Tuesday, December 4, 2018

Ini Lho King Arthur: Legend Of The Sword (2017)

King Arthur of Camelot. Demikian figur legendaris Kerajaan Inggris itu jamak disebut. Figur yang bukan saja tak diketahui niscaya kapan eksistensinya, pun apakah ia benar-benar konkret atau dongeng rakyat belaka. Ambiguitas tersebut dimanfaatkan benar oleh Guy Ritchie bersama Lionel Wigram dan Joby Harold untuk merangkai kisah fantasi berisi penyihir (karakter reguler mitologi Raja Arthur), siluman ular (atau belut?), hingga gajah dan ular raksasa. Bagus tidaknya layak diperdebatkan, tapi satu hal pasti, King Arthur: Legend of the Sword  yang rencananya merupakan film pertama dari enam seri  bukan tipikal suguhan medieval bergaya ortodoks. 

Film dibuka oleh serbuan penyihir berjulukan Mordred (Rob Knighton) terhadap kastil Camelot yang memberi garansi pengalaman menonton maksimal di layar raksasa (IMAX, Sphere X). Raja Uther Pendragon (Eric Bana) bersenjatakan pedang Excalibur mampu meruntuhkan pasukan Mordred, meski tanpa diketahui, bahaya bergotong-royong tiba dari ambisi perebutan kekuasaan sang adik, Vortigern (Jude Law). Pendragon tewas, Excalibur hilang, dan Vortigern naik tahta. Sampai beberapa tahun kemudian pedang itu muncul lagi bersama kabar keberadaan darah daging Pendragon, Arthur (Charlie Hunnam) yang selama ini hidup sebagai rakyat biasa di suatu rumah bordil. 
Bagaimana Guy Ritchie beserta segala gaya rock and roll-nya bersanding dengan nuansa masa kemudian khas medieval? Sekilas kontradiktif, tapi toh Warner Bros. tampaknya memang bertujuan menghasilkan middle ages blockbuster bagi generasi millennial. Basa-basi Shakesperean dibuang jauh bersama klasifikasi tumbuh kembang Arthur dari bocah pewaris tahta terbuang jadi laki-laki begajulan hebat berkelahi. Ritchie merangkum rentang masa belasan tahun itu ke dalam montage ditemani iringan musik industrial gubahan Daniel Pemberton yang cakap menggabungkan musik folk Britania Raya dann dentuman elektronik, hingga konsisten menghembuskan tenaga bagi tiap adegan. 

Keputusan di atas terang meniadakan babak penting pengembangan karakter, namun King Arthur: Legend of the Sword memang cuma punya satu tujuan: terlihat asyik. Dan memang benar, film ini gemar mengumbar gaya asyik, bahkan untuk perbincangan sederhana Arthur dengan pasukan kerajaan yang dibungkus lontaran kalimat cepat, perpindahan adegan lincah (kalau bukan ngebut), plus comedic manner, kombinasi yang mengingatkan akan masa keemasan awal karir Ritchie. Kaprikornus jangan harapkan pula ketepatan unsur sejarah, alasannya ini ialah film ber-setting sekitar masa keenam atau kelima di mana para tokohnya mengucapkan "fuck" atau "dance floor". 
Kemudian tercipta persoalan yang serba salah. Gaya Ritchie efektif hanya di beberapa kemunculan awal, berikutnya berujung repetitif nan melelahkan. Namun tanpanya, film kehilangan daya akhir bergantung pada dongeng pun tokoh-tokoh medioker yang gampang terlupakan. Mencapai pertengahan durasi kala konflik mulai memanas, penulisan obrolan tajam Ritchie hilang tak berbekas. Karakternya bertingkah terlampau serius, termasuk Arthur yang perlahan kehilangan aura bad boy, padahal Charlie Hunnam terbukti piawai menangani karakterisasi tersebut. Ketika bertarung, tak ada interaksi atau celotehan tokoh di mana mereka sekedar menebas pedang ke sana kemari. Hambar. 

Keengganan mengendurkan urat tatkala konflik tereskalasi memang logis tapi kolam mengkhianati tujuan awal filmnya yang tak mempedulikan nalar sehat termasuk soal pengembangan abjad atas nama hiburan mengasyikkan. Setidaknya Ritchie masih mempunyai visi terang soal kemasan "seenaknya". Meski kesannya ditutup oleh titik puncak penuh CGI yang secara intensitas pula kreativitas justru paling lemah dibanding gelaran aksi-aksi sebelumnya, King Arthur: Legend of the Sword masih dua jam spectacle sepintas kemudian yang layak coba. Bagai mabuk, anda mungkin lupa lebih banyak didominasi poin di dalamnya begitu usai, namun ingat bila gres saja menghabiskan waktu yang menyenangkan. Karena kapan lagi kita mendapati pengalaman trippy Raja Arthur berhalusinasi, melihat monster di penjuru hutan? 

Artikel Terkait

Ini Lho King Arthur: Legend Of The Sword (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email