton). Jagoan kelewat tangguh yang nyaris tak terkalahkan dengan teman-teman yang bersedia pasang badan, karakter-karakter dengan tampilan, kemampuan, serta latar belakang keren, dan tentunya perkelahian demi perkelahian. Sewaktu bocah, kartun dengan formula di atas jadi kegemaran saya. Serahkan kartun itu pada orang di balik Rumah Dara dan Safe Haven, jadilah sajian laga yang hanya setingkat lebih “realistis” dibanding Riki-Oh: The Story of Ricky.

Saya membubuhkan tanda petik pada kata “realistis” lantaran sejatinya, dari perspektif umum, film kedua Timo Tjahjanto sepanjang 2018 ini terperinci tidak memerlukan logika, baik dalam pembuatan maupun proses penonton menikmatinya. Di sini, seseorang masih bisa melancarkan pukulan meski ususnya berhamburan. Dunia yang Timo berdiri ialah dunia sarat kekerasan di mana sadisme dan pembunuhan merupakan masakan sehari-hari insan di dalamnya . Wajar, alasannya dalam dunia ini Triad memegang kendali. Bahkan protagonis kita jadi salah satu pentolannya sebelum membelot.

Ito (Joe Taslim) merupakan salah satu anggota Six Seas, enam laki-laki dan perempuan pilihan dengan identitas misterius yang bertugas menjaga keteraturan. “Menjaga keteraturan” di sini berarti menghalalkan segala cara supaya semua pihak tunduk pada Triad, termasuk membantai seisi kampung. Tapi ketika diharuskan membunuh gadis cilik berjulukan Reina (Asha Kenyeri Bermudez), Ito menahan pelatukan, kemudian berbalik menghabisi anak buahnya. Menolak tinggal diam, Triad mengirim para pembunuh terbaiknya, termasuk Arian (Iko Uwais), yang sudah bagaikan saudara kandung Ito.

Berikutnya ialah 2 jam pertarungan yang hanya sesekali melambat ketika Timo merasa perlu menyelipkan sedikit flashback, sedikit pembangunan karakter, dan lebih banyak kesempatan bagi penonton bernapas. Cerita goresan pena Timo tak mendalam. Sebatas eksposisi cuek tanpa emosi, kecuali dikala Reina dan Ito duduk bersama selepas lolos dari usaha pembunuhan. Setitik hati film ini muncul ketika sejenak beralih menuju kisah mengenai bocah polos yang menyaksikan kebrutalan dunia tersaji di hadapannya, dan bukan mustahil, bakal menghipnotis pertumbuhannya.

Tapi itu dongeng di lain hari. The Night Comes for Us tak punya, atau tepatnya tak meluangkan waktu, bagi eksplorasi dramatik. Karena ini ialah proses Timo meluapkan visi gilanya sekaligus menguji sejauh mana ia bisa membungkus tiap janjkematian sekreatif mungkin. Bola-bola biliar, taser pemicu tarikan picu senapan, sampai tulang sapi cuma segelintir contoh. Pastinya semua berujung muncratan darah bahkan belahan tubuh berhamburan. Ketika seseorang terkena ledakan, kita melihat serpihan tubuh mereka.

Gerak kamera Gunnar Nimpuno (Modus Anomali, Pendekar Tongkat Emas, Killers) mungkin belum semumpuni Matt Flannery dalam dwilogi The Raid soal menangkap koreografi buatan Iko Uwais—yang menyerupai biasa, rumit nan kaya variasi—tapi cukup sebagai pemberi dinamika serta menciptakan penonton mencicipi pengaruh dari beberapa pukulan dan tusukan. Sementara musik garapan duet maut Fajar Yuskemal-Aria Prayogi  (The Raid, Headshot) yang memadukan nomor elektronik dan klasik ditambah pilihan-pilihan lagu menarik dari Timo (Benci untuk Mencinta dari Naif paling menonjol) setia mengiringi di belakang.

Sulit menentukan mana pertarungan terbaik, tapi 3 di antaranya begitu berkesan. Pertama dikala Fatih (Abimana Aryasatya), Bobby (Zack Lee), dan Wisnu (Dimas Anggara) menghadapi pasukan suruhan Yohan (Revaldo dalam comeback luar biasa). Zack Lee menggila sedangkan Abimana menambahkan bobot dramatik plus kematangan menangani obrolan yang tak terduga muncul di film macam ini.

Kedua, sewaktu duo pembunuh lesbian anggota Lotus (satu lagi sebutan yang menarik digali kalau ada film lanjutan), Elena (Hannah Al Rashid) dan Alma (Dian Sastrowardoyo) mengepung The Operator (Julie Estelle). Bermula di kamar kemudian berlanjut ke lorong penuh belahan tubuh manusia, sekuen ini mengambarkan kebolehan ketiga aktris. Dian lewat kesintingan yang belum pernah ia tampakkan (termasuk improvisasi menjilat tangah Hannah), Hannah yang meyakinkan melakoni koreografi, juga Julie Estelle yang sekali lagi mengambarkan bahwa ia aktris laga nomor satu Indonesia dikala ini. Karakter yang bisa memutus jari tangannya sedemikian santai menyerupai The Operator terperinci perlu dibuatkan filmnya sendiri.

Ketiga tentu saja titik puncak Joe melawan Iko yang bagai rangkuman keseluruhan film: brutal sekaligus berwarna. Joe dengan gaya bertarung lebih eksplosif dan Iko lewat kecepatan taktis yang tak kalah “meledak”, sama-sama  menembus batas, baik dari sisis karakternya yang bertarung sampai titik (atau banjir?) darah penghabisan, maupun usaha keduanya selaku aktor. Ketiadaan alur mumpuni berpotensi mengakibatkan perjalanan filmnya melelahkan khususnya di pengalaman menonton pertama, namun The Night Comes for Us merupakan satu dari sedikit sajian laga modern yang akan dengan bahagia hati saya kunjungi lagi kala membutuhkan hiburan, baik menyeluruh atau parsial guna menikmati pertarungannya secara terpisah.

Artikel Terkait

Ini Lho The Night Comes For Us (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email