Sambut Critical Eleven, penyesuaian novel berjudul sama karya Ika Natassa yang mulai kini semestinya jadi patokan ihwal kualitas banyak sekali sisi drama romantika sinema Indonesia. Cukup manis pula manis dipandang sebagai suguhan pop, cukup besar lengan berkuasa pula kisahnya selaku studi soal huruf dan dinamika ijab kabul serta keluarga. Patut dicatat, ini bukan semata-mata dongeng usang pertemuan dua sejoli yang seiring waktu sama-sama jatuh hati, kemudian berusaha mengalahkan setumpuk rintangan guna menyatukan cinta mereka. Berbeda, lantaran tak hingga 15 menit durasi, kedua tokoh utama telah bersatu. Masalahnya, pasca persatuan itu diterjang badai, bagaimana membangunnya lagi?
Anya (Adinia Wirasti) kerap dan gemar bepergian menaiki pesawat lantaran tuntutan pekerjaan. Demikian juga Ale (Reza Rahadian) yang bekerja di oil rig, memaksanya sering bolak-balik ke luar negeri. Pertemuan pertama pada penerbangan menuju Sidney meyakinkan bahwa keduanya yakni pasangan tepat bagi masing-masing. Mereka menikah, kemudian tinggal di New York semoga Anya tidak perlu hidup jauh dari Ale yang tengah bertugas di Meksiko. Kehamilan Anya membawa pasangan ini menuju kebahagiaan hidup terbesar, hingga sebuah insiden memutarbalikkan kondisi 180 derajat, menghadirkan tanya mengenai cinta akhir timbulnya luka.
Poin terpenting film percintaan ada di huruf utama. Bisa tidaknya dongeng beserta pesan tersalurkan tergantung seberapa besar penonton mengasihi pasangan yang saling mencinta di layar. Reza-Adinia membangun kekerabatan nyata, kesudahannya gampang percaya kalau Ale dan Anya telah menjalin asmara demikian lama. Rasanya bagai melihat sepasang sobat (namun dengan perasaan lebih) yang terkoneksi hati sekaligus cocok kala bertukar pikiran sehingga interaksinya nikmat diikuti. Kemesraan memancing senyum, canda memancing tawa, pertengkaran mengoyak hati. Reza dan Adinia mengikuti jejak pasangan klasik macam Slamet Rahardjo-Christine Hakim atau yang agak modern, Nicholas Saputra-Dian Sastrowardoyo, dalam keluwesan chemistry kuat nan natural.
Penonton ingin kisah berakhir bahagia, di situ bentuk keberhasilan yang dicapai Critical Eleven. Tentu penulisan naskah dari Jenny Jusuf, Monty Tiwa, Robert Ronny, dan Ika Natassa turut berjasa. Berfokus seputar goresan pasutri, Ale dan Anya punya alasan besar lengan berkuasa dalam bersikap yang amat sanggup dimaklumi. Simpati terbagi rata, alasannya tidak ada yang lebih dirugikan, sama-sama insan yang terluka luar biasa. Bahkan bukan tidak mungkin penonton terhanyut membayangkan berada dalam kondisi sama, kemudian menyadari bahwa sanggup jadi bakal bersikap serupa. Naskahnya juga tepat membagi timing transisi kehidupan tokohnya, membuat pertentangan dua sisi (bahagia dan sedih) yang efektif mengguncang emosi.
Di samping observasi problematika pelik rumah tangga, Critical Eleven makin tinggi derajatnya ketika keluarga Ale tak dikesampingkan. Konsep soal ijab kabul yakni bentuk penyatuan bukan saja suami-istri, pun keluarga ditekankan betul. Kita mendapati Ayah (Slamet Rahardjo), Ibu (Widyawati Sophiaan), hingga abang dan adik Ale (Revalina S. Temat dan Refal Hady) berkontribusi, berusaha menengahi sesuai kapasitas, membantu tanpa interupsi berlebihan. Para tokoh pendukung ditempatkan sesuai hakikatnya, mendukung poros penceritaan ketimbang mencuri sorotan maupun pasif menjadi hiasan embel-embel di belakang. Momen terbaik film ini pun terbentuk sewaktu unsur kekeluargaan menyeruak masuk.
Momen tersebut yakni dua pembicaraan di daerah berbeda (Ale-Ayah dan Anya-Ibu) yang oleh sutradara Monty Tiwa dan Robert Ronny jeli ditampilkan bergantian, terkesan selaras dan saling mengisi. Momen ini memikat di banyak sekali tatanan. Pertama, mengukuhkan kiprah keluarga yang didorong rasa cinta berusaha membantu sang anak baik kandung atau menantu menemukan jalan keluar. Kedua, memberikan soal saling terima suami istri, poin yang film ini nyatakan jadi kunci pemersatu. Ketiga, tentu saja akting. Setelah pemain film muda unjuk gigi, giliran pelakon senior bersinar. Melalui sepintas insiden saja, Widyawati dan Slamet Rahardjo menuangkan sensitivitas, penuh rasa menuturkan cinta antara ayah dan ibu. Mereka berada di daerah (dan mungkin waktu) berbeda namun kolam berkomunikasi hati ke hati. Menariknya, selain sekuen ini ayah dan ibu tak pernah saling mengungkapkan cinta secara langsung, seolah menyatakan seiring keberhasilan mengarungi cobaan plus waktu, tak perlu lagi cinta gamblang dinyatakan supaya dirasa dan dipercaya.
Kekurangan Critical Eleven terletak pada penyertaan adegan kurang substansial yang mendorong durasi terlampau panjang, mencapai 132 menit. Mayoritas hal tidak perlu itu berbentuk kontemplasi karakter. Mereka diam, meratap kosong, terkadang menangis. Menjadi tidak perlu lantaran kekuatan akting Reza dan Adinia sudah cukup mewakili isi hati huruf meski hanya diperlihatkan sesekali, tanpa harus sebanyak itu. Paruh pertengahan tatkala kesedihan menghampiri memang menurunkan tensi. Ale dan Anya tak lagi ceria, daya cengkeram film pun ikut meredup. Kekurangan ini sejatinya sanggup dihindari andai tuturannya dipadatkan. Benar titik ini signifikan, tapi bukan berarti mesti berlarut-larut.
Critical Eleven merupakan keindahan luar dalam. Di luar, terkait tampilan, polesan sinematografi Yudi Datau membuat hampir tiap adegan memukau mata, mulai New York yang gemerlapan di malam dan bermandikan sinar matahari sore romantis, hingga bentangan langit luas di lepas samudera daerah Ale bekerja. Sedangkan di dalam, film ini menjadi keindahan tutur mengenai penerimaan dipenuhi ekspresi cinta di sana-sini. Ceritanya nampak sederhana tetapi begitu bernilai. Dekat namun terasa segar alasannya jarang sekali romansa kita menyinggung percintaan bersenjatakan kepekaan ditambah kedalaman menyerupai ini. Tangis akan tumpah, bukan produk manipulasi air mata yang terus diumbar, melainkan dipicu tersampaikannya ekspresi cinta kasih. Indah.
Ini Lho Critical Eleven (2017)
4/
5
Oleh
news flash