Ketika banyak creature movie termasuk "Godzilla" (2014) yang hendak dipertemukan dengan King Kong serta kaiju lain di tahun 2020 menyimpan penampakan monsternya hingga third act, "Kong: Skull Island" menentukan pendekatan berbeda. Sang raksasa sudah diperlihatkan dalam aneka macam bahan promosi secara terang-terangan ketimbang di balik kegelapan. Begitu film dimulai pun, belum hingga lima menit Kong eksklusif beraksi. Tatkala pengemasan gritty realism mulai jadi primadona, sutradara Jordan Vogt-Roberts paham bahwa tak perlu mengusung realisme atau eksplorasi tokoh manusia, toh ini yakni tontonan wacana simpanse raksasa. Penonton tak ingin realita pula drama. Kita ingin menyaksikan King Kong menggila.
Di tahun 1973 kala perang Vietnam mendekati akhir, William Randa (John Goodman) dari organisasi Monarch yang punya misi mengungkap keberadaan makhluk langka (baca: monster) menemukan suatu pulau berjulukan Skull Island yang disinyalir merupakan habitat bagi banyak spesies misterius. Randa pun menginisiasi ekspedisi dengan tunjangan skuadron militer Amerika di Vietnam yang dipimpin Preston Packard (Samuel L. Jackson). Turut serta pula mantan anggota British Special Air Service, James Conrad (Tom Hiddleston) selaku tracker dan fotografer jurnalistik (anti) perang, Mason Weaver (Brie Larson). Tidak butuh waktu usang bagi mereka untuk menerima sambutan kurang erat dari Kong, raja sekaligus tuhan di pulau tersebut.
"Kong: Skull Island" yakni sebenar-benarnya kaiju movie, menitikberatkan pada pertarungan akbar antara raksasa. Tiada tetek bengek alur kompleks, alasannya tujuan Jordan Vogt-Roberts sederhana saja, yakni menghidupkan sebuah pulau berisi sekumpulan binatang berukuran masif dengan Kong sebagai raja. Suatu tujuan yang sukses dilakukan. Mayoritas aksara insan hanyalah mangsa untuk memfasilitasi para monster memamerkan keganasan masing-masing. Manusia sedemikian tak berdaya, bahkan di pertarungan puncak Kong melawan Skull Crawler sedikit tunjangan sanggup mereka berikan. Tapi ingat, ini merupakan suguhan soal Kong, bukan drama studi karakter. Ketika sang titular character diberi porsi beraksi memadai itu sudah cukup. Walau romansa antar-spesies yang menggelikan bagi penonton masa kini ditiadakan, ciri Kong yang lembut pada perempuan cantik dipertahankan.
Aspek-aspek di atas pertanda pemahaman Vogt-Roberts akan sosok Kong dan film monster secara umum. Sang sutradara tahu sudut kamera ibarat apa yang sanggup memunculkan kesan masif tiap kali monsternya menghiasi layar. Penonton pun dibentuk merasa kerdil kala menyaksikannya. Imajinasi yang urung dibatasi beban realisme jadi poin utama keberhasilan filmnya membuat hiburan seru. Tidak perlu sibuk mempertanyakan logika, cukup nikmati agresi Kong mengakibatkan rantai dan baling-baling kapal senjata mematikan.
Sinematografi garapan Larry Fong turut memegang peranan penting termasuk keberaniannya memakai warna cerah. Malam hari di Skull Island dihiasi aurora, cahaya senja berwarna jingga begitu mencolok, bahkan selimutan gas beracun tak dibentuk kelabu, melainkan hijau sambil sesekali aristokrat (literally) milik makhluk setempat ditumpahkan. Ditambah citra panorama memikat mata, jadilah film ini kolam penyegar di antara blockbuster sekarang yang makin gemar tampil gelap. Sedangkan musik buatan Henry Jackman senada dengan formasi soundtrack bernuansa rock 'n roll khas kurun 70an, mengukuhkan posisi "Kong: Skull Island" sebagai popcorn movie penuh gairah nan menyenangkan.
Kritikan terbesar mungkin akan disematkan pada naskah hasil goresan pena Dan Gilroy, Max Borenstein, dan Sevak Anakhasyan yang lemah terkait jalinan alur pula karakterisasi. Mudah sewaktu monster hilang dari layar, tensi penceritaan menurun drastis, meski poin positifnya, tidak ada keruwetan kisah tak perlu mendistraksi gelaran agresi bombastis. Karakter-karakternya sendiri memang dangkal. Randa sekedar mempunyai kegunaan membuka gerbang alur menuju Skull Island, Conrad urung memamerkan kemampuan tracking-nya, sedangkan Jing Tian sebagai San Lin si jago biologi tak ubahnya pelengkap sia-sia. Brie Larson sendiri juga adalah eye candy, namun untungnya bukan damsel in distress yang selalu lemah tidak berdaya.
Tapi ditinjau lebih dalam, sejatinya naskah film ini tidaklah sedangkal itu. Benar bahwa tokoh insan tidak memegang peranan penting apalagi kuat, namun lebih dikarenakan mereka terlibat perang dengan diri sendiri ketimbang melawan monster. Mengambil setting Perang Vietnam, kegagalan calon eks-militer lepas dari pertumpahan darah jadi sorotan, khususnya melalui sosok Kolonel Packard. Motivasi Packard turut mencerminkan alasan keterlibatan Amerika Serikat di perang tersebut. Mengusung argumen hendak melindungi dan menghentikan pembantaian, mereka justru memancing kebrutalan sekaligus musuh baru.
Di samping tema, beberapa pengadeganan, atmosfer, hingga tata visual bakal mengingatkan pada film-film seputar Perang Vietnam macam "Apocalypse Now", "Platoon", dan sebagainya. Tapi paling penting, "Kong: Skull Island" telah membawa lagi kegembiraan menyaksikan kaiju movie ketika mengutamakan festival penampakan monster yang saling laga kekuatan daripada menyia-nyiakan waktu menyuguhkan balutan drama (berisi) insan tak perlu. Jangan beranjak dari bangku anda selepas film usai, lantaran penantian sekitar delapan menit akan dibayar lunas oleh post-credit scene seputar kelanjutan menarik dari MonsterVerse.
Ini Lho Kong: Skull Island (2017)
4/
5
Oleh
news flash