Friday, December 7, 2018

Ini Lho Ada Apa Dengan Cinta 2 (2016)

Banyak orang menyematkan status "fenomenal" untuk Ada Apa dengan Cinta? karena keberhasilannya merepresentasikan dewasa di masanya. Bagi saya pencapaian AADC? lebih dari itu. Bukan semata-mata mewakili, filmnya bisa membuat kultur, menggiring dewasa memalsukan banyak unsur di dalamnya. Seperti film legendaris lain, kehadiran sekuel memancing pertanyaan sekaligus kekhawatiran. Hendak dibawa ke mana kisahnya? Apa memang perlu dilanjutkan? Bukankah konklusinya sudah sempurna? Bagaimana jikalau balasannya jelek kemudian mencoreng reputasi pendahulunya? Walau tampuk penyutradaraan berpindah ke Riri Riza, menggantikan Rudi Soedjarwo yang sekarang kualitas karyanya naik-turun dan naskah masih digarap Prima Rusdi (kali ini bersama Mira Lesmana), rasa khawatir tetaplah ada.

Ber-setting 14 tahun pasca film pertama, kita dipertemukan lagi dengan Cinta (Dian Sastrowardoyo), Karmen (Adinia Wirasti), Maura (Titi Kamal) dan Milly (Sissy Priscillia) yang tengah bereuni   ketiadaan Alya (Ladya Cheryl) nantinya akan dijelaskan   sembari merencanakan liburan bersama ke Jogja. Sementara itu, Rangga (Nicholas Saputra) masih tinggal di New York sembari membuka coffee shop sederhana. Hingga suatu informasi membuat Rangga memutuskan kembali ke Indonesia, tepatnya Jogja. Di sanalah Rangga dan Cinta kembali bertemu sehabis bertahun-tahun lamanya terpisah. 

Ada beberapa plot point tidak saya singgung demi menjaga kepuasan anda ketika menonton. Sinopsis di atas terdengar klise dan sejatinya Ada Apa dengan Cinta 2 memang tak mengatakan penemuan pada tataran alur, tapi bukan berarti penceritaannya lemah. Fokus utama seputaran romantika Rangga-Cinta dikemas ala Before Trilogy-nya Richard Linklater, di mana lebih banyak didominasi durasi "hanya" menunjukkan obrolan mereka berdua selama sehari penuh di Jogja. Saya sebut "mayoritas" alasannya yakni cuma second act-nya saja menggunakan pendekatan tersebut, namun itu saja sudah cukup mengeksplorasi korelasi keduanya secara lebih intim. Terlebih Riri Riza piawai mengolah agar situasi sebuah scene tersalur besar lengan berkuasa pada penonton.
Pertemuan kembali dua manusia saling mencinta sehabis sekian usang pastilah takkan mudah, apalagi jikalau tersimpan permasalahan yang belum terselesaikan. Ada kesan awkward terpancar, but in a cute and romantic way, semisal Cinta yang kerap malu-malu atau ketika Rangga kehabisan kata-kata (yes, Rangga is speechless). Riri bisa menimbulkan momen sederhana menjadi impactful, dengan tumpuan tepat pembicaraan Cinta dan Rangga di cafe yang walau sekedar diisi luapan unek-unek Cinta, jadi terasa intense sekaligus menggelitik berkat banyaknya pemakaian close-up menyoroti ketegasan Cinta atau diamnya Rangga. Kesan serupa rutin terulang sepanjang film, menjadikannya romantis secara natural alasannya yakni kita menyukai interaksi protagonisnya, bukan dipaksakan lewat baris kalimat puitis berlebih atau momen overly dramatic.

Ada Apa dengan Cinta 2 bukannya tanpa kelemahan. Beberapa menit awal terasa flat, tepatnya sebelum Cinta dan Rangga menjalani hari bersama, bagai prolog yang terlampau panjang. Untung "Geng Cinta" bisa menjaga intensitas berkat hidupnya interaksi di antara mereka yang acapkali memancing tawa. Saya pun sedikit terganggu akan cara penghantaran konklusi. I don't have a problem with happy ending. Rangga and Cinta deserve that. The audience deserve that. Tapi sehabis epilog powerful dari setting Jogja, ending tersebut menjadi antiklimaks, tak seberapa menguras emosi. Cukup mengganggu pula alasannya yakni film mendadak berubah dari talky romance intim menjadi lebih generic walau masih menyunggingkan senyum di bibir saya. 
Jajaran cast-nya (unsurprisingly) jadi aspek terkuat. Dian Sastrowardoyo efektif menangani adegan emosional tanpa harus berlebihan, namun daya pikat terbesarnya ada pada bahasa non-verbal sewaktu merespon ucapan Rangga misal lewat senyuman diam-diam. Karena itu, penonton terpikat, abjad Cinta pun terkuatkan. Nicholas Saputra masih mempertahankan charm-nya. Menyenangkan pula lebih sering melihat Rangga selain sebagai laki-laki bermulut sinis. Keputusan tepat dilakukan ketika memberi porsi lebih pada Karmen. Adinia Wirasti sekarang merupakan salah satu aktris terbaik Indonesia, dan memberi Karmen konflik personal serta satu momen perselisihan dengan Cinta jadi langkah tepat memaksimalkan kemampuannya. Barter obrolan penuh emosi antara Adinia Wirasti dan Dian Sastrowardoyo? Siapa tidak antusias? Sedangkan Sissy Priscillia yakni scene stealer lewat kemampuannya menghadirkan tawa berulang kali. 

Ada Apa dengan Cinta 2 adalah nostalgia memuaskan, apalagi berkat kehadiran beberapa fan service moment yang sukses membuat histeria penonton. Tapi tidak hanya itu, alasannya yakni alurnya tetap memperhatikan eksposisi kisah serta abjad daripada sekedar fokus pada fan service. Is it unnecessary? Probably. Tapi sama halnya Before Sunset, sekuel ini tidak wajib dibentuk namun sukses membawa kelanjutan kisah pendahulunya menuju arah yang benar. Berbeda dari film pertamanya, Ada Apa dengan Cinta 2 mungkin tak hingga mewakili apalagi menggiring kehidupan generasi masa kini, tapi sungguh perayaan anggun untuk kisah cinta legendaris. Salah satu sekuel terbaik di perfilman Indonesia. 

Artikel Terkait

Ini Lho Ada Apa Dengan Cinta 2 (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email