Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Buka'an 8 (2017)

Setelah membesut tim sepak bola muda Maluku, mencari resep kopi terbaik, sampai mengantar surat cinta masa kemudian ke Praha, Angga Dwimas Sasongko kesudahannya "pulang", berkarya menurut pengalaman pertamanya menjadi seorang ayah. "Buka'an 8" yang mempertemukan lagi sang sutradara dengan Salman Aristo selaku penulis naskah semenjak "Hari Untuk Amanda" (2010) juga ialah kali pertama Angga menggarap komedi. Bagi saya, Angga termasuk filmmaker yang wajib didukung berkat kemampuannya mengemas film komersil sambil tetap memperhatikan kualitas tutur. Keseimbangan tersebut kembali diperlihatkan meski kali ini perjalanan kisah tak semulus biasanya

Mengambil dominan setting di rumah sakit, "Buka'an 8" bercerita mengenai Alam (Chicco Jerikho) yang tengah mengantar sang istri, Mia (Lala Karmela) mempersiapkan kelahiran anak pertama mereka. Momen semacam itu pastilah penuh kecemasan, apalagi aneka macam permasalahan ikut menghadang. Mulai dari uang yang tidak cukup untuk menetap di kamar VIP, juga kedatangan orang bau tanah Mia, Ambu (Sarah Sechan) dan Abah (Tyo Pakusadewo) yang tidak menyukai sang menantu, menganggapnya kurang sanggup mendapatkan amanah lantaran hanya sibuk di media sosial. Perjuangan Alam selama sehari penuh demi menyambut kelahiran si buah hati pun dimulai. 

Menengok acara keduanya di Twitter, Angga dan Salman terang paham betul pergerakan generasi milenial di media sosial, kemudian menuangkannya dalam karakterisasi Alam yang kerap terlibat twitwar meributkan soal kecurangan politik. Alhasil Alam terasa erat dan bukan mustahil anda bisa melihat cerminan diri anda padanya. Naskah Salman Aristo memanfaatkan fenomena masa kini ketika banyak pihak melampiaskan kejengahan terhadap situasi politik (termasuk politisasi khotbah solat Jumat) secara kurang tepat akhir dikuasai amarah. Ada pula sepintas sindiran soal kemunafikan mengiringi "tanggung jawab" selaku pokok bahasan utama di mana Alam sibuk membahas warta politik namun kelabakan mengurusi kehamilan Mia. Kritikan Salman Aristo kepada segala aspek di atas lembut tetapi menusuk tepat sasaran sembari menunjukkan solusi bijak. 
Sayang kepiawaian naskahnya menyodorkan warta kekinian tak dibarengi resolusi konflik memadahi. Alam dihadapkan bermacam permasalahan pelik. Biaya rumah sakit belum terbayar lunas, terlibat hutang dengan lintah darat, Ambu begitu mewaspadai kapasitasnya sebagai suami, demikian pula Abah yang dulu terjangkit stroke tatkala mendengar Mia dihamili oleh Alam (sengaja ia lakukan demi menerima restu nikah). Semua itu persoalan serius yang penyelesaiannya terkesan menggampangkan. Saya tahu tawa sanggup menjalin kebersamaan, internet banyak menunjukkan bantuan, dan kehadiran bayi bisa mendamaikan pertentangan, namun butuh paparan proses berpengaruh untuk mengundang simpati atas usaha karakternya, dan "Buka'an 8" tak mempunyai itu.

Angga Dwimas Sasongko masih solid dalam urusan bercerita, bahkan ketika filmnya dipenuhi nuansa chaotic, penyutradaraan Angga menjaga biar adegan demi adegan dalam pergerakan alur tetap nyaman diikuti. Alhasil penonton bisa menikmati kekacauan tersebut tanpa merasa terganggu akhir pengadeganan yang terbawa kacau. Pencapaian Istimewa mengingat bukan hal praktis merangkum rentetan keriuhan situasi secara rapi. Meski begitu, Angga perlu berguru lagi cara berkomedi, alasannya ialah balutan humor film ini kerap meleset lantaran minimnya punchline, tidak ada penegasan bagi banyolan yang dilontarkan. Sentilan sikap "social media sharing" (selfie, tweeting, etc.) pun dieksploitasi terlampau sering. Tujuannya memang menggambarkan betapa masyarakat kini berlebihan melaksanakan itu, tapi makin usang makin terasa repetitif. 
Jajaran cast-nya bermain memikat. Chicco Jerikho punya energi dan antusiasme tinggi memerankan Alam yang kerepotan kesana kemari sekaligus mempunyai charm, menjaga tokohnya urung berujung menyebalkan walau selalu marah-marah. Lala Karmela boleh menghabiskan dominan kemunculannya berbaring, namun itu tak menghalanginya berakting berpengaruh termasuk satu momen luapan kemarahan yang tidak hanya mendiamkan aksara filmnya, pula saya di bangku penonton. Sarah Sechan dengan kebolehannya berkelakar cepat tanpa henti bersama Tyo Pakusadewo dan gestur strokenya mendukung kejenakaan. Dayu Wijanto sekali lagi sanggup menyulap momen hati ke hati sederhana menjadi kehangatan mengharukan. Belum lagi sisi badass yang (tak biasanya) ia tampilkan amat mencuri perhatian. Seluruh cast memang tampil baik bahkan kehadiran singkat para bintang film suster.

Departemen artistik lain tak ada yang benar-benar mencuat kecuali kelembutan petikan gitar milik iringan musik McAnderson ("Wonderful Life") yang senada dengan syahdunya "Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan" dari Payung Teduh selaku lagu tema. Alunan nada-nada tersebut sempurna, setia menemani pencarian Alam akan makna pendewasaan. Bahwa cukup umur berarti bertanggung jawab, sabar, tahu bagaimana mengambil sikap terbaik. "Buka'an 8" mungkin karya terlemah Angga Dwimas Sasongko di beberapa tahun terakhir, tapi masih satu suguhan memikat berisi citra sesuai terhadap masyarakat Indonesia cukup umur sekarang, menunjukan betapa mengesankan karir sutradara satu ini. 


Artikel Terkait

Ini Lho Buka'an 8 (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email