Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Headshot (2016)

Seorang laki-laki di sebuah rumah sakit terbangun dalam kondisi amnesia setelah koma selama dua bulan. Pria tersebut dirawat oleh dokter muda nan elok hingga hasilnya mereka saling jatuh cinta. Diisi rangkaian dialog cheesy, maka takkan abnormal apabila premis di atas berbuah sinetron atau FTV berjudul "Amensia Pembawa Cinta", "Aku Padamu Dokter Cantik", "Hilang Ingatan Bikin Jatuh Cinta", dan lain-lain. Namun tambahkan adegan perkelahian brutal, berondongan peluru, parade tulang patah dan kepala pecah, maka jadilah "Headshot", film ketiga Mo Brothers yang meski belum setingkat "The Raid" beserta sekuelnya, kepulangan Gareth Evans tidak lagi mengkhawatirkan. 

Ceritanya sama menyerupai petikan di atas. Setelah ditemukan koma di bibir pantai, seorang laki-laki tanpa nama (Iko Uwais) dirawat di rumah sakit dalam penjagaan dokter muda berjulukan Ailin (Chelsea Islan). Ailin memanggil laki-laki itu Ishmael. Setelah bangun, Ishmael tidak bisa mengingat nama, pula penyebab luka tembak di kepalanya. Tanpa Ishmael ketahui, ia mempunyai kaitan dengan Lee (Sunny Pang), bos gembong durjana paling ditakuti. Menyadari Ishmael masih hidup, Lee dan anak buahnya mulai melaksanakan perburuan, menyeret Ailin dalam sentral konflik. Demi menyelamatkan perempuan pujaan hati dan mencari kebenaran atas masa lalunya, Ishmael harus bertarung sendirian melawan para pembunuh yang dikirim Lee.
Soal cerita, "Headshot" yang naskahnya ditulis oleh Timo Tjahjanto ialah yang paling tipis di antara karya Mo Brothers lain, bahkan dibanding "Rumah Dara" sekalipun. Pasca romantika opera sabun di awal, mudah alurnya sekedar berpindah dari satu action sequence menuju action sequence berikutnya. Beberapa flashback selaku keping ingatan Ishmael sesekali mengisi, bertindak selaku jembatan. Walau urung memberi eksplorasi abjad mendalam di mana relasi Ishmael dengan seluruh abjad tetap dangkal dan tanpa emosi, keberadaannya cukup guna memuluskan transisi adegan aksi, meniadakan perasaan mendadak jawaban perpindahan momen kasar. 

Selain tipis, naskahnya turut bermasalah soal penulisan dialog, khususnya terkait percintaan Ishmael-Ailin yang selalu terdengar cheesy. Apalagi Iko masih kesulitan menyuntikkan emosi dalam aktingnya, sedangkan Chelsea tampak miscast kala harus memerankan abjad tanpa pembawaan meledak-ledak. Alhasil romansa mereka gagal terasa romantis. Berbagai kelemahan naskah itu bakal berujung kehancuran bagi kebanyakan film, tapi ingat, kita tengah membicarakan Mo Brothers, duo sinting yang mahir merangkum kekerasan menghibur, dan itu pula titik tertinggi "Headshot" tatkala tiap perkelahian ialah kebrutalan penghasil sorak sorai penonton. 
Mo Brothers memastikan semua anggota badan yang patah, tulang menyembul keluar, hingga kepala  pecah tidak lewat begitu saja. Nampak terperinci dan berhiaskan tata bunyi yang solid, menciptakan penonton meringis membayangkan rasa sakitnya. Walau skala kecil, abjad berjarak, serta ketiadaan suasana genting (karakternya tidak terjebak) meminimalisir hadirnya ketegangan, keseruannya tak menurun, terlebih saat kamera Yunus Pasolang selalu bergerak dinamis, ikut jungkir balik mengikuti arah pergerakan abjad meski gaya tersebut kurang efektif membangun intensitas. Pace pun terjaga, nyaman diikuti berkat penyuntingan gambar yang meskipun berlangsung cepat tapi mulus. 

Melihat koreografi silat Iko Uwais, masuk akal bila timbul pertanyaan "apa bedanya dengan "The Raid"?". Jawabannya terletak pada keputusan Mo Brothers menyelipkan komedi hitam. Keduanya menyerupai menyadari tengah menggarap film berisikan kisah cinta opera sabun, dan supaya bagaimanapun, sulit menganggap serius suatu opera sabun. Alhasil, mereka menolak memaksakan diri menyajikan nuansa gelap, menentukan bersenang-senang menyuruh Iko susah payah meniup zippo, menyangkutkan bendo di atap bus, menancapkan pecahan besi di tangan Tano (Zack Lee) supaya ia bisa berlagak kolam Wolverine, dan lain sebagainya. Timbul sedikit tonal inconsistency namun tak hingga melucuti kesenangan. 

Tatkala ada kekecewaan dikarenakan porsi Julie Estelle yang berhenti hanya sebatas eye candy ketimbang sosok badass berdarah hirau taacuh macam Hammer Girl, Sunny Pang bisa menjadi lawan setara Iko Uwais, menghadirkan boss battle penuh pertukaran jurus bela diri kelas wahid yang layak ditempatkan sebagai puncak. Sayang, sentuhan romansa dramatik selaku konklusi pertarungan tersebut membuatnya antiklimaks. Pada hasilnya "Headshot" memang belum memenuhi ekspektasi, namun sungguh satu soap opera brutal penghasil hiburan menyenangkan. 

Artikel Terkait

Ini Lho Headshot (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email