Thursday, December 6, 2018

Ini Lho The Bfg (2016)

Novel "The BFG" karya Roald Dahl dan Steven Spielberg mirip pasangan sempurna. Kisah berhiaskan petualangan fantasi yang family friendly lengkan dengan unlikely friendship dua tokoh utama  gadis cilik dan raksasa  niscaya merupakan santapan empuk berkat kepiawaian sang sutradara mengorkestrasi keseruan blockbuster ringan sekaligus memanipulasi emosi penonton. Tapi kadang elemen kejutan didasari perbedaan memang dibutuhkan. Suatu hal yang terlalu pasti atau selaras berpotensi predictable. Membosankan. Hal tersebut menimpa "The BFG" yang mengecewakan baik dari sisi komersil (one of Spielberg's lowest grossing movie) maupun kualitas.

Seorang gadis cilik penghuni panti asuhan berjulukan Sophie (Ruby Barnhill) kerap terjaga pada pukul tiga pagi kala semua orang tertidur pulas. Hingga di sebuah malam sunyi, Sophie secara kebetulan melihat sesosok raksasa (Mark Rylance) yang biasa dipanggil Big Friendly Giant (BFG). Khawatir Sophie akan membocorkan keberadaannya, BFG membawa sang bocah pergi untuk tinggal di negeri para raksasa. Setelah satu sequence menarik mengatakan BFG melaksanakan aneka macam jenis kamuflase guna menghindari atensi manusia, kita pun datang di kawasan BFG tinggal, mengamati kemampuan BFG menangkap, kemudian mengontrol mimpi (digambarkan sebagai cahaya warna-warni) orang-orang.
Di samping percikan penuh warna tersebut, teror dari raksasa-raksasa pemakan insan serta peristiwa masa kemudian BFG dengan insan turut hadir. Namun demi menyajikan hiburan semua umur, Spielberg menurunkan kadar kekelaman cerita, berfokus menjalin fantasi. Pada media buku, deskripsi situasi bakal membawa pikiran pembaca melayang-layang di dunia khayalan. Spielberg berusaha memvisualisasikan imajinasi itu melalui gugusan momen fantasi mirip ketika Sophie dan BFG berburu mimpi, sebuah perjuangan yang justru membatasi imaji penonton. Sebaliknya, isi mimpi orang-orang urung diperlihatkan gamblang, kolam meninggalkannya dalam kepala penonton. Dua sisi kontradiktif itu cukup menyiratkan ketidakjelasan visi Spielberg.
Visual garapan Janusz Kaminski  sinematografer langganan Spielberg  cukup memanjakan mata lewat gemerlapan warna, tapi belum layak dikatakan breathtaking, terlebih kala menghadirkan kesan familiar dengan film-film lain yang lebih superior memvisualisasikan dunia fantasi macam "Life of Pi". Namun bagaimana Kaminski memainkan pencahayaan khususnya ketika pemandangan landscape dieksploitasi memang mengagumkan. Kualitas CGI bagi motion capture-nya ada di level photorealistic. Kelebihan ini memfasilitasi performa Mark Rylance, merealisasikan sosok BFG. Setiap kali kamera menangkap senyuman sang pemeran seketika kehangatan terpancar, menutupi kelemahan penceritaan film menghantarkan rasa.

Naskah milik mendiang Melissa Mathison coba mengambil jalan serupa "E.T. the Extra-Terrestrial" yang juga merupakan hasil karyanya, tapi gagal tanggapan dongeng setipis kertas. Mudah selama kurang lebih 117 menit, penonton hanya diajak melihat Sophie dan BFG bermain-main dalam hutan berburu mimpi, wandering through places, sampai bertemu Ratu Elizabeth II (Penelope Wilton) yang ditutup adegan sarapan menghibur  the funniest and most enjoyable moment in this movie. Kisahnya minim subteks pula kesubtilan bertutur. "The BFG" berkisah mengenai embracing the dream, dan itu juga yang muncul di permukaan, tidak meninggalkan hal lain bagi penonton untuk dicerna atau sekedar materi omongan usai menonton. "The BFG" is one of Spielberg's weakest effort in years

Artikel Terkait

Ini Lho The Bfg (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email