Judul film ini terdengar menyerupai adonan antara Bernafas dalam Lumpur (1970) dan Beranak dalam Kubur (1971), dua film yang dibintangi Suzzanna Martha Frederika van Osch. Judul yang disebut pertama bukan horor, namun drama, yang konon merupakan film Indonesia pertama yang berani menonjolkan seksualitas, pemerkosaan, juga kata-kata kasar, dengan “sundel” alias “sundal” alias “pelacur” sebagai salah satunya. Menariknya, elemen-elemen plot Suzzanna: Bernapas dalam Kubur banyak mengambil pandangan gres dari Sundel Bolong (1981).
Kebetulan? Sepertinya begitu. Tapi saya bakal percaya jikalau muncul pernyataan bahwa easter egg di atas ialah kesengajaan. Sebab orang-orang di balik Suzzanna: Bernapas dalam Kubur terbukti paham betul kriteria yang harus dipenuhi kala menciptakan “Film Suzzanna”. Ini bukan biopic, bukan pula remake, melainkan penghormatan yang dilakukan dengan benar, alih-alih sekedar perjuangan tak tahu aib guna mengeruk uang. Ini ialah ode yang mengatakan betapa (warisan) Suzzanna masih menghembuskan napas terornya dari dalam kubur.
Pendekatan tersebut tampak dari pemilihan nama tokoh utama. Bukan Alicia, Lila, atau (yang paling tenar) Suketi, tapi Suzzanna, yang diperankan oleh Luna Maya dalam penjelmaan tepat sebagai sang ratu horor. Dalam wujud insan (a.k.a. sebelum bertransformasi menjadi sundel bolong), kita melihat Luna dalam balutan prostetik yang membuatnya kolam kembaran Suzzanna, apalagi ditambah kefasihannya berlogat kolam noni Belanda. Walau sesekali terdengar inkonsisten, Luna sebagai Suzzanna ialah pemandangan adiktif yang menciptakan saya lupa, jikalau butuh beberapa usang sebelum horor merangsek masuk.
Suzzanna dan sang suami, Satria (Herjunot Ali), menjalani kehidupan penuh cinta yang bahagia, khususnnya ketika sesudah tujuh tahun, momongan yang dinanti risikonya tiba. Tapi jikalau mengenal film-film Suzzanna, tentu anda tahu ada bencana bersiap mengacaukan kebahagiaan mereka. Tragedi yang hadir dalam wujud rencana empat karyawan Satria: Umar (Teuku Rifnu Wikana), Dudun (Alex Abbad), Jonal (Verdi Solaiman), dan Gino (Kiki Narendra). Mereka menetapkan merampok rumah Satria sesudah usul naik honor ditolak. Aksi itu dilangsungkan di tengah penugasan Satria ke Jepang, sementara Suzzanna sedang menghabiskan malam Minggu menonton layar tancap. Ketika di luar dugaan Suzzanna pulang lebih awal, mereka berempat terpaksa membunuh, kemudian menguburnya di pekarangan belakang rumah.
Keesokan paginya ia terbangun, seolah gres bermimpi jelek menyerupai biasa. Sebuah keputusan berani dari naskah karya Bene Dion Rajagukguk (Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 & 2, Stip & Pensil) yang dibentuk menurut dongeng buatannya bersama Sunil Soraya (Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh, Single) dan Ferry Lesmana (Danur: I Can See Ghosts). Sekilas absurd, tapi—dalam kasus langka di film horor kita—Bene menyusun aturan-aturan soal apa yang bisa/tidak bisa sundel bolong lakukan, alasan ia melaksanakan “A” daripada “B”, dan sebagainya. Jumlahnya bisa dihitung jari, tak seberapa kompleks, tapi Bene terus konsisten membangun alur menurut aturan yang ia tetapkan.
Film-film Suzzanna dahulu ialah wujud totalitas hiburan, yang meski punya tujuan utama menakut-nakuti, menolak malu-malu menyentuh ranah kekonyolan, baik melalui komedi maupun cara metode membunuh over-the-top dari sundel bolong. Sebuah hiburan paket lengkap bagi semua kalangan yang seru disaksikan beramai-ramai, baik di studio bioskop atau layar tancap di tengah lapangan kampung. Suzzanna: Bernapas dalam Kubur mengusung tujuan serupa, sehingga diselipkanlah komedi, yang penghantarannnya dilimpahkan pada trio Asri Welas, Opie Kumis, Ence Bagus.
Ketiganya memerankan pembantu Suzzanna. Di satu kesempatan, mereka mecurigai jati diri si majikan, dan memulai penyelidikan yang berujung pada momen paling jenaka sepanjang film. Khususnya Opie Kumis dengan kepiawaian melontarkan celotehan-celotehan abstrak yang kelucuannya sukar ditampik. Opie memang pelawak berbakat yang butuh lebih banyak tampil di film apik macam ini ketimbang judul-judul menyerupai Humor Baper (2016) atau Selebgram (2017).
Suzzanna: Bernapas dalam Kubur memang hendak mengikuti formula horor Suzzanna masa lalu, namun juga berfungsi selaku modernisasi. Daripada b-movie, pendekatan lebih “besar” diterapkan, yang mana sanggup kita sadari hanya dengan sekilas mengamati tata artistik dan sinematografi garapan Ipung Rachmat Syaiful (Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, Rudy Habibie). Ketika Suzzanna menyidik seisi rumahnya sewaktu perampokan berlangsung, kameranya bergerak mulus, menyapu seisi ruangan lewat single take untuk menunjukkan keempat perampok di persembunyian masing-masing. Sedangkan musik gubahan Andhika Triyadi (Dilan 1990, Dear Nathan, Cek Toko Sebelah) terdengar megah sebagai cara glamor menyusun tensi dramatis, yang sayangnya kurang berdampak tanggapan lemahnya performa bintang film utama.
Bentuk modernisasi lainnya ialah ditiadakannya cara membunuh cartoonish, kemudian sebagai gantinya, menambah kadar gore. Seberapa pun saya rindu melihat sundel bolong mengendarai kendaraan beroda empat atau traktor, harus diakui, pemandangan tersebut akan sulit diterima penonton kekinian. Setidaknya Suzzanna: Bernapas dalam Kubur masih memberi kepuasan serupa kala menunjukkan setan yang punya tugas cenderung heroik ketimbang makhluk kejam, menegakkan keadilan dengan caranya. She’s a supranatural vigilante. Tatkala dunia faktual kerap membebaskan para pelaku kejahatan terhadap perempuan dari hukuman, menyaksikan mereka mendapatkan penghakiman di sini terang menyenangkan.
Aspek horornya memang tak seberapa mengerikan. Mungkin alasannya ialah sundel bolong tak pernah menampakkan diri di lingkungan yang familiar untuk menghantui “rakyat biasa” (pinggir jalan, perkampungan, dll.) sehingga terornya kurang terasa dekat, atau mungkin, alasannya ialah Suzzanna sendiri punya aura mistis tak tertandingi. Luna Maya sendiri mengeluarkan kemampuan terbaiknya sebagai sundel bolong dengan tawa menyayat pendengaran dan mata yang melotot begitu lebar, seolah menatapnya sanggup menjadikan kematian.
Awalnya film ini disutradarai Anggy Umbara (Comic 8, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!, Insya Allah Sah 2) seorang, namun pasca suatu insiden (yang tak bisa saya ungkap), Rocky Soraya (The Doll, Sabrina) bergabung, menyebarkan kredit penyutradaraan. Sulit memilah mana hasil kerja Rocky mana Anggy, sehingga saya menetapkan menganggapnya sama rata. Pergerakan ceritanya mulus, menjadikan alurnya nyaman dinikmati mesti suguhan utamanya tak eksklusif muncul. Urusan membangun teror, kadang kita diajak berdiam terlalu usang di satu momen hingga intensitasnya turun drastis, tapi siapa pun yang menggarap klimaks, khususnya adegan “Kebangkitan sundel bolong”, layak dipuji atas kemampuan mencuatkan keindahan dari dramatisasi teror. Tonton film ini, nikmati perjalanannnya, kemudian mari menanti, apakah ular di atas pohon itu cuma ular biasa atau petunjuk mengenai reboot untuk.....
Ini Lho Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur (2018)
4/
5
Oleh
news flash